Kamis, 18 September 2014

SEJARAH LAHIR DAN PERBANDINGAN MADZHAB


Munculnya Madzhab
Oleh:Muamar Anis





A.SEJARAH LAHIRNYA MADZHAB
Secara umum, proses lahirnya madzhab yang paling utama adalah faktor usaha para murid imam mazhab yang menyebarkan dan menanamkan pendapat para imam kepada masyarakat dan juga disebabkan adanya pembukuan pendapat para imam mazhab sehingga memudahkan tersebarnya pendapat tersebut dikalangan masyarakat. Karena pada dasarnya, para imam mazhab tidak mengakui atau mengklaim sebagai “mazhab”. Secara umum, mazhab berkaitan erat dengan “nama imam” atau “tempat”.
Demikian pula analisis Nurcholish Madjid, bahwa suatu hal yangamat penting diperhatikan ialah adanya kaitan suatu aliran pikiran dengan tempat dan “nama”. Telah disebutkan adanya dua aliran pokok. Irak dan Hijaz. Namun, diantaranya keduanya, dan dalam diri tiap-tiap aliran besar itu terdapat nuansa yang cukup berarti, dan cukup penting diperhatikan. Nuansa itu tercermin dalam ketokohan sarjana atau ‘ulama’ yang mendominasi suasana intelektual suatu tempat.
Berikut ini adalah proses lahirnya mazhab dari perjalanan masa sahabat, tabi’in hingga munculnya mazhab-mazhab fiqh, berdasarkan pendapat Syekh Khudari Bek,[1]
Di Madinah terdapat cukup banyak sarjana, antara lain :
Sa’id ibn Al-Musayyib al-Makhzumi. Lahir dua tahun kekhalifahan ‘Umar dan sempat belajar dari para pembesar sahabat Nabi. Banyak meriwayatkan hadits yang bersambung dengan Abu Hurairah. Al-Hasan al-Bashri banyak berkonsultasi dengannya.
Urwah ibn al-Zubair ibn Al-‘Awwam. Lahir pada masa kekhalifahan Utsman.
Abu Bakar ibn ‘Abd al-Rahman ibn Al-Harits ibn Hisyam al-Makhzumi. Lahir pada masa kekhalifahan Umar. Terkenal sangat saleh sehingga digelari “Pendeta Quraisy
Ali Ibn al-Husayn ibn Ali ibn Abi Thalib al-Hasyimi
Ubaydillah ibn Abdullah ibn Utsbah ibn Mas’ud.
Salim Ibn Abdullah ibn Umar
Sulaeman Ibn Yasar, Klien Maymunah
Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakr.
Nafi’, klien ‘Abdu Allah ibn Umar belajar dari patronya sendiri, dan dari ‘Aisyah, Abu Hurairah dan lainnya.
Muhammad ibn Muslim, yang terkenal dengan IBN Syihab az-Zuhri.
Abu Ja’far Ibn Muhammad Ibn Ali al-Husain, yang dikenal dengan sebutan al-Baqir.

Di Mekah terdapat beberapa sarjana terkenal diantaranya :
Abdullah Ibn Abbas ibn Abd Muthalib.
Mujahid ibn Jabr, klien Bani Makhzum.
Ikrimah, klien Ibn Abbas
Atha ibn Rabbah

Dari kalangan warga Kufah terdapat antara lain :
‘Alqamah ibn Qays an-Nakh’ai. Lahir pada masa Nabi masih hidup, dan belajar dari Umar, Utsman, Ibn Mas’ud, Ali dan lainnya.
Masruq ib Al-Ajda’ al-Hamdani.
Al-Aswab ibn Yazid an-Nakha’i, dan Ibrahim ibn Yazid an-Nakha’i.
‘Amri ibn Syarahil Asy-Sya’bi.

Kemudian, dari Basrah terdapat tokoh-tokoh, antara lain :
Anas ibn Malik al-Anshari. Seorang khadam, karena ia sahabat Nabi sejak Hijrah sampai wafat.
Abu al-Aliyah Rafi’ ibn Mahran Ar-Riyahi.
Al-Hasan ibn Abi Al-Hawsan Yassar, lien Zaid ibn Tsabit.
Abu Asy-Syaitsar’, Jabir ibn`  Zaid, kawan Ibn ‘Abbas.
Muhammad Ibn Sirin, klien Anas ibn Malik.
Qatadah Ibn Da’aman ad-Dusi.

Dari daerah Syam (Syiria), beberapa tokoh ahli hukum adalah Abdur-Rahman ibn Gharim Al-Asy’ari, Abu Idris al-Khulani, Qabishah ibn Dzu’ayb, Makhul Ibn Abi Muslim, Raja Ibn Hayah al-Kindi, dan lain-lain. Namun yang paling penting dari para sarjana Syam ialah Khalifah Umar ibn Abd al-‘Aziz, terkenal sebagai Umar II dan banyak dipandang sebagai khalifah kelima dari al-Khulafa’ al-Rasyidin. Dialah yang mengukuhkan tarbi dan mensponsori secara resmi usaha penulisan sunnah atau hadits. Dia wafat pada 101 H.
Di Jazirah Arabia sebelah selatan, yaitu Yaman, juga banyak muncul sarjana dengan pengaruh yang jauh keluar dari batasan daerahnya sendiri. Mereka antara lain, Thawus ibn Kaysan al-Jundi yang belajar dari Zaid Ibn Tsabit, ‘Aisyah, Abu Hurairah, dan lainnya.
Tokoh-tokoh ahli hukum tersebut, berikut kegiatan ilmiah serta pengajarannya telah mendorong tumbuhnya banyak spesialis hukum angkatan berikutnya, seperti al-Auza’i, Sufyan Ats-Tsauri, al-Laits ibn Sa’d, dan lainnya.
Dari mata rantai sejarah ini jelas terlihat korelasi pemikiran fiqh dari zaman sahabat, tabi’in hingga munculnya mazhab-mazhab fiqh pada periode selanjutnya, meskipun jumlah mazhab tidak terbatas kepada empat besar, Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali.
Thaha Jabir Fayadl al-Ulwani, menjelaskan bahwa mazhab fiqh Islam yang muncul setelah sahabat dan kibar al-Tabi’in berjumlah 13 aliran. Tiga belas aliran ini beraliran ahl al-sunnah. Akan tetapi, tidak semua aliran tersebut dapat diketahui dasar-dasar dan metode istinbath hukum yang digunakan kecuali sembilan atau sepuluh dari ketiga belas iman tersebut diantaranya aliran tersebut adalah :
Abu Sa’id al-Hasan Ibn Yasar al-Bashri
Abu Hanifah al-Nu’man
Al Auza’i Abu ‘Amr Abdur Rahman Ibn Amr Ibn Muhammad
Sufyan Ibn Sa’id Ibn Masruq Ats-Tauri
Al-Laits Ibn Sa’d
Malik Ibn Anas Al-Bahi
Sufyan Ibn Uyainah
Muhammad Ibn Idris Asy-Syafi’i
Ahmad ibn Muhammad Ibn Hanbal
Daud Ibn ‘Ali al-Ashbahani al-Baghdadi
Ishaq ibn Rahawaih
Abu Tsaur Ibrahim ibn Kahlid al-Kalabi
Secara umum tiap-tiap mazhab memiliki ciri khas tersendiri karena para pembinanya berbeda pendapat dalam menggunakan metode penggalian hukum. Namun, perbedaan itu hanya terbatas pada masalah-masalah furu’, bukan masalah-masalah prinsipil atau pokok syari’at. Mereka sependapat bahwa semua sumber atau dasar syari’at adalah al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Semua hukum yang berlawanan dengan kedua sumber tersebut wajib ditolak dan tidak diamalkan. Mereka juga saling menghormati satu sama lain, selama yang bersangkutan berpendapat sesuai dengan garis-garis yang ditentukan oleh syari’at Islam.
Perkembangan berbagai mazhab, selain didukung oleh fuqaha serta para pengikut mereka, juga mendapat pengaruh dan dukungan dari kekuasaan politik. Ada yang masih berkembang dan ada pula yang punah. Sebaran mazhab yang masih berkembang dapat dilihat dari beberapa negara berikut : Mazhab Hanafi di Kufah, Irak, Khurasan, Turki, Afganistan, Asia Tengah, Pakistan, India, Irak, Brazil, Amerika Latin, dan Mesir; Mazhab Maliki di Hijaz, Basrah Mesir, Afirka Utara, Andalusia, Maroko, Sudah, Kuwait, Qathar dan lainnya. Mazhab Hanbali di Arab Saudi, SIRI, Baghdad dan beberapa negara negeri di bagian Afrika; Mazhab Syi’ah di Iran, Irak, Turki, Syria, dan Afganistan.

B.SEJARAH ILMU PERBANDINGAN MAZHAB
Sejarah menunjukkan, sebagian kaum muslimin telah menyadari bahwa kemunduran yang melanda dirinya sendiri merupakan akibat dari perpecahan umat. Oleh karena itu, mereka mulai menyerukan persatuan dan penyingkiran sebab-sebab yang menimbulkan perpecahan diantara penganut satu din, satu kiblat, dan satu aqidah.
Semuai ni dapat terlihat, terutama setelah periode keemasan fiqh. Setelah terlena dan ternina-bobokan oleh perkembangan fiqh yang begitu pesat, yang akhirnya merasa tidak perlu lagi melakukan pelacakan hukum, fanatisme mazhab muncul sangat kuat di mana setiaop orang untuk mengamalkan ajarannya terpaku pada imam mazhab yang dipegangnya.
Dalam pandangan Muni’im A. Sirry, ironisnya, para pengikut mazhab tersebut “memerangi’ ulama-ulama yang mencoba mengembangkan ijtihad. Para ulama tersebut dituduk macam-macam seperti dituduh akan emmbuat ‘mazahb baru’ melanggar konsensus umum, dan bahkan sering divonis sebagai penyebar ‘bid’ah’. Perlakuan atau respons yang dilakukan para pengikut mazhab yang fanatik buta tersebut ditempuh dengan cara tidak adil dan semena-mena. Hal itu dialami oleh Izzudin Abdul Salam, Ibn Taimiyah, ibnu Qayim, Syaukani, Jamaluddin Al-Qasimi dan ulama Islam lainnya.
Oleh karena itu untuk mewujudkan kembali persatuan umat ini ialah melakukan pendekatan antarmazhab, untuk diluruskan dan diatur dalam satu barisan. Pendekatan inilah yang dijadikan pertimbangan oleh para ulama Al-Azhar dalam pengambilan keputusan perluasan pengkajian perbandingan fiqh pada Fakultas Syafi’ah al-Azhar. Pengkajian tidak hanya terbatas pada pengertian nama-nama firqah yang ada, namun lebih dari itu, kajian itu menelusur jauh ke dalam ‘lubuk’ perbedaan tiap firqah dalam hal yang berkaitan dengan akidah, pandangan dasar dan pemahaman dalam masalah fari’iyah. Hal ini merupakan langkah yang sangat tepat dalam rangka mewujudkan cita-cita yang luhur, yakni mewujudkan uamt yang satu yang bisa saja berbeda pandangan dan pendapat, namun tetap dalam satu ass dan tujuan yang sama.
Pola perbandingan ini sebenarnya sudah ada semenjak dahulu. Para fuqaha yang berjasa merintis ilmu dan diantaranya ; ibnu Rusd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid, Ibn Qudamah dalam kitabnya al-Mughni, Imam Nawawi dalam Kitbnya, Al-Majmu, dan Ibnu Hajm dalam kitabnya al-Muhalla. Begitu pula, para ulama yang mempergunakan pola perbandingan ini; Ibn Hajr dalam kitabnya Syarah Bukhari, Imam Nawawi dalam kitabnya Syarah Muslim, Asy-Syaukani dalam kitabnya Nailul Authar dan San’ani dalam kitabnya Subulus Salam.
Meskipun diatas telah mempergunakan metode perbandingan, kitab-kitab tersebut belum membentuk suatu ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri, hanya merupakan sampingan atau sebagai perbandingan sekilas saja dalam pembahasan-pembahasan fiqh atau hadits. Disamping secara akademik, syarat menjadi ilmu adalah terpenuhi unsur-unsur ; ontologis, epistemologi, dan aksiologi.
Al-Maragi adalah orang pertama yang mengusulkan adanya mata kuliah perbandingan mazhab di fakultas-fakultas di Universitas al-Azhar. Usul itu diterima dan ditetapkan menjadi mata kuliah pada tingkat empat di fakultas Syari’ah. Bahkan, suatu lembaga peninjau undang-undang telah dibentuk yang dipimpin langsung oleh al-Maraghi. Lembaga ini mengkaji hukum keluarga dengan memilih diantara pendapat-pendapat ulama yang sesuai dan tekuat, bahkan mencela taqlid.

KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa : proses lahirnya mazhab pada dasarnya adalah usaha para murid imam Mazhab yang menyebarkan dan menanamkan pendapat para imam kepada masyarakat dan juga disebabkan adanya pembukuan pendapat para imam mazhab sehingga memudahkan tersebarnya di kalangan masyarakat karena para imam mazhab tersebut tidak mengakui atau mengklaim sebagai ‘mazhab’.
Sejarah lahirnya mazhab fiqh dimulai dari dua aliran fiqh; ahlu ar-ra’yu dan ahlu al-hadits, atau dikenal pula dengan sebutan madrasah al-Hadits dan madrasah ar-Ra’yu. Madrasah al-hadits kemudian dikenal juga dengan sebutan madrasah al-Hijaz dikenal sangat kuat berpegang pada hadits karena mereka banyak mengetahui hadits-hadits Rasulullah, disamping kasus-kasus yang mereka hadapi bersifat sederhana dan pemecahannya tidak banyak memerlukan logika dalam berijtihad. Adapun madrasah al-Iraq dalam menjawab permasalahan hukum lebih banyak menggunakan logika dalam beijtihad. Disamping keberadaan mazhab ini jauh dari madinah sebagaipusat hadits dengan kata lain, hadits-hadits Rasulullah yang sampai pada mereka terbatas, sedangkan kasus-kasus yang mereka hadapi jauh lebih berat dan beragam, baik secara kualitas maupun kuantitas, dibandingkan dengan yang dihadapi madrasah al-Hijaz.
Perkembangan selanjutnya, mazhab terbagi tiga besar sampai sekarang; Sunnni, Syi’ah dan Khawarij. Sejarah perbandingan mazhab didasarkan kepada upaya menjernihkan akidah sebagai dasar utama kekuatan umat Islam. Penjernihan yang dimaksud adalah penafian ajaran Islam dari berbagai praktik penyelewengan dan pemahaman sesat yang disebabkan oleh fanatisme mazhab, suku atau ras. Karena Islam bukan hanya bisa dipahami oleh satu kelompok atau hanya diberikan kepada satu kelompok sja. Islam adalah agama universal. Hal itu dibuktikan dengan fakta sejarah bahwa pengikut mazhab tertentu berselisih bahkan bermusuhan dengan mazhab lain karena satu masalah yang sama.


DAFTAR PUSTAKA

Syekh Muhammad Al-Hudhari Bek, Tarikh At-Tasyri’ Al-Islami, Beirut : Dar Al-Fikr, 1387/1968.

[1] Syekh Muhammad Al-Hudhari Bek, Tarikh At-Tasyri’ Al-Islami, Beirut : Dar Al-Fikr, 1387/1968, hlm. 126 – 141.