Selasa, 11 Februari 2014

JADWAL PEMILU 2014

Jadwal Pemilu 2014


Jadwal Pemilu 2014 akan dilaksanakan dua kali yaitu Pemilu Legislatif pada tanggal 9 April 2014 yang akan memilih para anggota dewan legislatif dan  Pemilu Presiden pada tanggal 9 Juli 2014 yang akan memilih Presiden dan Wakil Presiden.
Pemilu 2014 akan memakai e-voting dengan harapan menerapkan sebuah sistem baru dalam pemilihan umum. Keutamaan dari penggunaan sistem e-voting adalah Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP) yang sudah mulai dipersiapkan sejak tahun 2012 secara nasional.
Berikut adalah jadwal  pemilu dan tahapannya yang sudah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum(KPU).
Tanggal
Acara Kegiatan
Jadwal 2013
06 April - 15 April
Pendaftaran Calon Anggota DPR-RI, DPD-RI, dan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota
16 April – 30 Juni
Verifikasi Pencalonan Anggota DPR-RI, DPD-RI, dan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota
27 Juli
Pengumuman Daftar Calon Tetap (DCT) Anggota DPD-RI
04 Agustus
Pengumuman Daftar Calon Tetap (DCT) Anggota DPR-RI, DPD-RI, DPRD Provinsi, dan Kabupaten/Kota.
Jadwal 2014
11 Januari – 05 April
Pelaksanaan Kampanye
06 April - 08 April
Masa Tenang
09 April
Pemungutan dan Penghitungan Suara (Pemilu Legislatif)
25 April – 25 Mei
Audit Dana Kampanye
26 April – 06 Mei
Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilu Tingkat Nasional
07 Mei - 09 Mei
Penetepan Hasil Pemilu Secara Nasional
07 Mei - 09 Mei
Penetapan Partai Politik Memenuhi Ambang Batas (PT 3%)
11 Mei - 18 Mei
Penetapan Perolehan Kursi dan Calon Terpilih Tingkat Nasional s/d Kabupaten/Kota
Juni - September
Peresmian Keanggotaan DPR-RI, DPD-RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota
09 Juli
Pemungutan dan Perhitungan Suara Pilpres (Pemilu Presiden)
Juli - Oktober
Pengucapan Sumpah dan Janji Anggota Terpilih DPR-RI, DPD-RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota


Sabtu, 01 Februari 2014

KON FU TZE ATAU KONFUCIUS, FILOSOF BESAR ASIA

KON FU TZE ATAU KONG HU CU
SEBAGAI FILOSOF

Muamar Anis

Kon Fu Tze atau Kong Hu Cu di Barat dikenal dengan nama Latinnya sebagai Konfucius (selanjutnya nama Latin inilah yang yang akan digunakan dalam tulisan ini). Dia adalah seorang filosof besar dunia yang muncul pada abad ke-6 SM, hampir bersamaan waktu dengan munculnya Socrates di Yunani dan Zarathustra di Persia.Tetapi berbeda dengan Socrates yang pemikirannya dikenal melalui tulisan-tulisan muridnya Plato,Kon Fu Tze melahirkan kitab yang sampai kini tetap dijadikan rujukan penting pemikiran filsafat di Tiongkok.Buku yang dimaksud ialah Lun Yu, dalam bahasa Inggeris diterjemahkan jadiAnalects. Seperti Zarathustra pula, dari pemikirannya lahir sebuah agama yang cukup berpengaruh terutama pada bangsanya sendiri. Zarathustra melahirkan agama Zoroaster, Kon Fu Tze melahirkan agama yang di Indonesia dikenal sebagai agama Kong Hu Cu.
Filosof besar Asia inilahir pada tahun 531 SM di negeri Lu, kini termasuk propinsi Shantung. Leluhurnya tidak jelas, namun di antara mereka dahulunya terdapat bangsawan terkemuka. Dalam biografinya ia menulis bahwa orang tuanya bukan orang berpangkat dan hidup sederhana. Ia sendiri harus mencari nafkah sewaktu kecil. Sekalipun dalam keadaan miskin, ia tetap mampu belajar. Kebanyakan ilmunya diperoleh dengan jalan belajar sendiri.
Pengalaman hidupnya yang pahit itu membuatnya peka terhadap penderitaan rakyat kecil. Ia sangat prihatin dengan keadaan sekitarnya yang dianggapnya telah rusak dan menyedihkan. Keprihatinannya inilah mendorong semangat  Konfucius melakukan perubahan dan pembaharuan,yaitu dengan mendidik murid-murid yang kelak dapat dipersiapkan terlibat dalam pemerintahan.
Pada waktu itu Cina diperintah oleh golongan bangsawan yang pada mulanya adalah kaum militer. Mereka hidup mewah. Rakyat diperas dengan dipaksa bekerja secara rodi dan membayar pajak yang cukup tinggi. Memang, pada mulanya mereka tampil sebagai pelindung masyarakat dan pengaman negara yang efektif, namun setelah tumbuh menjadi kelas sosial tersendiri, maka timbullah berbagai penyimpangan yang membuat rakyat sengsara.
Sebagaimana telah dikemukakan Konfucius menginginkan perubahan.Dia mengajarkan falsafah dan mendidik murid-murid dan pengikut-pengikutnya agar kelak dapat memainkan peranan penting dalam pemerintahan, serta sanggup merombak pemerintahan yang bobrok serta tidak memenuhi kebutuhan rakyat. Untuk itu latihan dan tehnik-tehnik yang biasa dianggap tidak cukup. Untuk dapat mengemban tugas yang berat mereka harus dididik agar mampu mengembangkan prakarsa, memiliki watak, adab dan kecerdasan yang tinggi.
Konfucius percaya bahwa setiap orang dapat menjadi orang baik, yaitu chun tzu, tanpa peduli latar belakang sosial dan keturunan. Di Cina pada waktu itu chun tzu diartikan sebagai orang baik yang beradab, tahu aturan dan sopan santun, memiliki inisiatif sesuai dengan kemampuannya. Orang semacam itulah yang, menurut Konfucius, dapat mengemban tugas-tugas pemerintahan dengan baik.
Mengapa ilmu dan seni pemerintahan menjadi perhatian Konfucius? Pada zaman hidupnya, karena pemerintahan dikendalikan kaum militer, masyarakat pada umumnya mengagung-agungkan ilmu dan seni perang, dan mengejek orang yang memberi perhatian terhadap perlunya pemerintahan yang baik, bersih, menjunjung hukum dan pengelolaan administrasinya baik. Sekalipun lebih menekankan ilmu dan seni pemerintahan dibanding ilmu dan seni perang, yang pada waktu itu sangat diperlukan mengingat banyaknya peperangan dan pembrontakan, tetapi Konuficius sama sekali bukan penganut pasifisme. Ia juga mengajarkan bahwa kekerasan diperlukan dalam menghadapi masalah-masalah yang memerlukan ketegasan. Namun Konfucius yakin bahwa kekerasan bukan satu-satunya jalan dalam menyelesaikan persoalan negara.

Chun Tzu dan Li
Chun tzu adalah istilah yang populer di Cina pada masa Konfucius untuk menyebut orang baik-baik dan berkedudukan dalam masyarakat. Konfucius sendiri mengartikannya sebagai orang yang mengenal adab, tatanan moral atau tatakrama dalam kehidupan sosial dan politik. Dalam rangka mendidik murid-muridnya menjadi chun tzu, Konfucius mengingatkan bahwa adab dan tatakrama telah rusak kehidupan politik masyarakat Cina pada waktu itu. Untuk memperbaikinya diperlukan perbaikan dan reformasi. Reformasi yang diinginkan ialah kembali kepada li, yang biasa diartikaan sebagai tatakrama. Konfucius sendiri mengartikannya sebagai ‘upacara’. ‘adat istiadat’ atau ‘ketentuan-ketentuan hidup yang pantas diartikan’. Li merupakan ukuran bagi orang yang ingin mencapai chung yung, jalan tengah – keseimbangan dan harmoni dalam kehidupan sosial.
Pada mulanya li diartikan sebagai ‘berkurban’, dan arti ini masih berlaku sampai kini. Konfucius memperluas artinya sehingga mencakup adat istiadat dan sistem kepercayaan yang melandasi pelaksanaan upacara kurban. Karena itu kemudian pengertian li mencakup juga upacara dan tatacara yang berlaku dalam masyarakat. Menurut Konfucius, apabila para penguasa dan pejabat dapat menyelenggarakan kurban dan upacara lain dalam menghormati leluhur mereka, mengapa mereka tidak berbuat yang sama seriusnya dalam menjalankan pemerintahan? Bilamana para menteri saling menghormati dan menjaga adab, mengapa mereka harus mengabaikan rakyat jelata yang merupakan tulang punggung negara?
Konfucius mengajarkan kepada muridnya agar dalam berhubungan dengan orang  lain, seseorang bersikap ‘sedang menerima tamu penting’; dan apabila kelak menjadi pejabat atau pegawai tinggi hendaknya menghadapi rakyat seperti dia ‘sedang memimpin upacara kebaktian agama dalam suatu penyajian kurban besar”. Apa yang dikemukakan Konfucius ini hanya kias. Dia sebenarnya bukan seorang tokoh yang memuja adat istiadat yang berlaku dan upacara-upacara memuja leluhur yang sering diselenggarakan dengan penuh kemegahan dan pemborosan. Bagi Konfucius yang penting adalah semangat yang tersembunyi dalam li, dan hakikat terdalam dari pengertiannya yang tersembunyi.
Suatu ketika Guru Kung ditanya apakah hakikat li itu? Guru Kung menjawab:’’Ini pertanyaan penting!  Berkenaan dengan upacar, andaikata seseorang terpaksa berbuat salah dalam satu segu, maka kesalahan terbaik dalam hal ini ialah terlampau hemat menyelenggarakan upacara yang biasa dilaksanakan secara megah dan boros. Pada waktu upacara pemakaman dan berkabung, mereka yang berkabung lebih baik jika merasa benar-benar sedih dibanding mereka yang terlalu teliti terhadap ketentuan-ketentuan penyelenggaraan upacara yang sekecil-kecilnya.” (Lun Yu 3.4).
Ketika itu tatacara penyelenggaraan kurban penuh dengan aturan-aturan rinci yang harus dipatuhi. Tidak sedikit di antara aturan-aturan itu esensial dan penting. Konfucius jelas tidak setuju dengan tetek-bengek yang menyulitkan dan penuh basa basi itu. Ia bisa menerima adat istiadat dan upacara apabila secara rasional alasan-alasannya bisa diterima. Alasan yang masuk akal inilah yang dijadikan pertimbangan Konfucius dalam menilai apakah perilaku seseorang itu manusiawi ataukah bermoral. Kendati demikian Konfucius tidak menganggap remeh adat istiadat, aturan dan adab sebab itu merupakan pedoman penting dalam mengatur masyarakat yang tertib.
Demikianlah pengertian li dalam pemikiran Konfucius merupakan rasionalisasi atas sistem etika yang berlaku pada waktu itu, sedangkan secara falsafah li diartikan sebagai ’tatanan masyarakat yang ideal’, yang di dalamnya segala sesuatu harus diletakkan pada tempatnya yang benar dan sesuai berdasarkan pertimbangan rasional. Sedangkan apabila dikenakan kepada pribadi seseorang, li berarti keadaan pikiran (mind) yang cenderung pada kesalehan, ketulusan dan ketaatan memenuhi ajaran agama, moral dan hati nurani.
Setelah Konfucius, li kemudian diberi arti sebagai sistem kepercayaan yang menekankan pada ’keseimbangan dan harmoni’ (chung yung), dan secara tersirat meletakkan manusia, alam dan Tuhan (t`ien) pada tempat dan kedudukannya yang benar. Konfucius mengajarkan agar masyarakat berperilaku baik dan taat pada undang-undang dan hukum. Orang Cina, menurut Lin Yu Tang, menganggap bahwa Konfucianisme merupakan agama li, atau ’agama adab dan moral yang terpuji’. Dalam pandangan Konfucius sistem politik dan pemerintahan harus tunduk pada sistem moral dan adab yang lebih luas. Dalam aforismenya Konfucius misalnya memaparkan bagaimana moral pemerintahan yang ideal, sebagai berikut:

”Konfucius berkata,’’Bimbinglah masyarakat dengan ukuran-ukuran dan kendali pemerintahan atau aturlah mereka dengan ancaman hukuman, dan orang akan berusaha tidak masuk penjara, kecuali mereka yang tak punya harga diri dan rasa malu. Bimbinglah masyarakat dengan kebajikan dan kendali atau aturlah mereka dengan itu, dan orang akan memiliki harga diri dan rasa hormat.”

Manusia yang bijak dan bermoral,yang berpegang pada li, tidak akan menyia-nyiakan hidupnya dan sebaliknya akan berusaha menjadi anggota masyarakat yang gemar bekerjasama dengan sesamanya. Manusia yang demikian  tidak menolak li sejauh tidak bertentangan dengan moral dan tidak merugikan manusia.
Dalam falsafah pendidikan Konfucius, di mana gagasan li telah ditambah dengan pengertian moral, peningkatan kecerdasan dianggap tidak penting apabila tidak disertai keseimbangan emosi. Usaha untukk menghasilkan keseimbangan tersebut  tergantung pada pendidikan dalam li. Menurut Konfucius, ”Ilmu yang dimiliki oleh seorang chun tuzharus ditertibkan dengan menggunakan li”.  Dengan demikian ia memiliki kekuatan menghadapi dunia, setia pada prinsip dan pendirian, tahan menghadapi krisis dan godaan.

Etika dan Hakikat Manusia
Sistem etika dan falsafah yang dibangun oleh Konfucius didasarkan pada alasan/pertimbangan tentang apakah sebenarnya hakikat manusia itu? Menurut Konfucius manusia merupakan makhluk individu yang keberadaannya tidak terpisah dari masyarakat. Di lain hal ia memandang bahwa masyarakat bukan sejenis kesatuan metafisik yang sepenuhnya mengatasi individu. Jika masyarakat benar-benar mengatasi individu, berarti keberadaan individu tidak ada artinya. Untuk itu keberadaan individu harus dipertimbangkan dan diserap dalam rangka kesatuan dan keseimbangan masyarakat.
Menurut Konfucius, manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial. Meskipun demikian, tidak sepenuhnya dibentuk oleh masyarakat. Keadaan yang dialami seseorang, kebiasaan-kebiasaan dan pola hidupnya, sebagian memang dibentuk oleh masyarakat. Tetapi di lain hal, karena masyarakat merupakan kumpulan individu manusia yang saling mempengaruhi satu dengan yang lain, maka masyarakat sebenarnya juga dibentuk oleh individu-individu yang memainkan peranan penting dalam pelbagai lapangan kehidupan.
Tetapi mengapa ada orang ingin memisahkan diri dari masyarakatnya, dan ada juga orang yang gemar menentang adat istiadat dan tatanan moral yang berlaku dalam masyarakat? Mengapa pula ada orang yang tidak mau mengikuti pertimbangan-pertimbangan moral yang dianut masyarakat? Semua itu menurut Konfucius disebabkan oleh suara hati nuraninya. Menjadi ’petapa’ dan ’mengikuti kemauan khalayak’, sama saja buruk dan salah bagi Konfucius, karena ’hati nurani’ manusia pada dasarnya ingin hidup bersama dengan manusia lain dalam suatu komunitas yang disebut masyarakat, dan ’hati nurani’ pula yang pada dasanya mendorong seseorang menginginkan perubahan dan perbaikan dalam masyarakat.Landasan kebenaran dalam kehidupan sosial adalah hati nurani. Hati nurani inilah yang dirujuk Konfucius ketika dia berkata:

”Seseorang tanpa keadaan sebenarnya, aku tak tahu apa jadinya!”
”Biarlah kesetian dan kebenaran menjadi yang utama bagimu.”
”Lebih baik tulus dan ikhlas, dibanding sekedar berpegang teguh (pada aturan)”
”Manusia dilahirkan untuk berdiri tegak, jika tidak demikian, dan walaupun ia
masih hidup, akan beruntung jika ia melarikan diri.”
”Kaya dan terhormat adalah yang dihasratkan manusia; namun jika tak selaras dengan kebenaran (hati nurani) mungkin semua itu tak memberinya kebahagian.”

(Lun Yu).

Selain gagasan li dan hati nurani, gagasan penting Konfucius yang lain ialah tentang Tao (Jalan). Arti semula dari tao ialah jalan, cara atau alur. Sebelum Konfucius, taobiasa diartikan sebagai tatacara atau etika. Tetapi setelah munculnya Lao Tze iartikan secara mistikal untuk menggambarkan Dzat pertama yang menyusun alam semesta atau keseluruhan segala sesuatu.
Konfucius sendiri mengartikan Tao sebagai Jalan di atas segala jalan lain yang seharusnya diikuti oleh manusia. Jadi artinya ialah Jalan Besar. Dalam Tao yang sebenarnya, tujuan yang ingin dicapai ialah kebahagiaan. Ia mencakup hukum-hukum moral yang berlaku bagi individu, dan juga berarti pola pemerintahan yang harus dilaksanakan untuk melahirkan kesejahteraan dan perkembangan  manusia dalam mencapai hakikat dirinya.
Han Yu, filosof Cina abad ke-8 M,  mengatakan bahwa yang dimaksud Tao oleh Konfucius ialah jalan atau cara bertindak, yang dijiwai oleh cita-cita keadilan (keadilan bagi orang Cina ialah kepatutan) dan didasarkan atas jen, rasa cinta pada kemanusiaan. Tao bukan suatu yang tetap, tetapi mengalami perubahan sesuai keperluan dan beranekaragam sesuai dengan keadaan orang yang melaksanakannya. Demikianlah dengan gagasannya tentang li dan tao, beserta pengertian yang diberikan pada dua istilah ini, dia telah berusaha menggantikan makna ’kesetiaan’ yang dibebankan pada setiap individu yang dahulunya ditujukan kepada pemerintah dan golongan feodal. Kesetiaan yang diinginkan Konfucius ialah kesetiaan kepada prinsip moral dan jalan kemanusiaan.

Etika Tanpa Metafisika
Telah dikemukakan bahwa Konfucius membangun sistem etika berdasar hakikat manusia dan keperluan individu untuk hidup bermasyarakat.  Ia juga memisahkan etika dan metafisika dalam ikhtiarnya memberi landasan yang rasional bagi sistem etika dan falsafah moral. Tidak seperti Meng Tze (Mencius), penganut Konfucianisme yang berpendapat bahwa pada dasarnya manusia itu baik, Konfucius tidak pernah mengatakan demikian. Guru Kung, demikian dia dipanggil, juga tidak seperti Hun Tzu, juga penganut Konfucianisme, yang mengatakan bahwa pada dasarnya manusia itu buruk atau jahat.
Guru Kung sangat dekat dengan persoalan-persoalan kongkrit yang dihadapi masyarakat dan manusia di sekelilingnya. Baginya mansia secara hakiki sama di mana saja. Tidak sedikit di antara mereka yang beruntung mendapat kedudukan tinggi dan berkemungkinan memiliki kepribadian dan watak terpuji disebabkan mendapat pendidikan yang baik; tetapi dalam kenyataan sering berperilaku seperti binatang, bebal dan keji. Tetapi sebaliknya tidak sedikit manusia yang tidak beruntung karena kurang berpendidikan dan berpangkat rendah, namun memiliki perilaku yang baik dan patut dihargai keperibadian serta budi pekertinya.
Pandangan Guru Kung didasarkan atas pengamatan langsung dan sederhana. Dia mengambil kesimpulan bahwa setiap manusia sebenarnya sangat mendambakan satu hal: Kebahagiaan. Hanya saja masing-masing sering mengartikan kebahagiaan itu dengan cara yang berbeda-beda. Konfucius sendiri tidak menetapkan bahwa apa itu kebahagiaan dan enggan pula menghubungkannya dengan kepercayaan atau agama. Yang jelas ia hanya mengatakan bahwa setiap manusia senantiasa berusaha memperoleh apa yang ia dambakan dan apa yang ia dambakan bisa menjadi sumber kebahagiaan apabila terpenuhi.
Dia berpendapat hanya sejauh berdasarkan kenyataan. Misalnya dia melihat di sekelilingnya kebanyakan rakyat hidup serba kekurangan, tidak sedikit yang menderita kelaparan, tertekan hidupnya disebabkan banyaknya kekacauan dan peperangan terjadi, serta ditindas oleh kaum bangsawan. Kaum bangsawan pun banyak tidak memperoleh kesenangan dan tidak bahagia, sebab hidup mereka tidak teratur dan sering menghadapi bahaya. Dalam rangka menjawab persoalan nyata itu Konfucius menyusun falsafah yang diharapkan bisa menjadi pedoman dalam menegakkan tatanan masyarakat yang membuat manusia bahagia. Bagaimana membuat manusia di negerinya berbahagia? Melalui sistem pemerintahan yang baik dan mendatangkan kepuasan bagi kehidupan rakyat banyak.
Pemerintahan yang demikian, menurut Konfucius, harus dibangun dengan memperhatikan kodrat dasar manusia dan kemanusiaan. Manusia adalah makhluk sosial dan kebahagiaan sebagai kebaikan bersama dapat diperoleh melalui kehidupan sosial yang beradab dan mengutamakan kebersamaan serta nilai-nilai moral. Karena itu, menurut Guru Kung, jika setiap orang bekerja untuk kebahagiaan bersama, maka besar kemungkinan tercipta keadaan yang diliputi kebahagiaan bersama dibanding dengan keadaan lain, apabila tidak ada keinginan untuk bekerja demi kebahagiaan bersama. Kebaikan dan kodrat manusia sebagai makhluk sosial, dengan begitu, membangun asas timbal balik.
Apa yang dimaksud asas timbal balik itu? Guru Kung hanya mengatakan, ”Tidak mengerjakan sesuatu terhadap orang lain, yang kita sendiri tidak menghendaki orang lain melakukannya terhadap kita.”  Katanya lagi, ”Manusia yang bijak dalam arti yang sebenarnya ialah apabila ia ingin memantapkan kedudukannya, ia akan berusaha pula memantapkan kedudukan orang lain; apabila ia ingin mendapat untung, ia akan berusaha membantu orang lain untuk mendapat untung. Jalan kebajikan yang sejati ialah menemukan prinsip perilaku terhadap orang lain dalam keinginan kita sendiri.”

Apa yang dikemukakannya itu berkaitan dengan asas Jalan Tengah (chung yung) yang ingin ditegakkan. Chung Yung adalah prinsip kehidupan manusia bermoral yang menghendaki keseimbangan dan harmoni.  Asas ini hanya bisa berlaku jika seseorang memulai dari dirinya sendiri. Menjadikan diri kita bermoral, kata Guru Kung, adalah menjadikan diri kita selaras dengan orang lain, dalam cita-cita, perilaku dan keinginan. Dalam kaitan ini Guru Kung juga mengajarkan bagaimana berbuat baik dalam kehidupan tanpa dibebani persoalan mengapa kita harus berbuat baik.