Selasa, 14 Mei 2013

REVOLUSI ABBASIYYAH


REVOLUSI ABBASIYAH

Oleh:Muamar Anis


               Pada penghujung tahun 749 M  berakhirlah kekuasaan Daulah Umayyah yang memegang tampuk pemerintahan sejak tahun 661 M.  Penggantinya Daulah Abbasiyah (750-1258 M) mewarisi wilayah yang luas membentang dari pegunungan Thyansan di sebelah barat Tiongkok hingga wilayah Maghribi di Afrika Utara yang dahulunya merupakan wlayah kekaisaran Romawi. Bekas kemaharajaan Persia yang dirambah membentang hingga lembah Indus dan wilayah Turkistan. Wilayah-wilayah ini tidak sepenuhnya aman dan stabil ketika pasukan Abbasiyah berhasil menundukkan sisa-sisa pasukan Umayyah yang terpecah belah. Begitu berhasil alih kekuasaan melalui revolusi berdarah selama tiga tahun, Abbasiyah memindahkan pusat kekuasaan dari Damaskus di Syria atau Syams ke Kufa, di Iraq sekarang. Kufa dahulunya merupakan pusat pemerintahan ketika Ali bin Abi Thalib menjabat sebagai khalifah. Beberapa tahun kemudian  Daulah Abbasiyah membangun ibukota baru Baghdad, tidak jauh dari Cseiphon  bekas ibukota kemaharajaan Sassan Persia.
            Pada zaman pemerintahan Abbasiyah inilah peradaban Islam mencapai kejayaan besar dalam arti yang sebenarnya. Terutama pada periode-periode awal. Di ibukota Baghdad, yang terletak di wilayah yang subur dialiri sungai Tigris atau Dajlah, sekali lagi muncul peradaban baru di negeri yang telah sejak zaman kuna menjadi negeri buaian peradaban itu. Peradaban-peradaban besar seperti Sumeria, Assyria, Babylonia, dan Akkadia muncul di wilayah ini.  Di negeri ini pula, tepatnya di kota kuna Ur,  bapak agama monotheis Nabi Ibrahim a.s. dilahirkan.

Asal Usul Abbasiyah
            Nama Abbasiyah dinisbahkan kepada Ibn Abbas, kakek pendiri gerakan ini dan juga paman Nabi Muhammad  s.a.w. Jadi keluarga ini seeperti keluarga Nabi termasuk ke dalam keluarga besar Bani Hasyim. Sejak Umayyah berhasil mengambil alih kekuasaan dari khalifah al-rasyidin keempat Ali bin Abi Thalib, keturunan Bani Abbas sangat setia kepada Umayyah. Mereka diberi daerah kekuasaan yang berpusat di Hamimah, tidak jauh dari Damaskus. Hamimah adalah kota kecil yang tenang dan keturunan Abbas memang terkenal saleh. Tetapi perubahan segera terjadi setelah mereka menyaksikan dan kesewenang-wenangan dan penindasan yang dilakukan oleh penguasa-penguasa Umayyah. Tetapi mereka harus menunggu waktu yang tepat untuk membentuk gerakan.
            Saat yang ditunggu tiba. Yaitu pada masa pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz (717-720 M) yang termasuk  lunak dalam menghadapi gerakan pembangkam. Dengan rancangan yang matang, cucu Abdullah bin Abbas yaitu Muhammad bin Ali bin Abdullah Abbas, memutuskan membentuk sebuah gerakan rahasia dengan sistem organisasi berdasarkan sel-sel jaringn yang sukar diketahui orang.  Tiga pusat jaringan yaitu Hamimah, Kufa, dan Khurasan di Iran Utara akhirnya terbentuk. Utusan-utusan rahasia bolek balik selama bertahun-tahun memperluas dan memantapkan jaringan dengan propaganda-propaganda memikat. 
            Belum mencapai hasil yang dicita-citakan, Muhammad meninggal dunia. Kepemimpinan beralih ke tangan adiknya Ibrahim bin Ali.. Di bawah pimpinan imam baru inilah Abbasiyah menjelma orrganisasi bawah tanah dengan jumlah kader, pasukan dan pengikut yang jumlahnya besar. Pada tahun 746 M gerakan ini tercium oleh penguasa. Umayyah memerintahkan tentara menangkap pemimpinnya Ibrahim. Sebelum Ibrahim terbunuh ia telah mengungsikan semua sanak keluarga dan pengikutnya dari Hamimah ke Kufa, serta mengangkat keponakannya Abdullah bin Muhammad Ali bin Abbas sebagai penggantinya. Ketika itu Abdullah ibn Abbas baru berusia 24 tahun, namun ternyata cakap dan berwibawa. Tokoh inilah kelak yang ditakdirkan menjadi khalifah pertama Daulah Abbasiyah.
            Gerakan Abbasiyah didirikan di tengah persaingan hebat antara golongan Umayyah yang berkuasa dan Syiah atau pengikut Ali. Sepert telah kita ketahui pertentangan antara dua fraksi bermula sejak wafatnya Usman bin Affan yang tewas dibunuh. Prinsip dasar Abbasiyah sebagai gerakan rahasia ialah : (1) Orang Islam harus ridha menerima kepemimpinan dari keluarga Bani Hasyim, yang telah menurunkan Nabi Muhammad s.a.., Ali bin Abi Thalib, dan anak cucu Abdullah ibn Abbas.  Pada mulanya prinsip ini dijalankan oleh kaum Syiah, tetapi pada hakikatnya dikendalkan oleh Abbasiyah. (2) Semua pengikut gerakan ini tidak diperbolehkan memberontak untuk menumbangkan rezim Umayyah sebelum mampu merintis munculnya pemerintahan baru dengan persiapan yang matang. (3), Membentuk poros Hamimah-Kufa-Khurasan. Poros dibentuk melalui gerakan rahasia dengan sistem jaringan organisasi sel.
            Hamimah dipilih karena kendati dekat dengan Damaskus, merupakan kota kecil yang terpencil dan jarang dikunjungi orang dari kota lain. Kufa terletak di pertengahan jalan dan merupakan wilayah kediaman pendukung Ali. Khurasan di Iran adaah tempat yang strategs untuk mendidik kader dan pasukan, karena penduduk kota ini secara iam-diam adalah penentang Umayyah. Tempat ini pun sangat jauh dari pusat pemerintahan Umayyah. Di sini telah lama timbul sengketa etnik atau suku yang bisa diekslpoitasi untuk sebuah gerakan besar.
            Ada dua faktor  yang membuat Abbasiyah bisa mengembangkan sayap sebagai organisasi rahasia.Pertama, di bawah pemerintahan khalif Umar bin Abdul Aziz (717-20) penguasa Umayyah yang terkenal adil, terdapat kebebasan untuk mengemukakan penapat. Keadaan ini dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh pemimpin Abbasiyah. Kedua, terbunuhnya seorang pemimpin Kaisaniyah, fraksi Syiah yang militan dan punya banyak pengikut, yitu Abu Hasyim bin Muhammad Hanifah oleh khalif Hisyam ibn Abdul Malik yang menggantikan Umar bin Abdul Aziz. Padahal sebelumnya antara kedua pemimpin ini telah menandatangani perjanjian damai dan mengikat tali persahabatan. Namun iri hati dan cemburu kepada Hisyam yang selain luas ilmunya dan banyak pengkutnya, khalif Hisyam berniat membunuh Abu Hasyim. Ketika Abu Hasyim dan pengikutnya sedang melakukan perjalanan ke Madinah, khalif  Hisyam meletakkan racun ke dalam susu yang akan diminum Abu Hasyim. Ketika Abu Hasyim merasa kesakitan oleh racun yang dimumnya, dia menukar haluan perjalananya menuju Hamimah tempat Ali bin Abdullah ibn Abbas. Sebelum menghembuskan nafas terakhir Abu Hasyim berpesan agar Ali bin Abdullah sudi menjadi pemimpin kaum Kaisyaniyah. Sejak itulah pengikut Abbasiyah bertambah besar dan jaringan organisasinya meluas. Selama bertahun-tahun kaderisasi dilakukan dengan baik.
            Ketika Ali bin Abdullah wafat, kedudukannya digantikan oleh saudaranya Ibrahim ibn Abbas. Di tangan Ibrahim gerakan Abbasiyah semakin meluas. Sebagai imam kedua gerakan ini, Ibrahim ibn Abbas  melantik Abu Muslim al-Khurasani sebagai panglima perang. Tokoh yang berkedudukan di Khurasan, Iran timur laut ini, terkenal sebagai ahli strategi yang piawai. Dia adalah tangan kanan Ibrahim ibn Abbas atau Ibrahim al-Imam. Dia pula yang memelihara Abdullah ibn Abbas yang sejak kecil telah ditinggalkan ayahandanya Ali bin Abdullah ibn Abbas. Nama Abu Muslim sebenarnya hanya samaran. Nama sebenarnya adalah Abdul Rahman ibn Muslim, lahir di Isfahan dan besar di Kufa, sebuah kota dagang yang makmur d Teluk Persia ketika itu. Dia ditugaskan di Khurasan karena merupakan ahli strategi  yan hebat. Di tanganya itulah Revolusi Besar pertama dalam sejarah Islam  pecah..

Revolusi Pecah
            Pada masa pemerintahan khalif Umayyah yang terakhir, yaitu Mirwan II (744-750 M)  keadaan tdak menentu. Banyak kerusuhan dan pembrontakan yang sukar diatasi hampir di seluruh wilayah kekhalifatan Islam. Pergolakan terbesar yang menjadi pukulan terakhir bagi kekuasaan Umayyah ialah pembrontakan golongan Syiah di Khurasan pada tahun 747 M. Pembrontakan ini dpimpin oleh Jadik ibn Ali-al-Azadi, yang lebh dikenal dengan panggian al-Karmani.  Melalui peperangan yang hebat Panglma Syiah al-Karmani  berhasil merebut beberapa kota penting. Mula-mula Merv, di Iran yan waktu itu merupakan pusat pemerintahan Amir atau gubernur Khurasan. Gempuran pasukan al-Karmani menyebabkan pasukan Umayyah mundur ke Herat, di Afghanistan sekarang.
            Ketika pemberontakan itu berlangsung Abu Muslim al-Khurasani mengamati dari dekat dan mulai mengatur siasat dan mencri saat yang tepat untuk terlibat dalam peang menaklukkan pasukan Umayyah.  Ketka kedua pihak yang bertenpur tengah mengadu tenaga terakhr dan memuasatkan perhatian sepenuhnya ke medan perang, secara terang-terangan Abu Muslim mengumumkan maksud gerakan Abbasiyah yang sebenarnya. Pasukan Syiah pmpinan al-Karmani yang mulai kewalahan menghadapi pasukan Umayyah berhasl dibujuk untuk berpihak kepadanya. Sementara itu antara Abu Muslim dan  gubernur Umayyah yang mundur ke Herat surat menyurat dan saling kirim utusan terus berlangsung. Tetapi Amir Umayyah tetap tidak mau tunduk sehingga akhirnya Abu Muslim harus bertndak. Khurasan bisa direbut dan kemenangan ini merupakan awal dari kemenangan Revolusi Abbasyah.
            Keluarga Ibrahim ibn Ali, imam kedua gerakan Abbsiyah, beserta keponakannya Abdullah bin Ali dan keluarga mereka telah tinggal di Kufa semenjak gerakan rahasia yang dipimpimnya tercium oleh khalif Mirwan II. Begitu kemenangan pasukan Abu Muslim terdengar pada tahun 749 M, barulah Abdullah bin Ali muncul di hadapan khalayak untuk mengumumkan diri sebagai pemimpin baru yang menggantikan Ibrahim ibn Ali yang tewas dibunuh. Waktu itu usianya baru 27 tahun. Penduduk Kufa menyampaikan ta’zim dan memberinya gelar khalif Abbasiyah.
            Setelah itu bersama pasukan pengawalnya da diikuti orang banyak ia berangkat menuju Darul Imamah dan penguasa setempat pun mengangkat baiat bersama para pembesar dan pejabat lain. Sejak lama penduduk Kufa yang secara diam-diam mendukung gerakan ini telah menanti-nati peristiwa bersejarah ini. Kejadian ini berlangsung pada hari Jum’at 12 Rabiul Awal 132 H bertepatan dengan 24 Agustus 749 M. Dari Darul Imamah rombongan kemudian berangkat menuju Masjid Agung Kufa. Di sinilah berlangsung baiat umum atau pengangkatan Abdullah bin Ali sebagai khalif Abbasiyah I.
            Pada hari yang sama khalif Mirwan II sedang berada di kota benteng Harran, yang terletak agak jauh di utara kota Mosul, Iraq sekarang.  Dia dan pasukannya baru saja berhasil menumpas kekacauan di Armenia. Mendengar berita kemenangan pasukan Abbasiyah dia segera menggerakkan tentaranya yang berkekuatan 120.000 orang ke arah selatan  lembah Iraq dekat Kufa. Pasukan ini dihadang  pemuka gerakan Abbasiyah di sana yaitu Abu Oun  dan pasukannya di Syahrazw.  Tak lama kemudian bala bantuan datang untuk Abu Oun dari Kufa. Untuk mengatur strategi pasukan Abbasiyah bertahan di pinggir sebelah barat sungai Eufrat. Sedangkan pasukan Umayyah membangun perkemahan di pinggir sebelah timur sungai tersebut.
            Untuk waktu yang lama kedua pasukan hanya saling perang dengan menghujankan panah api.  Karena tak sabar atas jalannya peperangan yang lambat ini, khalif Mirwan II memberintahkan pasukannya membangun jembatan di bawah lindungan serangan anak panah ke arah musuh. Pekerjaan itu berjalan lambat dan memakan banyak korban kendati akhirnya selesai. Begitu jembatan usai dibangun, khalif Mirwan I dan pasukannya pun melintas jembaan dan sebagian lagi menggunakan perahu. Pertempuran hebat berlangsung sepanjang jembatan dan tepian sungai Eufrat. Dalam pertempuran ini khalif Mirwan II kehilangan banyak tentara. Ribuan mayat bergelimpangan dan hanyut di sungai Eufrat. Khalif Mirwan II akhirnya memerintahkan tentaranya mundur dan kembali menuju Mosul. Bersama sisa pasukannya dia terus dikejar oleh pasukan Abbasiyah hingga dia mundur lagi ke kota benteng Harran. Untuk beberapa waktu lamanya dia mampu bertahan di sini.
            Bantuan pasukan mengalir ke pihak Abbasiyah. Kian terdesak khalif Mirwan kemudian meninggakan Harran menuju Urfa, tetapi pasukan Abbasiyah terus mengejarnya.  Serangkaian pertempuran berlangsung kemudian di kota Homs, Syria Utara. Setelah itu pertempuran berlangsung pula di Damaskus dan Palestina.  Di Palestina inlah khalif Mirwan II mengalami kekalahan besar. Kemudian penguasa Umayyah terakhir ini melrikn diri ke Mesir. Dengan kekalahan itu wilayah-wilayah seperti Iraq, Syria dan Palestina jatuh ke tangan Abbasiyah. Pertempuran terakhir berlangsung di wilayah Mesir. Kemenangan pasukan Abbasiyah disambut gembira oleh penduduk. Secara berbondong-bondon mereka menangkat baiat kepada khalif Abdullah bin Ali. Pada akhir 750 M khalif Mirwan II berlindung di sebuah biara/keniset di kota pealabuhan Abusir, Mesir. Di sini dia ditangkap dan dijatuhi hukuman mati. Sejak itu berakhirlah kekuasaan Daulah Umayyah.

Tahta Darah
            Dari pendahulunya yang diruntuhkan Daulah Abbasiyah  mewarisi wilayah imperium yang luas, membentang dari ujung barat Afrika Utara hingga pegunungan Tyan San yang berbatasan dengan wilayah kekaisaran Tiongkok dan sebagian Hindustan di timur. Kecuali itu mewarisi pula sejumlah pemberontakan di wilayah-wilayah yang luas, terutama di Syria, Iraq dan Iran. Selama empat tahun memegang tampuk pemerintahan khalif pertama Abbasiyah Abdullah bin Ali bin Abbas yang wafat dalam usia 31 tahun itu harus berjuang sekuat tenaga memadamkan sejumlah pembrontakan. Di antara pemberontakan-pemberontakan besar yang harus ditumpas ialah pemberontakan Habib ibn Murra bekas panglima pasukan Mirwan II di Hauran dan Tsania. Tak lama setelah tewasnya khalif Umayyah yang terakhir itu dia mengerahkan tentaranya untuk memberontak. Pemberontakan ini bisa diredam setelah pasukan Habib berhasil dipukul mundur yang memaksa sang panglima menandatangani perjanjian damai. Bersama pasukannya dia meminta pengampunan dan dikabulkan oleh imam Abbasiyah.
            Pemberontakan berikutnya adaka yang dipimpin Abul Wirdi Majzat di kota bentang Qunissirin Syria. Pemberontakan ini dapat diredam pula dengan mudah. Berikutnya pemberontakan yang dilancarkan penduduk Damaskus. Pada mulanya pemberontak mampu memorakporandakan pasukan Abbasiyah yang dipimpin Abu Ghanim ibn Razi. Setelah itu pemberontak merebut kota benteng lain Homs. Melalui pertempuran yang hebat dan memakan banyak korban, akhirnya pemberontakan bisa dipadamkan. Penduduk Qunissirin yang terlibat pemberontakan diampuni. Pemberontakan berikutnya yang juga dapat dipadamkan ialah pemberontakan Al-Jazira, wilayah utara Iraq... Di wilayah ini terletak kota-kota penting seperti Mosul, Harran, Siffin, dan lain-lain yang diapit dua sungai utama Tigris dan Eufrat.
            Di Madain, bekas ibukota kemaharajaan Persia yang sebelumnya disebut Ctesiphon, kaum Khawarij juga mengangkat senjata. Pemberontakan yang dipimpin Syaiban ibn Abdul Aziz, ideolog Khawarij di di Iraq pada akhirnya bisa ditumpas tanpa pengampunan sedikit pun. Tragedi yang paling memilukan ialah pembunuhan terhadap bekas gubernur Umayyah Yazid bin Hubaiat dan sejumlah besar keluarganya di kota benteng Wasit. Bertolak dari kejadian-kejadian ini sepanjang masa awal pemerintahannya, Abdullah bin Ali bin Abbas memberi dirinya gelas al-Saffah, artinya si penumpah darah. Maka dia disebut Abdullah al-Saffa’.
            Setelah berhasil memadamkan pemberontakan, kaisar Byzantium di Konstatinopel menyerang untuk merebut kembali wilayahnya yang hilang semasa pemerintahan Daulah Umayyah.  Pada mulanya Byzantium berhasil kembali Asia Kecil sampai wilayah Kelikia di sebelah utara Syria. Kemudian menguasa Malatia dan Mardian di utara yang berbatasan dengan Iraq. Peperangan berjalan alot dan berkelanjutan hingga khalif Abdullah al-Saffa wafat pada tahun 753 M dan baru berakhir pada masa pemerintahan khalif II Abbasiyah al-Manshur. Sebelum wafat, Abdullah al-Saffa’ berhasil membangun ibukota baru Hasymia di sebelah utara Anbar di tepi sungai Eufrat.
            Di samping perang yang meletihkan melawan pemberontakan dan serangan Byzantium itu, banyak sekali peristiwa memilukan yang terjadi. Di antaranya pembunuhan besar-besaran terhadap keluarga Daulah Umayyah di Damaskus. Padahal setelah tewasnya khalif Mirwan II, seluruh lapisan elit Umayyah di Damaskus telah sepakat berdamai dan mengakui pemerintahan Abbasiyah, dan mereka pun telah mendapat pengampunan. Tetapi gubernur Abbasiyah di Damaskus merasa kuatir mereka akan berkhianat.  Pada suatu hari mereka diundang untuk menghadiri perjamuan agung sebagai penghormatan. Sekitar 90 orang bangsawan dari keluarga Umayyah hadir. Mereka disambut penuh penghormatan, tetapi kemudian di bawa ke dalam ruangan malului jalan yang berlilit-lilit. Sampai di ruangan yang dituju mereka lantas dibunuh oleh pengawal yang sudah menunggu di tempat itu.
            Setelah itu terjadi pula pengejaran dan pembunuhan terhadap sisa-sisa keluarga Umayyah yang tinggal di Syria dan Palestina yang berhasil melarikan diri ke Mesir. Di atara yang lolos itu terdapat seorang pemuda bernama Abdul Rahman (730-788 M) yng baru berusia 22 tahun. Dia adalah cucu khalif Umayyah Hisyam ibn Abdul Malik (724-743 M). Setelah lolos, dengan susah payah melalui gurun yang panas dan terik, akhirnya dia dan keluarganya serta pasukan pengawalnya berhasil melarikan diri ke Mesir. Dari Mesir menuju ujung barat Afrika Timur yaitu Maghribi atau Maroko sekarang ini.  Dibawah komando panglimanya yang setia Jabal Tariq, Abdul Rahman dengan rombongan akhirnya berhasil berlabuh di Andalusia. Entah bagaimana caranya, dan itu merupakan cerita yang lain, hanya dalam waktu enam tahun setelah melarikan diri pemuda itu dapat mendirikan kembali Daulah Umayyah di Andalusia.

(Bersambung).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar