CHUNG
YUNG:
AJARAN
TENTANG JALAN TENGAH
Oleh:MUAMAR
ANIS
Ajaran Jalan Tengah dalam falsafah Tiongkok
dikemukakan oleh Konfucius, nama Latin untuk Kong Hu Cu atau Kon Fu Tze,
seorang filosof abad ke-6 SM yang hidup sezaman dengan Lao Tze. Dia menguraikan
ajarannya itu dalam kitab yang diberi judul Lun Yu atau Analects. Menurutnya pencapaian tertinggi kehidupan
orang yang bermoral ialah mencapai keseimbangan dan keselarasan. Keseimbangan
dan keselarasan ini dibawa ke dalam kehidupan sosial bersamaan dengan matangnya
pribadi seseorang dan tingkat kearifan serta kebajikan yang dimilikinya. Ajaran
tentang keselarasan ini disebut chung yung atau ’jalan tengah’. Bagaimana arti chung
yung yang
sebenarnya, dapat diketahui dengan mencari batasan-batasan atau takrifnya yang
memuaskan.
Dalam bahasa Inggris kata-kata ’chung yung’
sering diterjemahkan sebagai ’golden mean’ atau ’central harmony’. Ini
menunjuk pada kenyataan bahwa yang diajarkan Konfusius ialah ’bagaimana berbuat
baik tanpa mempersoalkan mengapa kita harus berbuat baik’. Artinya bagaimana
seseorang melakukan kebajikan atau berbuat disertai perasaan tulus atau ikhlas,
tanpa mempertimbangkan untung ruginya.
Namun yang mengembangkan ajaran ini ialah Meng Tze (Mencius) dan Hun Tze, dua
tokoh Konfusianis yang mempunyai jalan pikiran berbeda tentang kodrat manusia.
Kedua tokoh inilah yang memberi landasan psikologis terhadap ajaran Jalan
Tengah-nya Konfusius.
Chung
Yung dan Jen atau Kemanusiaan
Dalam kitabnya Lun Yu atau dalam bahasa Inggris disebut Analects, Konfusius (551-479 M) mengemukakan konsep jen, yang segera menjadi gagasan utama dalam
falsafah Cina. Secara umum kata jen diartikan sebagai kemanusiaan, humanitas
atau rasa kemanusiaan. Secara falsafah jen kerap diartikan sebagai kemampuan
mengendalikan diri dan upaya kembali ke asas kehidupan yang kodrati (li). Sayangnya Konfusius tidak memberikan
takrif yang luas dan juga jarang menelaah jen secara panjang lebar dan rinci. Namun secara
tersirat ia mengemukakan bahwa jen mencakup pengertian tentang ikhtiar
manusia dalam merealisasikan dirinya dan menciptakan tatanan sosial yang
tertib.
Di antara cakupan yang lebih luas dari gagasan jen ialah ’sikap hormat terhadap kehidupan
pribadi, bersungguh-sungguh menangani persoalan dan setia menjalankan tugas
serta kewajiban berkenaan dengan kehidupan sosial’. Menurut Konfusius, ”Orang
yang melaksanakan jen bertujuan membangun sifat dan wataknya
sendiri, dan juga berusaha membangun watak dan kepribadian orang lain.
Berkeinginan dirinya berhasil, berarti berkeinginan pula menolong orang lain
berhasil. Dengan perkataan lain, orang yang melaksanakan jen, melaksanakan pula kemanusiaan dan
mencintai semua orang sebagaimana mencintai dirinya sendiri. Indvidualisme dan
altruisme menyatu dalam dirinya.
Sebagaimana istilah-istilah konseptual lain seperti li (asas, prinsip hidup yang kodrati), ch’i (kekuatan material,energi) dan lain-lain, jen dikaitkan pula dengan berbagai aspek
kehidupan termasuk seni pemerintahan, kedokteran, ilmu masak memasak, seni
puisi dan musik. Kadang-kadang jen diartikan sebagai ’kebaikan’, tercermin
dari istilah-istilah seperti neng
jen artinya
kemampuan menjadi baik, dan jen-tzu yang artinya ialah kuil kebaikan. Kebaikan
seseorang terlihat bukan hanya dalam kata-kata, tetapi dalam perbuatan dan
akibat langsung dari sebuah perbuatan. Konfusius sendiri pernah mengatakan,”Kudengar
kata-kata seseorang dan kuperhatikan perbuatannya”.
Meng
Tze: Jalan Tengah dan Kodrat Manusia
Meng Tze atau Mencius (372-289 SM) adalah filosof yang menguraikan lebih rinci
tentang ajaran Jalan Tengah. Dalam kaitannya dengan jen, dia mengatakan, ”Kita berbuat baik, bukan
hanya oleh karena berbuat baik, tetapi karena memang patut berbuat baik.
Sebab-sebabnya ialah karena kodrat manusia itu baik sebagaimana air yangs ecara
alami mengalir dari tempat tinggi ke tempat yang rendah.
Menurut Meng Tze, jika manusia berbuat jahat, hal itu tidak disebabkan karena
pembawaannya yang salah. Semua orang memiliki (1) perasaan malu; (2) perasaan
perasaan benar dan salah. Keempat perasaan merupakan awal dari tumbuhnya
kemanusiaan, kebenaran, kesopanan dan kearifan dalam diri manusia.
Kesadaran moral adalah sarana mencapai Chung
Yung. Ia
berakar dalam hati semua orang. Bahkan demikian halnya dapat dibuktikan dalam
kenyataan bahwa anak-anak tahu benar bagaimana mencintai orang tuanya. Bilamana
ia melihat anak-anak sebayanya hampir jatuh ke dalam sumur, sekonyong-konyong
akan tumbuh rasa kasih sayang dan keinginannya untuk menolong. Keinginan untuk
menolong itu muncul tanpa terelakkan dalam hati mereka, tanpa pertimbangan yang
berbelit-belit. Perasaan-perasaan ini merupakan kemampuan bawaan yang tak perlu
dipelajari dan juga merupakan pengetahuan yang dapat dimiliki seseorang tanpa
memerlukan pertimbangan-pertimbangan.
Menurut Meng Tze, ”Segala sesuatu sejak awal lengkap dalam dirinya. Tak ada
kegembiraan yang lebih besar selain menguji diri sendiri dan menjadikan diri
tulus sepenuhnya”. Ketulusan adalah jalan langit, sedangkan berpikir bagaimana
menjadi tulus merupakan jalan manusia. Karena itu asas yang memberi petunjuk
bagi perbuatan manusia ialah mewujudkan pikiran secara penuh. Mengasah pikiran
berarti berusaha mengetahui sepenuhnya kodrat bawaankita dan mengetahui kodrat
bawaan kita berarti mengetahui kodrat bawaan langit.
Melihat ke dalam diri kita adalah upaya mengetahui alam. Untuk itu kita tak
perlu pergi terlalu jauh dari diri kita, tak perlu menemui pendeta, karena ia
sama saja dengan kita, yang juga tidak bisa pergi terlalu jauh dari dirinya.
Menurut Meng Tze, Chung(keseimbangan, sentralitas) dan Yung (keselarasan) Alam Semesta ada dalam tatanan
jiwa kita dan menjadi kodrat bawaan kita. Melalui pengetahuan kita
menemukannnya kembali dan dapat mewujudkannya dalam kehidupan.
Meng Tze berpendapat bahwa dalam mencapai Chung
Yung ada
dua tahap yang dapat ditempuh, yaitu: (1) Melalui jalan pikiran; (2) Melalui
kelurusan budi. Yang pertama merupakan dasar etika suatu masyarakat dan yang
kedua merupakan dasar kehidupan politik.
Bagaimana kaitannya dengan jen? Menurut Meng Tze, jen harus dipaham sebagai
sebagai
kemanusiaan karena rasa kemanusiaan merupakan watak sejati manusia. Bilamana
kemanusiaan melekat dalam tindakan dan perbuatan, maka jen disebut Tao (jalan, pembawan). Manusia
yang memenui kemanusiaannya tidak berbuat menyimpang dari kemanusiaannya.
Ia mencintai semua orang. Bukti paling alami dari jen ialah kesetiaan seorang anak pada
orang tuanya. Ini merupakan kebajikan terbesar manusia.
Demikian Meng Tze mengajarkan bahwa menghormati orang tua merupakan kebajikan
utama dan sekaligus merupakan dasar utama rasa kemanusiaan. Selanjutnya
Meng Tze menyebut bahwa ada lima bentuk hubungan kemanusiaan yang
terpenting dan semua
Bentuk
itu harus dilandasi oleh jen:
1. Hubungan
antara orang tua dan anak, harus ada kasih sayang; Jen di sini diterjemahkan sebagai kasih
sayang
2.Hubungan
antara penguasa dan menteri-menterinya, harus dilandasi kebajikan dan atau
kebenaran. Jen di sini diartikan sebagai kebajikan.
3.Hubungan
antara suami dan istri, harus ada perhatian terhadap peranan masing-masing
yang berbeda.
4. Hubungan
orang tua dan anak muda, harus ada tatanan yang benar.
5. Hubungan
antar teman, harus ada rasa saling percaya.
Hsun
Tzu
Dalam
menafsirkan Chung Yung, Hsun Tzu berbeda dari Meng Tze. Tekanannya pada
humanisme lebih kuat. Walaupun demikian keduanya adalah pengikut dan penafsir
ulung ajaran Konfusius. Perbedaannya dengan pemikiran Meng Tze tampak misalnya
dalam menafsirkan Tao. Kalau Meng Tze mengatakan bahwa Tao adalah jalannya
langit, Hun Tzu berpendapat bahwa Tao justru adalah jalannya manusia.
Diterjemahkan dalam kehidupan sosial dan kemanusiaan, Hun Tzu mengartikannya
sebagai ’cara memerintah sebuah negara’, yaitu mengorganisir orang-orang dalam
suatu tatanan kekuasaan politik untuk kepentingan bersama.
Berdasarkan pandangannya ini dia mengarahkan ajaran Jalan
Tengah atau Chung
Yung ke
tujuan lain. Selain itu perbedaan pemikirannya dengan Meng Tze tampak dalam
memandang kodrat manusia. Dia berpendapat bahwa secara kodrati manusia itu
jahat, setidak-tidaknya memiliki kecenderungan kuat untuk berbuat jahat.
Kebaikan hanya muncul disebabkan jenis aktivitas, lingkungan pergaulan dan
latar belakang pendidikan yang diperoleh. Karena itu membangun lingkungan
sosial yang memungkinkan kebajikan berkembang, serta lembaga pendidikan dan
mengembangkan berbagai aktivitas yang terorganisir dengan baik, mutlak
diperlukan. Hanya lembaga pendidikan dan lingkungan yang baik dapat mengajarkan
bagaimana manusia itu sanggup berbuat baik.
Hun Tzu menekankan bahwa setiap orang memerlukan guru yang dapat membimbingnya
ke arah kebaikan, dan setiap orang memerlukan aturan (adab) dan hukum yang
ditaati bersama, yang memberi rintangan bagi kecenderungannya untuk berbuat
jahat. Kebajikan bukanlah kodrat bawaan manusia sejak lahir, tetapi dihimpun
dan dikumpulkan dalam perjalanan hidupnya. Menjadi manusia baik, dengan
demikian, memerlukan proses. Hsun Tze mengumpamakannya sebagai gunung yang
dibentuk oleh tumpukan tanah.
Asas yang memungkinkan kebajikan tumbuh ialah li, sopan santun atau adab. Alasannya ialah
karena masyarakat merupakan dibentuk dari individu-individu dengan latar
belakang sosial, pendidikan dan pengalaman berbeda-beda. Asas yang ditaati bersama
diperlukan agar terbentuk tatanan sosial yang didambakan dan asas ini haruslah
mengatasi perbedaan yang ada dalam masyarakat. Pemerintahan yang baik, menurut
tokoh ini, ialah pemerintahan yang dikendalikan oleh seorang raja yang berjiwa
pendeta.
Apabila kebajikan religius mencapai peringkat yang memadao, seseorang akan
mampu menjadikan dirinya sebagai bagian dari tiga serangkai kekuatan: Langit,
Bumi dan Manusia. Ajaran Hun Tzu memberi jalan bagi munculnya faham legalisme (Fa), walaupun aliran tersebut bertentangan
dengan ajaran Konfusius.
Perkembangan
Pasca-Meng Tze dan Hun Tze
Pada abad ke-4 S. M. Konfusianisme berkembang ke arah lain. Perkembangan itu
tampak tanda-tandanya pada kecenderungan membangun landasan metafisika bagi
ajaran humanismenya. Menurut pemikiran baru ini, chung yang semula berarti keseimbangan dalam arti
moral, kini diberi arti sebagai dasar utama dunia; yung, yang biasa diartikan sebagai keselarasan
perbuatan seseorang dengan tatanan moral yang berlaku, kini diartikan sebagai
jalan universal.
Apabila chung
yung dilaksanakan
pada peringkat yang tinggi, maka langit dan bumi akan memiliki tatanan yang
benar, dan seagala sesuatu di dalamnya akan berkembang menurut fitrahnya.
Berdasarkan inilah manusia unggul disebut Chung Yung, dalam arti memiliki
kehidupan moral yang baik dan penuh kebajikan dalam setiap perilaku sosialnya.
Chung
Yung versi
baru ini, dengan landasan metafisikanya, dikemukakan dalam kitab li
Chi (Kitab
Adab) karangan Tzu Ssu (492-431 SM), salah seorang dari cucu Konfusius. Lebih
jauh Tzu Ssu mengemukakan bahwa ketulusan (ch’eng) merupakan jalan langit’ dan berpikir
bagaimana seseorang menjadi tulus merupakan jalannya manusia. Ketulusan
yang mutlak bersifat kekal, maujud dengan sendirinya, tidak terbatas, luas dan
dalam, transendental dan cerdas. Ch’eng terdiri dari dan mencakup semua eksistensi;
meliputi dan menyempurnakan segala keberadaan.
Ciri ketulusan yang univeral ini ialah: ia menonjol tanpa pamer diri,
menghasilkan perubahan tanpa bergerak jauh dan mencapai tujuan tanpa bertindak
aktif. Hanya mereka yang benar-benar ikhlas dapat mengembangkan kodrat
dirinya secara penuh dan sekaligus mengembangkan kodrat lain secara penuh pula.
Dengan begitu dia dapat pula mengembangkan kodrat hal-hal, serta dapat menolong
mentransformasikan dan mengembangkan pergerakan langit dan bumi.