LIMA RUMUSAN RESMI PANCASILA
DAN CITA-CITA MASYARAKAT MADANI
Muamar Anis
Dalam sejarah RI rumusan Pancasila mengalami perubahan susunan dan
penafsiran. Perubahan-perubahan tersebut sejalan dengan perkembangan politik
dan gagasan dalam masyarakat. Penafsiran yang tak kunjung usai diperdebatkan
khususnya berkenaan dengan asas Ketuhanan, Kebangsaan dan Kerakyatan
(Kedaulatan Rakyat). Sejak Pancasila disepakati sebagai ideologi negara RI
sampai sekarang tercatat ada lima rumusan resmi:
Rumusan Pertama terkandung dalam Piagam Jakarta yang ditetapkan pada 22 Juni
1945. Rumusan Kedua dalam Pembukaan UUD 45 yang ditetapkan pada 18
Agustus 1945. Rumusan Ketiga dalam Mukadimah Konstitusi R. I. S.
(Republik Indonesia Serikat) yang ditetapkan pada 27 Desember 1949. Rumusan
Keempat dalam Mukadimah UUD Sementara, ditetapkan pada 15 Agustus 1950.
Rumusan Kelima yang berlaku hingga sekarang ditetapkan melalui
Dektrit Presiden 5 Juli 1959. Rumusan kelima ini sama dengan rumusan
kedua, namun dengan tambahan keterangan ”dijiwai oleh semangat Piagam Jakarta”
sebagaimana dikemukakan Bung Karno yang kala itu adalah Presiden RI.
Rumusan Pertama
(1) Ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya
(2) Kemanusiaan yang
adil dan beradab
(3) Persatuan
Indonesia
(4) Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan
(5) Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rumusan Kedua
(1) Ketuhanan Yang Maha Esa
(2) Kemanusiaan
yang adil dan beradab
(3) Persatuan
Indonesia;
(4) Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
(catatan: untuk itulah
dibentuk MPR yg bertugas memilih presiden dan wakil presiden, tak perlu
pemilihan langsung} ;
(5) Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rumusan Ketiga
(1) Ketuhanan
Yang Maha Esa;
(2)
Peri-Kemanusiaan;
(3)
Kebangsaan;
(4)
Kerakyatan;
(5) Keadilan
sosial.
Rumusan Keempat
(1) Ketuhanan
Yang Maha Esa;
(2)
Perikemanusiaan
(3) Kebangsaan
(4) Kerakyatan;
(5) Keadilan
sosial.
Rumusan Kelima
Sama dengan Rumusan II, dengan catatan bahwa sila-sila yang dikandung di
dalamnya dijiwai oleh semangat Piagam Jakarta seperti ditegaskan Presiden
Sukarno. Khususnya berkenaan sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
Perubahan Sila Pertama
Sebagaimana kita ketahui usul para wakil golongan nasionalis Islam dalam sidang
terakhir BPUPK sangat berpengaruh dalam menyusun Piagam Jakarta 22 Juni 1945.
Dalam sidang terakhir yang beranggotakan 9 orang itu, terdapat 4 orang wakil
golongan nasionalis Islam. Golongan nasionalis sekuler: Sukarno, Mohamad Hatta,
A. A. Maramis, Ahmad Subardjo dan Mohamad Yamin. Golongan nasionalis Islam:
Abikusno Tjokrosujoso, Abdul Kahar Muzakkir, Hají Agus Salim dan A. Wahid
Hasjim.
Meskipun sila pertama kemudian dirubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa,
menurut Nijwenhuijze, seorang sarjana Belanda, sila tersebut berasal dari
golongan nasionalis Islam. Begitu pula Hazairin dalam bukunya Demokrasi
Pancasila (Jakarta 1970:58)
menyatakan bahwa istilah tersebut hanya mungkin berasal dari kebijaksanaan dan
iman orang Indonesia yang beragama Islam. Khususnya sebutan Yang Maha Esa, yang
dapat dikaitkan dengan seburtan Allahu al-wahidu al-Ahad (Allah Yang Satu dan Esa).
Pernyataan kedua sarjana tersebut dapat dihubungkan dengan pernyataan Profesor
Supomo S. H. Dalam pidatonya 31 Mei 1945 dalam sidang BPUPK Prof. Supomo
membedakan bahwa ada dua gagasan tentang negara yang dikemukakan dalam BPUPK,
yaitu gagasan “Negara Islam” dan gagasan “Negara berdasarkan cita-cita luhur
dari agama Islam”. Menurut Supomo:
Dalam negara
yang tersusun sebagai “Negara Islam”, negara tidak bisa dipisahkan dari
agama.Negara dan agama ialah satu., bersatu padu... dan hukum syariat itu
dianggap sebagai perintah Tuhan untuk menjadi dasar untuk dipakai oleh negara.”
Supomo menganjurkan agar negara Indonesia
tidak menjadi negara Islam, tetapi menjadi “negara yang memakai dasar
moral yang luhur yang dianjurkan juga oleh agama Islam”. Alasan Supomo
diterima oleh banyak nasionalis Islam, karena itu untuk sementara waktu
perubahan rumusan sila pertama Pancasila dalam Piagam Jakarta tidak lagi
mencantumkan kata-kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluknya” dan diganti dengan kata-kata “Yang Maha Esa”.
Tetapi perdebatan tentang hal tersebut muncul kembali pada tahun 1950-1959, dan
pada setelah lengsernya Presiden Suharto dan munculnya Reformasi pada
tahun 1998 sampai sekarang.
Mukadimah UUD 45 dan Masyarakat Madani
Dalam sejarah Indonesia pemikiran tentang Masyarakat Madani (MM) atau Civil
Society dapat dilihat dalam tulisan Muhamad Hatta tentang “Collectivisme”
(1930) Dalam tulisan tersebut Hatta menggagaskan bahwa suatu bangsa tidak
mungkin dibangun tanpa prinsip-prinsip solidaritas dan subsidiaritas. Prinsip
solidaritas mengisyaratkan perlunya kerja sama (koperasi) yang aktif secara
kolektif dari komponen-komponen yang ada dalam masyarakat. Prinsip
subsidiaritas ialah yang mampu membantu yang tidak mampu, yang kuat membantu
yang lemah, khususnya dibidang ekonomi, pendidikan dan kebudayaan.
Tetapi rujukan konstitusional MM secara resmi terdapat dalam
Mukadimah/Pembukaan UUD 45 dan batang tubuhnya, yaitu pasal-pasal dan ayat-ayat
dalam UUD 45. Secara keseluruhan Mukadimah UUD 45 memberikan jaminan hukum
tertulis bagi terbentuknya sebuah masyarakat berperadaban yang tunduk pada
undang-undang dan hukum yang berlaku, yang kita sebut MM. Dalam konteks
Indonesia, MM yang dibentuk mestilah berakar dalam sejarah perjuangan dan
cita-cita luhur bangsa Indonesia. Cita-cita luhur tersebut tercermin dalam
sistem kepercayaan dan agama yang dianut bangsa Indonesia, serta kebudayaannya.
Mukadimah UUD 45
secara historis dapat disebut sebagai Deklarasi Kemerdekaan Indonesia. Ada 4
(empat) hal pokok di dalamnya:
(1) Statement
of belief (pernyataan
keyakinan):
- Bahwa kemerdekaan adalah hak
segala bangsa;
- Keberhasilan perjuangan
mencapai kemerdekaan adalah berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Esa.
Itulah sebabnya
Ketuhanan YME dijadikan sila pertama, karena bangsa Indonesia yakin bahwa tanpa
rahmat Tuhan YME tak mungkin bangsa Indonesia berhasil dalam perjuangannya itu.
Sedangkan sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab berhubungan dengan
hasrat menegakkan martabat manusia, yang di dalamnya tercakup hak suatu bangsa
untuk menegakkan kemerdekaan.
(2) A vision of history (keinsyafan sejarah):
- Terbentuknya negara
Indonesia hasil perjuangan seluruh bangsa Indonesia, yaitu merebut kemerdekaan
dari penjajahan kolonial Belanda dan Jepang baik melalui perjuangan bersenjata
maupun melalui perjuangan politik dan kebudayaan.
Ini bermakna bahwa negara RI yang diproklamasikan pada tahun 1945 bukan warisan
dari nenek moyang, tetapi lebih merupakan hasil perjuangan panjang bangsa Indonesia
dalam perjalanan sejarahnya, khususnya setelah dijajah Belanda dan Jepang.
Perjuangan itu terus berlanjut karena cita-cita kemerdekaan tidak dapat dicapai
dengan seketika, dan masih terus mendapat gangguan hingga sekarang ini.
(3) Landasan
falsafah atau fundamental kenegaraan.
- Ketuhanan Yang Maha Esa
- Kemanusiaan yang adil dan beradab
- Persatuan Indonesia
- Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dan permusyawaratan perwakilan.
- Keadilan sosial seluruh rakyat Indonesia
(4) Alasan
ideologis berdirinya negara Indonesia:
- Mempertahankan bangsa dan tanah air
- Meningkatkan kesejahteraan rakyat
- Mencerdaskan kehidupan bangsa
- Ikut serta dalam mempertahankan
perdamaian dunia yang abadi dan berkeadilan.
Dari keempat alasan ideologis berdirinya negara tersebut,
yang paling langsung berkaitan dengan pembinaan MM ialah ”mencerdaskan
kehidupan bangsa”. Sebab hanya dengan kecerdasan itulah bangsa Indonesia dapat
dibangun. Jika dirujuk pada Pancasila yang merupakan dasar negara, yang ingin
dikembangkan ialah sebuah negara bangsa yang ”religius, humanis (manusiawi),
bersatu (walaupun aneka ragam), demokratis dan berkeadilan sosial”. Tiga alasan
ideologis negara (Mempertahankan bangsa dan tanah air; meningkatkan
kesejahteraan rakyat; dan ikut serta dalam mempertahankan perdamaian dunia yang
abadi dan berkeadilan) berhubungan langsung dengan tugas dan kewajiban
Negara/Pemerintah.
Dengan membedakan antara wilayah urusan negara dan wilayah utama urusan MM,
maka kita dapat menentukan peranan MM. Walaupun tidak berkaitan langsung dengan
tiga wilayah urusan negara, namun MM yang kuat dapat membantu negara dalam
menyelenggarakan pemerintahan yang menjamin tercapainya tujuan seperti
”meningkatkan kesejahteraan rakyat”, begitu pula kesadaran ”mempertahankan
bangsa dan tanah air”. Tenaga-tenaga profesional dalam bidang birokrasi,
administrasi dan penyelenggaraan pemerintahan pada akhirnya direkrut dari MM,
baik melalui partai politik maupun organisasi sosial dan keagamaan, serta
lembaga pendidikan tinggi.
”Upaya mencerdaskan kehidupan bangsa”, yang peranannya terletak di tangan MM,
dapat dikaitkan dengan visi kesejarahan diproklamasikannya negara RI. Menurut
Mukadimah UUD 45 negara Indonesia berhasil diproklamasikan melalui perjuangan
panjang bangsa Indonesia, baik dalam bentuk perjuangan politik, ekonomi dan
militer, maupun dalam bentuk perjuangan intelektual dan kebudayaan.
Hanya bangsa
yang cerdas dapat memelihara dan mempertahankan kemerdekaan, kedaulatan dan
martabatnya di tengah bangsa yang lain di dunia. Ciri bangsa yang cerdas antara
lain:
- Dalam kehidupan sosial budaya,
berjiwa progresif dan kreatif.
- Sikap budayanya cenderung
kosmopolitan dan pluralistik (bukan pluralisme). Masyarakat yang jiwanya
kosmopolitan dan pluraristik menghargai perbedaan pendapat, keyakinan dan
keragaman budaya,sebagai salah satu syarat bagi tumbuhnya demokrasi
- Mantapnya tatanan kehidupan
sosial politik yang demokratis artinya menghormati kedaulatan rakyat.
- Terbentuknya struktur kehidupan
sosial ekonomi yang adil serta merata.
Demikianlah MM yang sehat dan kuat memiliki peranan membantu terlaksananya
cita-cita membangun negara sebagaimana dicita-citakan Mukadimah UUD 45. Tak ada
negara di dunia ini mampu menciptakan dirinya maju dan berkembang tanpa dibantu
oleh adanya sebuah MM yang sehat dan kuat. Negara dan MM saling membantu dan
mendukung dalam mencapai cita-citanya, karena itu keduanya memiliki fungsi
relasional, yaitu peranan yang
saling berkaitan secara timbal balik.
Peranan M M
Dilihat dari sudut fungsi relasionalnya itu itu peranan MM antara lain
ialah: Memberi perlindungan kepada individu dan kelompok-kelompok tertentu
dalam msyarakat dalam berhadapan dengan tindakan negara/pemerintah yang merugikan,
seperti melanggar hak asasi manusia dan lain sebagainya. Dalam hubungan ini MM
berparanan antara lain : (1) Menjaga supaya negara dalam melaksanakan tugasnya
tidak melampaui garis batas atau aturan yang telah ditentukan/diatur
undang-undang; (2) Mendukung usaha negara dalam menjalankan tugas pokoknya,
serta mengisi lowongan tugas yang ada di luar tanggungjawab langsung negara.
Misalnya penyelenggaraan kehidupan beragama, beribadah, kegiatan kebudayaan
atau kesenian dan lain sebagainya.
Agar MM sehat dan kuat, ia harus mandiri dan tidak boleh bergantung kepada
negara (independen). Oleh sebab itu MM harus merupakan sesuatu yang tumbuh dan
berkembang dari bawah – yaitu dari masyarakat sendiri – bukan dibina dari
‘atas’ oleh pemerintah. Walaupun demikian tidak berarti Negara tak punya
peranan dalam menumbuhkan dan mengembangkan MM.
Peranan negara bagi terciptanya MM ialah: Memelihara suasana kehidupan yang
demokratis dan adil. Ini merupakan tugas konstitusional negara. Karena itu kegagalan
terciptanya suasana kehidupan demokratis dan adil, merupakan kegagalan
pemerintah, khususnya selama Orde Baru memerintah. Dalam kaitan ini ada tiga
(3) tugas pokok yang dapat dijalanlan oleh negara:
(1)
Memberi jaminan hukum dan politik bagi kehadiran dan perkembangan MM. Tidak
boleh menghambat, mengekang dan menghalang-halangi. Pertumbuhan MM harus
mendapatkan jaminan dari undang-undang.
(2)
Memupuk suasana budaya dan ideologis yang ramah dan menyenangkan bagi
tumbuhnya MM.
(3)
Menyediakan infrastruktur sosial yang diperlukan dan memberikan
fasilitas bagi
tersedianya infrastruktur tersebut.
Hal tersebut dapat dilakukan secara bertahap, misalnya dengan memberikan
dukungan politik dan hukum terlebih dulu, baru kemudian diciptakan suasana
budaya dan ideologis yang menguntungkan, dan pada akhirnya memberi fasilitas
pembuatan infrastrukur sosial yang diperlukan.
(Catatan : Uraian tentang Masyarakat Madani dalam tulisan ini adalah ringkasan
dari rumusan yang disusun Tim Reformasi 1999 yang dianggotai antara lain
Taufik Abdullah, Abdul Hadi W. M., Syafri Sairin dll).
Tetapi sayang pasca Reformasi negara dan masyarakat bertambah amburadul.
Cita-cita MM akan tampak sebagai utopaia. Untuk kembali kepada jiwa semangat
Mukadimah UUD 45 diperlukan revolusi kebudayaan, sehngga timbul perubahan besar
secara mental, cita-cita, alam pikiran dan pandangan hidup bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar