KON FU TZE ATAU KONG HU CU
SEBAGAI
FILOSOF
Muamar
Anis
Kon Fu Tze atau Kong Hu Cu di Barat dikenal dengan nama Latinnya
sebagai Konfucius (selanjutnya nama Latin inilah yang yang akan digunakan dalam
tulisan ini). Dia adalah seorang filosof besar dunia yang muncul pada abad ke-6
SM, hampir bersamaan waktu dengan munculnya Socrates di Yunani dan Zarathustra
di Persia.Tetapi berbeda dengan Socrates yang pemikirannya dikenal melalui tulisan-tulisan
muridnya Plato,Kon Fu Tze melahirkan kitab yang sampai kini tetap dijadikan
rujukan penting pemikiran filsafat di Tiongkok.Buku yang dimaksud ialah Lun Yu, dalam bahasa Inggeris diterjemahkan jadiAnalects. Seperti Zarathustra pula, dari pemikirannya lahir sebuah agama yang
cukup berpengaruh terutama pada bangsanya sendiri. Zarathustra melahirkan agama
Zoroaster, Kon Fu Tze melahirkan agama yang di Indonesia dikenal sebagai agama
Kong Hu Cu.
Filosof besar Asia inilahir pada tahun 531 SM di negeri Lu, kini
termasuk propinsi Shantung. Leluhurnya tidak jelas, namun di antara mereka
dahulunya terdapat bangsawan terkemuka. Dalam biografinya ia menulis bahwa
orang tuanya bukan orang berpangkat dan hidup sederhana. Ia sendiri harus
mencari nafkah sewaktu kecil. Sekalipun dalam keadaan miskin, ia tetap mampu
belajar. Kebanyakan ilmunya diperoleh dengan jalan belajar sendiri.
Pengalaman hidupnya yang pahit itu membuatnya peka terhadap
penderitaan rakyat kecil. Ia sangat prihatin dengan keadaan sekitarnya yang
dianggapnya telah rusak dan menyedihkan. Keprihatinannya inilah mendorong
semangat Konfucius melakukan perubahan dan pembaharuan,yaitu dengan
mendidik murid-murid yang kelak dapat dipersiapkan terlibat dalam pemerintahan.
Pada waktu itu Cina diperintah oleh golongan bangsawan yang pada
mulanya adalah kaum militer. Mereka hidup mewah. Rakyat diperas dengan dipaksa
bekerja secara rodi dan membayar pajak yang cukup tinggi. Memang, pada mulanya
mereka tampil sebagai pelindung masyarakat dan pengaman negara yang efektif,
namun setelah tumbuh menjadi kelas sosial tersendiri, maka timbullah berbagai
penyimpangan yang membuat rakyat sengsara.
Sebagaimana
telah dikemukakan Konfucius menginginkan perubahan.Dia mengajarkan falsafah dan
mendidik murid-murid dan pengikut-pengikutnya agar kelak dapat memainkan
peranan penting dalam pemerintahan, serta sanggup merombak pemerintahan yang
bobrok serta tidak memenuhi kebutuhan rakyat. Untuk itu latihan dan
tehnik-tehnik yang biasa dianggap tidak cukup. Untuk dapat mengemban tugas yang
berat mereka harus dididik agar mampu mengembangkan prakarsa, memiliki watak,
adab dan kecerdasan yang tinggi.
Konfucius percaya bahwa setiap orang dapat menjadi orang baik, yaitu chun tzu, tanpa peduli latar belakang sosial dan keturunan.
Di Cina pada waktu itu chun
tzu diartikan
sebagai orang baik yang beradab, tahu aturan dan sopan santun, memiliki
inisiatif sesuai dengan kemampuannya. Orang semacam itulah yang, menurut
Konfucius, dapat mengemban tugas-tugas pemerintahan dengan baik.
Mengapa ilmu dan seni pemerintahan menjadi perhatian Konfucius? Pada
zaman hidupnya, karena pemerintahan dikendalikan kaum militer, masyarakat pada
umumnya mengagung-agungkan ilmu dan seni perang, dan mengejek orang yang
memberi perhatian terhadap perlunya pemerintahan yang baik, bersih, menjunjung
hukum dan pengelolaan administrasinya baik. Sekalipun lebih menekankan ilmu dan
seni pemerintahan dibanding ilmu dan seni perang, yang pada waktu itu sangat
diperlukan mengingat banyaknya peperangan dan pembrontakan, tetapi Konuficius
sama sekali bukan penganut pasifisme. Ia juga mengajarkan bahwa kekerasan
diperlukan dalam menghadapi masalah-masalah yang memerlukan ketegasan. Namun
Konfucius yakin bahwa kekerasan bukan satu-satunya jalan dalam menyelesaikan
persoalan negara.
Chun Tzu dan Li
Chun
tzu adalah
istilah yang populer di Cina pada masa Konfucius untuk menyebut orang baik-baik
dan berkedudukan dalam masyarakat. Konfucius sendiri mengartikannya sebagai
orang yang mengenal adab, tatanan moral atau tatakrama dalam kehidupan sosial
dan politik. Dalam rangka mendidik murid-muridnya menjadi chun tzu, Konfucius mengingatkan bahwa adab dan
tatakrama telah rusak kehidupan politik masyarakat Cina pada waktu itu. Untuk
memperbaikinya diperlukan perbaikan dan reformasi. Reformasi yang diinginkan
ialah kembali kepada li, yang biasa diartikaan sebagai tatakrama.
Konfucius sendiri mengartikannya sebagai ‘upacara’. ‘adat istiadat’ atau
‘ketentuan-ketentuan hidup yang pantas diartikan’. Li merupakan ukuran bagi
orang yang ingin mencapai chung
yung,
jalan tengah – keseimbangan dan harmoni dalam kehidupan sosial.
Pada mulanya li diartikan sebagai ‘berkurban’, dan arti ini
masih berlaku sampai kini. Konfucius memperluas artinya sehingga mencakup adat
istiadat dan sistem kepercayaan yang melandasi pelaksanaan upacara kurban.
Karena itu kemudian pengertian li mencakup juga upacara dan tatacara yang berlaku
dalam masyarakat. Menurut Konfucius, apabila para penguasa dan pejabat dapat
menyelenggarakan kurban dan upacara lain dalam menghormati leluhur mereka,
mengapa mereka tidak berbuat yang sama seriusnya dalam menjalankan pemerintahan?
Bilamana para menteri saling menghormati dan menjaga adab, mengapa mereka harus
mengabaikan rakyat jelata yang merupakan tulang punggung negara?
Konfucius mengajarkan kepada muridnya agar dalam berhubungan dengan
orang lain, seseorang bersikap ‘sedang menerima tamu penting’; dan
apabila kelak menjadi pejabat atau pegawai tinggi hendaknya menghadapi rakyat
seperti dia ‘sedang memimpin upacara kebaktian agama dalam suatu penyajian
kurban besar”. Apa yang dikemukakan Konfucius ini hanya kias. Dia sebenarnya
bukan seorang tokoh yang memuja adat istiadat yang berlaku dan upacara-upacara
memuja leluhur yang sering diselenggarakan dengan penuh kemegahan dan
pemborosan. Bagi Konfucius yang penting adalah semangat yang tersembunyi dalam li, dan hakikat terdalam dari pengertiannya yang tersembunyi.
Suatu
ketika Guru Kung ditanya apakah hakikat li itu? Guru Kung menjawab:’’Ini pertanyaan penting! Berkenaan
dengan upacar, andaikata seseorang terpaksa berbuat salah dalam satu segu, maka
kesalahan terbaik dalam hal ini ialah terlampau hemat menyelenggarakan upacara
yang biasa dilaksanakan secara megah dan boros. Pada waktu upacara pemakaman
dan berkabung, mereka yang berkabung lebih baik jika merasa benar-benar sedih
dibanding mereka yang terlalu teliti terhadap ketentuan-ketentuan
penyelenggaraan upacara yang sekecil-kecilnya.” (Lun
Yu 3.4).
Ketika itu tatacara penyelenggaraan kurban penuh dengan
aturan-aturan rinci yang harus dipatuhi. Tidak sedikit di antara aturan-aturan
itu esensial dan penting. Konfucius jelas tidak setuju dengan tetek-bengek yang
menyulitkan dan penuh basa basi itu. Ia bisa menerima adat istiadat dan upacara
apabila secara rasional alasan-alasannya bisa diterima. Alasan yang masuk akal
inilah yang dijadikan pertimbangan Konfucius dalam menilai apakah perilaku
seseorang itu manusiawi ataukah bermoral. Kendati demikian Konfucius tidak
menganggap remeh adat istiadat, aturan dan adab sebab itu merupakan pedoman
penting dalam mengatur masyarakat yang tertib.
Demikianlah pengertian li dalam pemikiran Konfucius merupakan rasionalisasi atas sistem etika
yang berlaku pada waktu itu, sedangkan secara falsafah li diartikan sebagai ’tatanan masyarakat yang
ideal’, yang di dalamnya segala sesuatu harus diletakkan pada tempatnya yang
benar dan sesuai berdasarkan pertimbangan rasional. Sedangkan apabila dikenakan
kepada pribadi seseorang, li berarti keadaan pikiran (mind) yang cenderung pada kesalehan, ketulusan dan ketaatan memenuhi
ajaran agama, moral dan hati nurani.
Setelah
Konfucius, li kemudian diberi arti sebagai sistem kepercayaan
yang menekankan pada ’keseimbangan dan harmoni’ (chung yung), dan secara tersirat meletakkan manusia, alam dan Tuhan (t`ien) pada tempat dan kedudukannya yang benar. Konfucius mengajarkan
agar masyarakat berperilaku baik dan taat pada undang-undang dan hukum. Orang
Cina, menurut Lin Yu Tang, menganggap bahwa Konfucianisme merupakan agama li, atau ’agama adab dan moral yang
terpuji’. Dalam pandangan Konfucius sistem politik dan pemerintahan harus
tunduk pada sistem moral dan adab yang lebih luas. Dalam aforismenya Konfucius
misalnya memaparkan bagaimana moral pemerintahan yang ideal, sebagai berikut:
”Konfucius
berkata,’’Bimbinglah masyarakat dengan ukuran-ukuran dan
kendali pemerintahan atau aturlah mereka dengan ancaman hukuman, dan orang
akan berusaha tidak masuk penjara, kecuali mereka yang tak punya harga
diri dan rasa malu. Bimbinglah masyarakat dengan kebajikan dan kendali
atau aturlah mereka dengan itu, dan orang akan memiliki harga diri dan rasa
hormat.”
Manusia yang bijak dan bermoral,yang berpegang pada li, tidak akan menyia-nyiakan hidupnya dan
sebaliknya akan berusaha menjadi anggota masyarakat yang gemar bekerjasama
dengan sesamanya. Manusia yang demikian tidak menolak li sejauh tidak bertentangan dengan moral dan
tidak merugikan manusia.
Dalam falsafah pendidikan Konfucius, di mana gagasan li telah ditambah dengan pengertian moral,
peningkatan kecerdasan dianggap tidak penting apabila tidak disertai
keseimbangan emosi. Usaha untukk menghasilkan keseimbangan tersebut
tergantung pada pendidikan dalam li. Menurut Konfucius, ”Ilmu yang dimiliki oleh seorang chun tuzharus ditertibkan dengan menggunakan li”. Dengan demikian ia memiliki kekuatan menghadapi dunia, setia
pada prinsip dan pendirian, tahan menghadapi krisis dan godaan.
Etika dan Hakikat Manusia
Sistem etika dan falsafah yang dibangun oleh Konfucius didasarkan
pada alasan/pertimbangan tentang apakah sebenarnya hakikat manusia itu? Menurut
Konfucius manusia merupakan makhluk individu yang keberadaannya tidak terpisah
dari masyarakat. Di lain hal ia memandang bahwa masyarakat bukan sejenis
kesatuan metafisik yang sepenuhnya mengatasi individu. Jika masyarakat
benar-benar mengatasi individu, berarti keberadaan individu tidak ada artinya.
Untuk itu keberadaan individu harus dipertimbangkan dan diserap dalam rangka
kesatuan dan keseimbangan masyarakat.
Menurut Konfucius, manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial.
Meskipun demikian, tidak sepenuhnya dibentuk oleh masyarakat. Keadaan yang
dialami seseorang, kebiasaan-kebiasaan dan pola hidupnya, sebagian memang
dibentuk oleh masyarakat. Tetapi di lain hal, karena masyarakat merupakan
kumpulan individu manusia yang saling mempengaruhi satu dengan yang lain, maka
masyarakat sebenarnya juga dibentuk oleh individu-individu yang memainkan
peranan penting dalam pelbagai lapangan kehidupan.
Tetapi mengapa ada orang ingin memisahkan diri dari masyarakatnya,
dan ada juga orang yang gemar menentang adat istiadat dan tatanan moral yang
berlaku dalam masyarakat? Mengapa pula ada orang yang tidak mau mengikuti
pertimbangan-pertimbangan moral yang dianut masyarakat? Semua itu menurut
Konfucius disebabkan oleh suara hati nuraninya. Menjadi ’petapa’ dan ’mengikuti
kemauan khalayak’, sama saja buruk dan salah bagi Konfucius, karena ’hati
nurani’ manusia pada dasarnya ingin hidup bersama dengan manusia lain dalam
suatu komunitas yang disebut masyarakat, dan ’hati nurani’ pula yang pada
dasanya mendorong seseorang menginginkan perubahan dan perbaikan dalam
masyarakat.Landasan kebenaran dalam kehidupan sosial adalah hati nurani. Hati
nurani inilah yang dirujuk Konfucius ketika dia berkata:
”Seseorang
tanpa keadaan sebenarnya, aku tak tahu apa jadinya!”
”Biarlah
kesetian dan kebenaran menjadi yang utama bagimu.”
”Lebih
baik tulus dan ikhlas, dibanding sekedar berpegang teguh (pada aturan)”
”Manusia
dilahirkan untuk berdiri tegak, jika tidak demikian, dan walaupun ia
masih
hidup, akan beruntung jika ia melarikan diri.”
”Kaya
dan terhormat adalah yang dihasratkan manusia; namun jika tak selaras dengan
kebenaran (hati nurani) mungkin semua itu tak memberinya kebahagian.”
(Lun Yu).
Selain gagasan li dan hati nurani, gagasan penting Konfucius yang
lain ialah tentang Tao (Jalan). Arti semula dari tao ialah jalan, cara atau alur. Sebelum Konfucius, taobiasa diartikan sebagai tatacara atau etika. Tetapi setelah
munculnya Lao Tze iartikan secara mistikal untuk menggambarkan Dzat pertama
yang menyusun alam semesta atau keseluruhan segala sesuatu.
Konfucius
sendiri mengartikan Tao sebagai Jalan di atas segala jalan lain yang
seharusnya diikuti oleh manusia. Jadi artinya ialah Jalan Besar. Dalam Tao yang sebenarnya, tujuan yang ingin dicapai
ialah kebahagiaan. Ia mencakup hukum-hukum moral yang berlaku bagi individu,
dan juga berarti pola pemerintahan yang harus dilaksanakan untuk melahirkan
kesejahteraan dan perkembangan manusia dalam mencapai hakikat dirinya.
Han Yu, filosof Cina abad ke-8 M, mengatakan bahwa yang
dimaksud Tao oleh Konfucius ialah jalan atau cara bertindak,
yang dijiwai oleh cita-cita keadilan (keadilan bagi orang Cina ialah kepatutan)
dan didasarkan atas jen, rasa cinta pada kemanusiaan. Tao bukan suatu
yang tetap, tetapi mengalami perubahan sesuai keperluan dan beranekaragam
sesuai dengan keadaan orang yang melaksanakannya. Demikianlah dengan gagasannya
tentang li dan tao, beserta pengertian yang diberikan pada dua istilah ini, dia telah
berusaha menggantikan makna ’kesetiaan’ yang dibebankan pada setiap individu
yang dahulunya ditujukan kepada pemerintah dan golongan feodal. Kesetiaan yang
diinginkan Konfucius ialah kesetiaan kepada prinsip moral dan jalan
kemanusiaan.
Etika Tanpa Metafisika
Telah dikemukakan bahwa Konfucius membangun sistem etika berdasar
hakikat manusia dan keperluan individu untuk hidup bermasyarakat. Ia juga
memisahkan etika dan metafisika dalam ikhtiarnya memberi landasan yang rasional
bagi sistem etika dan falsafah moral. Tidak seperti Meng Tze (Mencius),
penganut Konfucianisme yang berpendapat bahwa pada dasarnya manusia itu baik,
Konfucius tidak pernah mengatakan demikian. Guru Kung, demikian dia dipanggil,
juga tidak seperti Hun Tzu, juga penganut Konfucianisme, yang mengatakan bahwa
pada dasarnya manusia itu buruk atau jahat.
Guru Kung sangat dekat dengan persoalan-persoalan kongkrit yang
dihadapi masyarakat dan manusia di sekelilingnya. Baginya mansia secara hakiki
sama di mana saja. Tidak sedikit di antara mereka yang beruntung mendapat
kedudukan tinggi dan berkemungkinan memiliki kepribadian dan watak terpuji
disebabkan mendapat pendidikan yang baik; tetapi dalam kenyataan sering
berperilaku seperti binatang, bebal dan keji. Tetapi sebaliknya tidak sedikit
manusia yang tidak beruntung karena kurang berpendidikan dan berpangkat rendah,
namun memiliki perilaku yang baik dan patut dihargai keperibadian serta budi
pekertinya.
Pandangan Guru Kung didasarkan atas pengamatan langsung dan
sederhana. Dia mengambil kesimpulan bahwa setiap manusia sebenarnya sangat
mendambakan satu hal: Kebahagiaan. Hanya saja masing-masing sering mengartikan
kebahagiaan itu dengan cara yang berbeda-beda. Konfucius sendiri tidak
menetapkan bahwa apa itu kebahagiaan dan enggan pula menghubungkannya dengan
kepercayaan atau agama. Yang jelas ia hanya mengatakan bahwa setiap manusia
senantiasa berusaha memperoleh apa yang ia dambakan dan apa yang ia dambakan
bisa menjadi sumber kebahagiaan apabila terpenuhi.
Dia berpendapat hanya sejauh berdasarkan kenyataan. Misalnya dia
melihat di sekelilingnya kebanyakan rakyat hidup serba kekurangan, tidak
sedikit yang menderita kelaparan, tertekan hidupnya disebabkan banyaknya
kekacauan dan peperangan terjadi, serta ditindas oleh kaum bangsawan. Kaum
bangsawan pun banyak tidak memperoleh kesenangan dan tidak bahagia, sebab hidup
mereka tidak teratur dan sering menghadapi bahaya. Dalam rangka menjawab
persoalan nyata itu Konfucius menyusun falsafah yang diharapkan bisa menjadi
pedoman dalam menegakkan tatanan masyarakat yang membuat manusia bahagia. Bagaimana
membuat manusia di negerinya berbahagia? Melalui sistem pemerintahan yang baik
dan mendatangkan kepuasan bagi kehidupan rakyat banyak.
Pemerintahan yang demikian, menurut Konfucius, harus dibangun dengan
memperhatikan kodrat dasar manusia dan kemanusiaan. Manusia adalah makhluk
sosial dan kebahagiaan sebagai kebaikan bersama dapat diperoleh melalui
kehidupan sosial yang beradab dan mengutamakan kebersamaan serta nilai-nilai
moral. Karena itu, menurut Guru Kung, jika setiap orang bekerja untuk
kebahagiaan bersama, maka besar kemungkinan tercipta keadaan yang diliputi
kebahagiaan bersama dibanding dengan keadaan lain, apabila tidak ada keinginan
untuk bekerja demi kebahagiaan bersama. Kebaikan dan kodrat manusia sebagai
makhluk sosial, dengan begitu, membangun asas timbal balik.
Apa yang dimaksud asas timbal balik itu? Guru Kung hanya mengatakan,
”Tidak mengerjakan sesuatu terhadap orang lain, yang kita sendiri tidak
menghendaki orang lain melakukannya terhadap kita.” Katanya lagi,
”Manusia yang bijak dalam arti yang sebenarnya ialah apabila ia ingin
memantapkan kedudukannya, ia akan berusaha pula memantapkan kedudukan orang
lain; apabila ia ingin mendapat untung, ia akan berusaha membantu orang lain
untuk mendapat untung. Jalan kebajikan yang sejati ialah menemukan prinsip
perilaku terhadap orang lain dalam keinginan kita sendiri.”
Apa yang dikemukakannya itu berkaitan dengan asas Jalan Tengah (chung yung) yang ingin ditegakkan. Chung Yung adalah prinsip kehidupan manusia bermoral yang menghendaki
keseimbangan dan harmoni. Asas ini hanya bisa berlaku jika seseorang
memulai dari dirinya sendiri. Menjadikan diri kita bermoral, kata Guru Kung,
adalah menjadikan diri kita selaras dengan orang lain, dalam cita-cita,
perilaku dan keinginan. Dalam kaitan ini Guru Kung juga mengajarkan bagaimana
berbuat baik dalam kehidupan tanpa dibebani persoalan mengapa kita harus
berbuat baik.