Allah itu Tidak Ghaib
Oleh:Muamar Anis
Sejak kecil,begitu akrab di telinga
kita yang menyebut bahwa Allah itu gaib. Bahkan sering orang menegaskan;
“terserah yang gaib-lah!”,dan sebagainya. Konotasi gaib karena Allah tidak bisa
dilihat secara kasat mata oleh kita dan kelak kegaiban Allah sejajar dengan
kegaiban hal-hal gaib lain.Padahal,tidak satu pun asma dan Asmaul Husna
(nama-nama agung Allah) yang menyebut bahwa Allah itu gaib, tahu bersifat gaib,
atau punya nama al Gaibu di Asmaul Husna. Tidak ada.
Kegaiban Allah itu muncul hanya
karena kegelapan kosmos spiritual kita saja yang membuat diri kita terhalang
melihat Allah Yang Maha Nyata, Maha Jelas, Maha Dzohir, Maha Batin, Maha Terang
Benderang, dan pemilik segala maha.Sesungguhnya,tak satu pun di jagad semesta
ini yang bisa menutupi Allah. Kita mengatakan Allah itu gaib hanya karena
menutup diri sendiri saja sehingga tidak bisa melihat Allah. Oleh karenanya
Ibnu Athaillah as Sakandary dalam kitab Al-Hikam menegaskan: Bagaimana bisa
terbayang ada sesuatu yang menutupi Allah, padahal Dia tampak pada segala
sesuatu.Bagaimana bisa dibayangkan sesuatu menutupi Allah, sedangkan Allah
tampak di setiap sesuatu. Bagaimana bisa dibayangkan sesuatu bisa menutupi
Allah, padahal Allah itulah yang hadir untuk segala sesuatu. Bagaimana dapat
dibayangkan jika sesuatu itu menutup Allah,sedang Allah sudah ada sebelum
segala sesuatunya ada.
Bagaimana segala sesuatu menutup
Allah, sedangkan Allah itu lebih jelas ketimbang segalanya. Dia adalah Yang
Maha Esa. Tak ada yang menandingi dan menyamai-Nya.Dia lebih dekat dari urat
nadi Anda sekali pun.
Wacana di atas mempertegas betapa
Allah itu tidak gaib. Yang gaib justru hawa nafsu kita ini. Manakala kita tidak
bisa melihat Allah di balik jagad semesta ini,berarti mata hati kita sedang
dikaburkan untuk melihat nurullah (cahaya Allah).Sebab itu,kita harus melihat
Allah di mana-mana, kapan saja tiada batas waktu terhingga.Nurullah adalah awal
dari muroqobah kita dan muraqobah adalah awal dan musyahadah (penyaksian Allah
dalam jiwa), dan kelak baru mengenal Allah dalam arti yang sesungguhnya. Inilah
ma’rifatullah