Senin, 30 Juni 2014

AJARAN JALAN TENGAH DALAM FALSAFAH TIONGKOK

CHUNG YUNG:
AJARAN TENTANG JALAN TENGAH

Oleh:MUAMAR ANIS


             Ajaran Jalan Tengah dalam falsafah Tiongkok dikemukakan oleh Konfucius, nama Latin untuk Kong Hu Cu atau Kon Fu Tze, seorang filosof abad ke-6 SM yang hidup sezaman dengan Lao Tze. Dia menguraikan ajarannya itu dalam kitab yang diberi judul Lun Yu atau Analects. Menurutnya pencapaian tertinggi kehidupan orang yang bermoral ialah mencapai keseimbangan dan keselarasan. Keseimbangan dan keselarasan ini dibawa ke dalam kehidupan sosial bersamaan dengan matangnya pribadi seseorang dan tingkat kearifan serta kebajikan yang dimilikinya. Ajaran tentang keselarasan ini disebut chung yung atau ’jalan tengah’. Bagaimana arti chung yung  yang sebenarnya, dapat diketahui dengan mencari batasan-batasan atau takrifnya yang memuaskan.
             Dalam bahasa Inggris kata-kata ’chung yung’ sering diterjemahkan sebagai ’golden mean’ atau ’central harmony’.  Ini menunjuk pada kenyataan bahwa yang diajarkan Konfusius ialah ’bagaimana berbuat baik tanpa mempersoalkan mengapa kita harus berbuat baik’. Artinya bagaimana seseorang melakukan kebajikan atau berbuat disertai perasaan tulus atau ikhlas, tanpa mempertimbangkan untung ruginya.
            Namun yang mengembangkan ajaran ini ialah Meng Tze (Mencius) dan Hun Tze, dua tokoh Konfusianis yang mempunyai jalan pikiran berbeda tentang kodrat manusia. Kedua tokoh inilah yang memberi landasan psikologis terhadap ajaran Jalan Tengah-nya Konfusius.

Chung Yung dan Jen atau Kemanusiaan
            Dalam kitabnya Lun Yu atau dalam bahasa Inggris disebut Analects, Konfusius (551-479 M) mengemukakan konsep jen, yang segera menjadi gagasan utama dalam falsafah Cina. Secara umum kata jen diartikan sebagai kemanusiaan, humanitas atau rasa kemanusiaan. Secara falsafah jen  kerap diartikan sebagai kemampuan mengendalikan diri dan upaya kembali ke asas kehidupan yang kodrati (li). Sayangnya Konfusius tidak memberikan takrif yang luas dan juga jarang menelaah  jen secara panjang lebar dan rinci. Namun secara tersirat ia mengemukakan bahwa jen  mencakup pengertian tentang ikhtiar manusia dalam merealisasikan dirinya dan menciptakan tatanan sosial yang tertib.
            Di antara cakupan yang lebih luas dari gagasan jen ialah ’sikap hormat terhadap kehidupan pribadi, bersungguh-sungguh menangani persoalan dan setia menjalankan tugas serta kewajiban berkenaan dengan kehidupan sosial’. Menurut Konfusius, ”Orang yang melaksanakan jen bertujuan membangun sifat dan wataknya sendiri, dan juga berusaha membangun watak dan kepribadian orang lain. Berkeinginan dirinya berhasil, berarti berkeinginan pula menolong orang lain berhasil.  Dengan perkataan lain, orang yang melaksanakan jen, melaksanakan pula kemanusiaan dan mencintai semua orang sebagaimana mencintai dirinya sendiri. Indvidualisme dan altruisme menyatu dalam dirinya.
           Sebagaimana istilah-istilah konseptual lain seperti li (asas, prinsip hidup yang kodrati), ch’i (kekuatan material,energi) dan lain-lain, jen dikaitkan pula dengan berbagai aspek kehidupan termasuk seni pemerintahan, kedokteran, ilmu masak memasak, seni puisi dan musik. Kadang-kadang jen diartikan sebagai ’kebaikan’, tercermin dari  istilah-istilah seperti neng jen artinya kemampuan menjadi baik, dan jen-tzu yang artinya ialah kuil kebaikan. Kebaikan seseorang terlihat bukan hanya dalam kata-kata, tetapi dalam perbuatan dan akibat langsung dari sebuah perbuatan. Konfusius sendiri pernah mengatakan,”Kudengar kata-kata seseorang dan kuperhatikan perbuatannya”.
                 
Meng Tze: Jalan Tengah dan Kodrat Manusia
            Meng Tze atau Mencius (372-289 SM) adalah filosof yang menguraikan lebih rinci tentang ajaran Jalan Tengah. Dalam kaitannya dengan jen, dia mengatakan, ”Kita berbuat baik, bukan hanya oleh karena berbuat baik, tetapi karena memang patut berbuat baik. Sebab-sebabnya ialah karena kodrat manusia itu baik sebagaimana air yangs ecara alami mengalir dari tempat tinggi ke tempat yang rendah.
            Menurut Meng Tze, jika manusia berbuat jahat, hal itu tidak disebabkan karena pembawaannya yang salah. Semua orang memiliki (1) perasaan malu; (2) perasaan perasaan benar dan salah. Keempat perasaan merupakan awal dari tumbuhnya kemanusiaan, kebenaran, kesopanan dan kearifan dalam diri manusia.
            Kesadaran moral adalah sarana mencapai Chung Yung. Ia berakar dalam hati semua orang. Bahkan demikian halnya dapat dibuktikan dalam kenyataan bahwa anak-anak tahu benar bagaimana mencintai orang tuanya. Bilamana ia melihat anak-anak sebayanya hampir jatuh ke dalam sumur, sekonyong-konyong akan tumbuh rasa kasih sayang dan keinginannya untuk menolong. Keinginan untuk menolong itu muncul tanpa terelakkan dalam hati mereka, tanpa pertimbangan yang berbelit-belit. Perasaan-perasaan ini merupakan kemampuan bawaan yang tak perlu dipelajari dan juga merupakan pengetahuan yang dapat dimiliki seseorang tanpa memerlukan pertimbangan-pertimbangan.
            Menurut Meng Tze, ”Segala sesuatu sejak awal lengkap dalam dirinya. Tak ada kegembiraan yang lebih besar selain menguji diri sendiri dan menjadikan diri tulus sepenuhnya”. Ketulusan adalah jalan langit, sedangkan berpikir bagaimana menjadi tulus merupakan jalan manusia. Karena itu asas yang memberi petunjuk bagi perbuatan manusia ialah mewujudkan pikiran secara penuh. Mengasah pikiran berarti berusaha mengetahui sepenuhnya kodrat bawaankita dan mengetahui kodrat bawaan kita berarti mengetahui kodrat bawaan langit.
            Melihat ke dalam diri kita adalah upaya mengetahui alam. Untuk itu kita tak perlu pergi terlalu jauh dari diri kita, tak perlu menemui pendeta, karena ia sama saja dengan kita, yang juga tidak bisa pergi terlalu jauh dari dirinya. Menurut Meng Tze, Chung(keseimbangan, sentralitas) dan Yung (keselarasan) Alam Semesta ada dalam tatanan jiwa kita dan menjadi kodrat bawaan kita. Melalui pengetahuan kita menemukannnya kembali dan dapat mewujudkannya dalam kehidupan.
            Meng Tze berpendapat bahwa dalam mencapai Chung Yung ada dua tahap yang dapat ditempuh, yaitu: (1) Melalui jalan pikiran; (2) Melalui kelurusan budi. Yang pertama merupakan dasar etika suatu masyarakat dan yang kedua merupakan dasar kehidupan politik.
            Bagaimana kaitannya dengan jen? Menurut Meng Tze, jen harus dipaham sebagai
sebagai kemanusiaan karena rasa kemanusiaan merupakan watak sejati manusia. Bilamana kemanusiaan melekat dalam tindakan dan perbuatan, maka jen  disebut Tao (jalan, pembawan). Manusia yang memenui kemanusiaannya tidak berbuat menyimpang dari kemanusiaannya. Ia  mencintai semua orang. Bukti paling alami dari jen  ialah kesetiaan seorang anak pada orang tuanya. Ini merupakan kebajikan terbesar manusia.
            Demikian Meng Tze mengajarkan bahwa menghormati orang tua merupakan kebajikan utama dan sekaligus merupakan dasar utama rasa kemanusiaan.  Selanjutnya Meng Tze menyebut bahwa ada lima bentuk hubungan kemanusiaan yang terpenting dan semua
Bentuk itu harus dilandasi oleh jen:

1. Hubungan antara orang tua dan anak, harus ada kasih sayang; Jen  di sini diterjemahkan sebagai kasih sayang
2.Hubungan antara penguasa dan menteri-menterinya, harus dilandasi kebajikan dan atau kebenaran. Jen  di sini diartikan sebagai kebajikan.
3.Hubungan antara suami dan istri, harus ada perhatian terhadap peranan masing-masing yang berbeda.
4. Hubungan orang tua dan anak muda, harus ada tatanan yang benar.
5. Hubungan antar teman, harus ada rasa saling percaya.  

Hsun Tzu
Dalam menafsirkan Chung Yung, Hsun Tzu berbeda dari Meng Tze. Tekanannya pada humanisme lebih kuat. Walaupun demikian keduanya adalah pengikut dan penafsir ulung ajaran Konfusius. Perbedaannya dengan pemikiran Meng Tze tampak misalnya dalam menafsirkan Tao. Kalau Meng Tze mengatakan bahwa Tao adalah jalannya langit, Hun Tzu berpendapat bahwa Tao justru adalah jalannya manusia. Diterjemahkan dalam kehidupan sosial dan kemanusiaan, Hun Tzu mengartikannya sebagai ’cara memerintah sebuah negara’, yaitu mengorganisir orang-orang dalam suatu tatanan kekuasaan politik untuk kepentingan bersama.
            Berdasarkan pandangannya ini dia mengarahkan ajaran Jalan Tengah atau Chung Yung ke tujuan lain. Selain itu perbedaan pemikirannya dengan Meng Tze tampak dalam memandang kodrat manusia. Dia berpendapat bahwa secara kodrati manusia itu jahat, setidak-tidaknya memiliki kecenderungan kuat untuk berbuat jahat. Kebaikan hanya muncul disebabkan jenis aktivitas, lingkungan pergaulan dan latar belakang pendidikan yang diperoleh. Karena itu membangun lingkungan sosial yang memungkinkan kebajikan berkembang, serta lembaga pendidikan dan mengembangkan berbagai aktivitas yang terorganisir dengan baik, mutlak diperlukan. Hanya lembaga pendidikan dan lingkungan yang baik dapat mengajarkan bagaimana manusia itu sanggup berbuat baik.
            Hun Tzu menekankan bahwa setiap orang memerlukan guru yang dapat membimbingnya ke arah kebaikan, dan setiap orang memerlukan aturan (adab) dan hukum yang ditaati bersama, yang memberi rintangan bagi kecenderungannya untuk berbuat jahat. Kebajikan bukanlah kodrat bawaan manusia sejak lahir, tetapi dihimpun dan dikumpulkan dalam perjalanan hidupnya. Menjadi manusia baik, dengan demikian, memerlukan proses. Hsun Tze mengumpamakannya sebagai gunung yang dibentuk oleh tumpukan tanah.
            Asas yang memungkinkan kebajikan tumbuh ialah li, sopan santun atau adab. Alasannya ialah karena masyarakat merupakan dibentuk dari individu-individu dengan latar belakang sosial, pendidikan dan pengalaman berbeda-beda. Asas yang ditaati bersama diperlukan agar terbentuk tatanan sosial yang didambakan dan asas ini haruslah mengatasi perbedaan yang ada dalam masyarakat. Pemerintahan yang baik, menurut tokoh ini, ialah pemerintahan yang dikendalikan oleh seorang raja yang berjiwa pendeta.
            Apabila kebajikan religius mencapai peringkat yang memadao, seseorang akan mampu menjadikan dirinya sebagai bagian dari tiga serangkai kekuatan: Langit, Bumi dan Manusia. Ajaran Hun Tzu memberi jalan bagi munculnya faham legalisme (Fa), walaupun aliran tersebut bertentangan dengan ajaran Konfusius.

Perkembangan Pasca-Meng Tze dan Hun Tze
            Pada abad ke-4 S. M. Konfusianisme berkembang ke arah lain. Perkembangan itu tampak tanda-tandanya pada kecenderungan membangun landasan metafisika bagi ajaran humanismenya. Menurut pemikiran baru ini, chung yang semula berarti keseimbangan dalam arti moral, kini diberi arti sebagai dasar utama dunia; yung, yang biasa diartikan sebagai keselarasan perbuatan seseorang dengan tatanan moral yang berlaku, kini diartikan sebagai jalan universal.
Apabila chung yung dilaksanakan pada peringkat yang tinggi, maka langit dan bumi akan memiliki tatanan yang benar, dan seagala sesuatu di dalamnya akan berkembang menurut fitrahnya. Berdasarkan inilah manusia unggul disebut Chung Yung, dalam arti memiliki kehidupan moral yang baik dan penuh kebajikan dalam setiap perilaku sosialnya.
            Chung Yung versi baru ini, dengan landasan metafisikanya, dikemukakan dalam kitab li Chi (Kitab Adab) karangan Tzu Ssu (492-431 SM), salah seorang dari cucu Konfusius. Lebih jauh Tzu Ssu mengemukakan bahwa ketulusan (ch’eng) merupakan jalan langit’ dan berpikir bagaimana seseorang menjadi tulus merupakan jalannya manusia.  Ketulusan yang mutlak bersifat kekal, maujud dengan sendirinya, tidak terbatas, luas dan dalam, transendental dan cerdas. Ch’eng terdiri dari dan mencakup semua eksistensi; meliputi dan menyempurnakan segala keberadaan.
            Ciri ketulusan yang univeral ini ialah: ia menonjol tanpa pamer diri, menghasilkan perubahan tanpa bergerak jauh dan mencapai tujuan tanpa bertindak aktif. Hanya mereka yang benar-benar  ikhlas dapat mengembangkan kodrat dirinya secara penuh dan sekaligus mengembangkan kodrat lain secara penuh pula. Dengan begitu dia dapat pula mengembangkan kodrat hal-hal, serta dapat menolong mentransformasikan dan mengembangkan pergerakan langit dan bumi.



Minggu, 22 Juni 2014

PEMIKIRAN TOKOH ISLAM:MUHAMMAD NATSIR

PEMIKIRAN TOKOH ISLAM MUHAMMAD NATSIR
Oleh:Muamar Anis


BAB I
PENDAHULUAN

Pada awal abad ke-19,di Indonesia muncul gerakan nasional khususnya dari kalangan Islam yang mencoba menghimpun kekuatan untuk melawan pemerintah kolonial Belanda, mulai dari Budi Utomo,Sarekat Dagang Islam yang kemudian berkembang menjadi Serikat Islam dan gerakan-gerakan lainnya.Dari pergerakan itulah muncul para tokoh -intelektual- terkemuka dari kalangan Islam.Kemudian pada masa selanjutnya ada satu tokoh yang cukup terkemuka di kalangan umat Islam.Seperti Mohammad Natsir yang terkenal dengan ide Islam dan Nasionalismenya.
Mahammad Natsir,dengan karakternya yang jujur,kesederhanaan hidup,intelektualisme islam serta wawasan kebangsaan yang tinggi dan dengan semangatnya,dalam perjuangannya telah banyak memberikan kontribusi kepada bangsa Indonesia yang dia tuangkan baik dari pemikiran-pemikirannya maupun dia terjun langsung dalam urusan berpolitik dan dakwahya.Namun demikian,Muhammad Natsir dalam perjuangannya tidak selalu berjalan mulus meski dengan keadaan seperti itu.Dia tidak lantas patah semangat tapi justru sebaliknya dia semakin giat untuk terus berjuang demi kebaikan bersama yaitu bengsa Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN

A.Biografi Mohammad Natsir.
Mohammad Natsir yang bergelar Datuk Sinaro Panjang terlahir di Jembatan Baukia Alahan Panjang, Kabupaten Solok,Sumatra Barat,pada hari Jumat,17 Jumadil Akhir 1326 H atau 17 Juli 1908. Ibunya bernama Khadijah dan ayahnya Muhammad Idris Sutan Sari pado, seorang pegawai rendahan yang pernah menjadi juru tulis kantor kontrolir di masa pemerintahan Hindia Belanda. Pada tahun 1918 ia dipindahkan dari Alahan ke Ujung Pandang .Di tempat kelahirannya,ia melewati masa-masa sosialisasi keagamaan dan intelektualnya yang pertama. Ia menempuh pendidikan dasar di sekolahan Belanda dan belajar agama.Pada umurnya yang kedelapan belas tahun,ia berkeinginan masuk ke HIS namun tidak terlaksana karena ia anak seorang pegawai rendahan.Di padang Nasir kecil bersekolah di HIS (Hollandsch Inlandsch School) Adabiyah di Padang.Beberapa bulan berikutnya ia dipindahkan ke sekolah HIS pemerintah di Solok.Di Solok inilah ia untuk pertama kalinya belajar bahasa Arab dan mempelajari hukum fiqh kepada Tuanku Mudo Amin yang dilakukannya di sore hari di Madrasah Diniyah dan mengaji Al-Quran pada malam harinya.
Pada tahun 1920 ia pindah ke Padang. Ia menamatkan pendidikan HIS-nya pada tahun 1923 . Pada tahun 1923 ia melanjutkan pendidikannya ke MULO di Padang dengan beasiswa dan aktif diberbagai kegiatan dan tahun 1927 ia lulus dari MULO dan meneruskan ke Algememe Midlebare School(AMS)di Bandung.Di kota ini Natsir bertemu dengan tokoh Islam radikal, Ahmad Hassan yang diakuinya sangat mempengaruhi alam pikirannya. Sejak belajar di AMS, Natsir mulai tertarik pada pegerakan Islam dan belajar politik di perkumpulan Jong Islamieten Bond(JIB). Organisasi ini mendapat pengaruh dari Haji Agus Salim. Disini ia dapat bergaul dengan tokoh-tokoh yang lebih tua seperti,Mohammad Hatta, Cokroaminoto, Prawoto, Mangunsasmito,Yusuf Wibisono dan Moh Roem.Dalam JIB,ia sering berdiskusi dengan teman-temanya.Kemampuannya yang menonjol mengantarkan ia menjadi ketua JIB Bandung pada tahun 1928-1932.
Kegiatan Natsir pada waktu itu telah mempengaruhi jiwanya untuk meraih gelar MR. Ia lulus dari AMS pada tahun 1930 setelah itu, Natsir mengajar salah satu MULO di Bandung. Natsir mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam yang mengombinasikan pendidikan umum dan pesantren. Ia menjabat sebagai direktur selama sepuluh tahun sejak tahun 1932. Pada tanggal 20 Oktober 1934, ia menikah dengan Nurnahar dan dikaruniai enam orang anak. Pada tahun 1938, Natsir mulai aktif dalam bidang politik dengan mendaftarkan dirinya menjadi anggota Partai Islam Indonesia. Tahun 1940-1942 ia menjabat sebagai ketua dan bekerja di pemerintahan Jepang sebagai kepala biro pendidikan kodya Bandung sampai tahun 1945 sekaligus merangkap sebagai sekretaris Sekolah Tinggi Islam di Jakarta. Selain itu, Natsir juga menjabat sebagai ketua partai Masyumi yang dibentuk pada tanggal 7 November 1945. Pada masa awal kemerdekaan Republik Indonesia, Natsir tampil menjadi salah seorang politisi dan pemimpin Negara .

B.Ide dan Pembaharuan
Deliar Noer menyebutkan Natsir sebagai intelektual-ulama atau ulama-intelektual. Ia tidak hanya berkecimpung dalam dunia politik tapi juga dalam dunia keagamaan dan pendidikan.Gagasan-gagasan politik Natsir yang pertama kali dilontarkanya pada awal tahun 1930 memperlihatkan cirri-ciri kemanusiaan.Latar belakang sosialisasi intelektual dan keagamaannya serta tantangan dari berbagai aliran pemikiran yang berusaha untuk memojokkan Islam terutama dari kaum orientalis Belanda,tokoh-tokoh nasionalisme yang cenderung sekuler dan berusaha membangkitkan masa lalu zaman pra-Islam mendorong Natsir untuk mengikuti jejak modernisme politik pendahulunya yakni Agus Salim dan HOS Cokroaminoto.
Pemikiran Natsir dimasa muda memperlihatkan corak mempertahakan Islam dari serangan pihak-pihak yang ingin menyudutkanya. Secara empiris, kedaan kaum muslimin Indonesia di masa itu memang dapat dikatakan berada dalam suasana kemunduran di berbagai aspek kehidupan.Banyak faktor yang mempengaruhi semua ini, salah satunya adalah penjajahan yang berkepanjangan dan sikap penjajah yang memusuhi penduduk pribumi khususnya islam. Seperti pandangan tokoh modernis lainya, Natsir melihat kemajuan atau kemunduran umat Islam tergantung pada bagaimana pemahaman dan penghayatan doktrin tauhid serta bagaimana mengamalkan ajaran Islam itu dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini, Natsir bertindak sebagai seorang reformis yang berusaha untuk memberikan interpretasi baru pada doktrin-doktrin keagamaan yang mengajak masyarakat untuk memurnikan pelaksanaan amalan-amalan keagamaan dari unsur-unsur bukan Islam.
Pengaruh pandangan keagamaan Ahmad Hassan pemimpin Persis, yang menjadi gurunya, tampak dalam usahanya di bidang ini. Setelah memperdebatkan dan fokus pada bidang aqidah ini, perhatian selanjutnya ditujukan pada persoalan-persoalan ke-Islaman yang lebih luas mencakup persoalan-persoalan masyarakat dan politik. Bagi Natsir, tauhid akan membuat hidup manusia menjadi lebih bermakna. Tauhid juga menumbuhkan rasa tanggung jawab individual manusia terhadap Allah . Pandangan mengenai tauhid seperti dikemukakan diatas menjadi tumpuan tentang ‘modernisme politik Islam’ yang dianutnya. Istilah modernisme politik Islam diartikan sebagai suatu sikap dan pandangan yang berusaha menerapkan ajaran-ajaran dan nilai-nilai keruhaniahan, sosial dan politik Islam yang terkandung dalam al Qur’an dan Sunnah serta menyesuaikan dengan perkembangan mutakhir dalam sejarah peradaban umat manusia.
Menurutnya islam tidak sekularisme karena Islam tidak memisahkan urusan keruhanian-akhirat dengan urusan keduaniaan. Menurut Yuzril Ihza Mahendra, Natsir tampaknya mengikuti pandangan Ibnu Timiyah yang melihat Negara sebagai sesuatu yang perlu untuk menegakkan ajaran agama, namun eksistensinya adalah sebagai alat belaka dan bukan kelembagaan agama itu sendiri . Yang menjadi menarik pada pembahasan Islam dan Nasionalismenya Natsir, adalah tanggapanya mengenai konsep demokrasi.Seperti yang dituliskan tadi yang menjadi menarik ketika Soekarno mengutarakan konsep Demokrasi Terpimpin-nya yang berdasarkan Pancasila dan menyatakan menolak konsep Negara Islam, Natsir mengkritik tajam akan pernyataan Soekarno tersebut. Natsir mengatakan bahwa “Pancasila tidak patut dijadikan ideologi Negara, karena semua sila-sila itu relatif Berbeda dengan Pancasila,Islam memiliki hukum-hukum yang diberikan kepada manusia oleh Tuhan melalui wahyu yang memberi ukuran mutlak untuk mengatur persoalan-persoalan manusia.” Pernyataan Natsir seolah-olah menolak akan penggunan sistem demokrasi di Indonesia.
Di kesempatan lain dalam sebuah pidatonya Natsir mengatakan: “Apabila demokrasi di Indonesia sampai dikubur, tidak kurang lebih itu berarti berakhirnya Republik Indonesia ini. Hendaklah kita insafi bahwa demokrasi itu adalah sebuah sistem yang sulit, lebih sulit dari sistem-sistem yang lain. Tetapi kita harus berani menghadapi kesulitan-kesulitan itu. Hal ini menarik untuk dikaji lebih jauh dan kiranya Yuzril telah memberikan analisisnya.Pembelaan Natsir terhadap demokrasi itu dilatarbelakangi oleh kekhawatiranya terhadap munculnya kediktatoran pemerintah di Indonesia dan bahaya Komunisme yang sedang mengancam. Meski demikian, Natsir tetap yakin interpretasi paling modern tentang demokrasi sebenarnya dapat ditemukan di dalam Islam.
Menurut Natsir,demokrasi yang dikehendaki Islam hampir serupa dengan sistem demokrasi liberal, kecuali panduan dalam mengambil keputusan politik . Interpretasinya terumuskan dalam konsep ijtihad,syura dan ijma’. Ijtihad berguna untuk menghadapkan Islam dengan dinamika perubahan masyarakat.Sedangkan Ijma’ diartikan sebagai kesepakatan mayoritas kaum muslimin dengan berlandaskan asa-asas doktrin di dalam al Qur’an dan Sunnah. Menurut Natsir, konsep ijtihad dan ijma’ jika dihubungkan dengan konsep syura dapat diwujudkan dalam bentuk sebuah parlemen yang anggota-anggotanya dipilih oleh rakyat.
Untuk dapat lebih memahami pemikiran Moahammad Natsir, kiranya dapat dibaca melalui karya-karyanya antara lain : Pertama, Agama dan Negara, Falsafah Perjuangan Islam, Medan: 1951, yang berbicara tentang hubungan Agama dan Negara serta upaya umat Islam dalam memperjuangkan nilai-nilai Islam. Kedua, Dari Masa ke Masa, Jakarta: 1975 ,yang memuat soal pribadi, pembinaan keluarga, penjajahan dan kemerdekaan. Demikianlah konsep pemikiran Mohammad Natsir dalam pembahasan mengenai persoalan Islam yang dihadapkan pada Nasionalisme.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Uraian diatas sedikit banyak telah memberikan gambaran tentang faham pembaharuan yang dilakukan oleh tokoh tersebut yaitu Mohammad Natsir. Muhammad Natsir yang dilahirkan di tanah minang. Minang suatu daerah yang saat itu dikenal sebagai pelopor gerakan pembaharuan Islam di Indonesia. Mohammad Natsir lebih menitik beratkan pada penggunaan sistem pemerintahan demokrasi atau lainya, yang berlandaskan pada ajaran agama Islam yaitu al Qur’an dan Sunnah Nabi SAW.

DAFTAR PUSTAKA

Roziqin ,Badiatul, 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia ( Menelusuri jejak dalam menguak sejarah ), Yogyakarta : e’Nuswantara,2009, halaman, 221. Yanto ,Bashri, dan Retno Suffanti,
Sejarah Tokoh Bangsa, Yogyakarta : Pustaka Tokoh Bangsa, 2005. Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta : LP3ES, 1990. Luth,Thohir, M Natsir,Dakwah dan Pemikirannya, Yogyakarta :
Gema Insani. Badiatul Roziqin, 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia ( Menelusuri jejak dalam menguak sejarah ), Yogyakarta : e’Nuswantara,2009, halaman, 226. Feith, Herbert dan Lance Castles ,
Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, Terj. Jakarta: PT Pustaka LP3ES, 1995.


Rabu, 11 Juni 2014

Id,Ego dan Superego

Pengertian Id,Ego dan Superego

Oleh
Muamar Anis

Menurut Teori Psikoanalitik Sigmund Freud kepribadian terdiri dari tiga elemen.Ketiga unsur kepribadian itu dikenal sebagai id,ego dan superego yang bekerja sama untuk menciptakan perilaku manusia yang kompleks.

1.Id
Id adalah satu-satunya komponen kepribadian yang hadir sejak lahir. Aspek kepribadian sepenuhnya sadar dan termasuk dari perilaku naluriah dan primitif. Menurut Freud,id adalah sumber segala energi psikis,sehingga komponen utama kepribadian.Id didorong oleh prinsip kesenangan, yang berusaha untuk kepuasan segera dari semua keinginan,keinginan, dan kebutuhan.Jika kebutuhan ini tidak puas langsung, hasilnya adalah kecemasan negara atau ketegangan.
Sebagai contoh,peningkatan rasa lapar atau haus harus menghasilkan upaya segera untuk makan atau minum. id ini sangat penting awal dalam hidup,karena itu memastikan bahwa kebutuhan bayi terpenuhi.Jika bayi lapar atau tidak nyaman, ia akan menangis sampai tuntutan id terpenuhi.Namun,segera memuaskan kebutuhan ini tidak selalu realistis atau bahkan mungkin.Jika kita diperintah seluruhnya oleh prinsip kesenangan,kita mungkin menemukan diri kita meraih hal-hal yang kita inginkan dari tangan orang lain untuk memuaskan keinginan kita sendiri. Perilaku semacam ini akan baik mengganggu dan sosial tidak dapat diterima.
Menurut Freud,id mencoba untuk menyelesaikan ketegangan yang diciptakan oleh prinsip kesenangan melalui proses utama,yang melibatkan pembentukan citra mental dari objek yang diinginkan sebagai cara untuk memuaskan kebutuhan.

 
2.Ego
Ego adalah komponen kepribadian yang bertanggung jawab untuk menangani dengan realitas.Menurut Freud,ego berkembang dari id dan memastikan bahwa dorongan dari id dapat dinyatakan dalam cara yang dapat diterima di dunia nyata. Fungsi ego baik di pikiran sadar,prasadar,dan tidak sadar.Ego bekerja berdasarkan prinsip realitas,yang berusaha untuk memuaskan keinginan id dengan cara-cara yang realistis dan sosial yang sesuai.
Prinsip realitas beratnya biaya dan manfaat dari suatu tindakan sebelum memutuskan untuk bertindak atas atau meninggalkan impuls.Dalam banyak kasus,impuls id itu dapat dipenuhi melalui proses menunda kepuasan – ego pada akhirnya akan memungkinkan perilaku, tetapi hanya dalam waktu yang tepat dan tempat.Ego juga pelepasan ketegangan yang diciptakan oleh impuls yang tidak terpenuhi melalui proses sekunder, di mana ego mencoba untuk menemukan objek di dunia nyata yang cocok dengan gambaran mental yang diciptakan oleh proses primer id’s.


3.Superego
Komponen terakhir untuk mengembangkan kepribadian adalah superego. superego adalah aspek kepribadian yang menampung semua standar internalisasi moral dan cita-cita yang kita peroleh dari kedua orang tua dan masyarakat – kami rasa benar dan salah. Superego memberikan pedoman untuk membuat penilaian.
Ada dua bagian superego:Yang ideal ego mencakup aturan dan standar untuk perilaku yang baik. Perilaku ini termasuk orang yang disetujui oleh figur otoritas orang tua dan lainnya. Mematuhi aturan-aturan ini menyebabkan perasaan kebanggaan, nilai dan prestasi.Hati nurani mencakup informasi tentang hal-hal yang dianggap buruk oleh orang tua dan masyarakat.Perilaku ini sering dilarang dan menyebabkan buruk, konsekuensi atau hukuman perasaan bersalah dan penyesalan.
Superego bertindak untuk menyempurnakan dan membudayakan perilaku kita. Ia bekerja untuk menekan semua yang tidak dapat diterima mendesak dari id dan perjuangan untuk membuat tindakan ego atas standar idealis lebih karena pada prinsip-prinsip realistis. Superego hadir dalam sadar, prasadar dan tidak sadar.Interaksi dari Id, Ego dan superego.
Dengan kekuatan bersaing begitu banyak, mudah untuk melihat bagaimana konflik mungkin timbul antara ego, id dan superego. Freud menggunakan kekuatan ego istilah untuk merujuk kepada kemampuan ego berfungsi meskipun kekuatan-kekuatan duel. Seseorang dengan kekuatan ego yang baik dapat secara efektif mengelola tekanan ini, sedangkan mereka dengan kekuatan ego terlalu banyak atau terlalu sedikit dapat menjadi terlalu keras hati atau terlalu mengganggu.

Menurut Freud, kunci kepribadian yang sehat adalah keseimbangan antara id,ego,dan superego.