Minggu, 22 Juni 2014

PEMIKIRAN TOKOH ISLAM:MUHAMMAD NATSIR

PEMIKIRAN TOKOH ISLAM MUHAMMAD NATSIR
Oleh:Muamar Anis


BAB I
PENDAHULUAN

Pada awal abad ke-19,di Indonesia muncul gerakan nasional khususnya dari kalangan Islam yang mencoba menghimpun kekuatan untuk melawan pemerintah kolonial Belanda, mulai dari Budi Utomo,Sarekat Dagang Islam yang kemudian berkembang menjadi Serikat Islam dan gerakan-gerakan lainnya.Dari pergerakan itulah muncul para tokoh -intelektual- terkemuka dari kalangan Islam.Kemudian pada masa selanjutnya ada satu tokoh yang cukup terkemuka di kalangan umat Islam.Seperti Mohammad Natsir yang terkenal dengan ide Islam dan Nasionalismenya.
Mahammad Natsir,dengan karakternya yang jujur,kesederhanaan hidup,intelektualisme islam serta wawasan kebangsaan yang tinggi dan dengan semangatnya,dalam perjuangannya telah banyak memberikan kontribusi kepada bangsa Indonesia yang dia tuangkan baik dari pemikiran-pemikirannya maupun dia terjun langsung dalam urusan berpolitik dan dakwahya.Namun demikian,Muhammad Natsir dalam perjuangannya tidak selalu berjalan mulus meski dengan keadaan seperti itu.Dia tidak lantas patah semangat tapi justru sebaliknya dia semakin giat untuk terus berjuang demi kebaikan bersama yaitu bengsa Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN

A.Biografi Mohammad Natsir.
Mohammad Natsir yang bergelar Datuk Sinaro Panjang terlahir di Jembatan Baukia Alahan Panjang, Kabupaten Solok,Sumatra Barat,pada hari Jumat,17 Jumadil Akhir 1326 H atau 17 Juli 1908. Ibunya bernama Khadijah dan ayahnya Muhammad Idris Sutan Sari pado, seorang pegawai rendahan yang pernah menjadi juru tulis kantor kontrolir di masa pemerintahan Hindia Belanda. Pada tahun 1918 ia dipindahkan dari Alahan ke Ujung Pandang .Di tempat kelahirannya,ia melewati masa-masa sosialisasi keagamaan dan intelektualnya yang pertama. Ia menempuh pendidikan dasar di sekolahan Belanda dan belajar agama.Pada umurnya yang kedelapan belas tahun,ia berkeinginan masuk ke HIS namun tidak terlaksana karena ia anak seorang pegawai rendahan.Di padang Nasir kecil bersekolah di HIS (Hollandsch Inlandsch School) Adabiyah di Padang.Beberapa bulan berikutnya ia dipindahkan ke sekolah HIS pemerintah di Solok.Di Solok inilah ia untuk pertama kalinya belajar bahasa Arab dan mempelajari hukum fiqh kepada Tuanku Mudo Amin yang dilakukannya di sore hari di Madrasah Diniyah dan mengaji Al-Quran pada malam harinya.
Pada tahun 1920 ia pindah ke Padang. Ia menamatkan pendidikan HIS-nya pada tahun 1923 . Pada tahun 1923 ia melanjutkan pendidikannya ke MULO di Padang dengan beasiswa dan aktif diberbagai kegiatan dan tahun 1927 ia lulus dari MULO dan meneruskan ke Algememe Midlebare School(AMS)di Bandung.Di kota ini Natsir bertemu dengan tokoh Islam radikal, Ahmad Hassan yang diakuinya sangat mempengaruhi alam pikirannya. Sejak belajar di AMS, Natsir mulai tertarik pada pegerakan Islam dan belajar politik di perkumpulan Jong Islamieten Bond(JIB). Organisasi ini mendapat pengaruh dari Haji Agus Salim. Disini ia dapat bergaul dengan tokoh-tokoh yang lebih tua seperti,Mohammad Hatta, Cokroaminoto, Prawoto, Mangunsasmito,Yusuf Wibisono dan Moh Roem.Dalam JIB,ia sering berdiskusi dengan teman-temanya.Kemampuannya yang menonjol mengantarkan ia menjadi ketua JIB Bandung pada tahun 1928-1932.
Kegiatan Natsir pada waktu itu telah mempengaruhi jiwanya untuk meraih gelar MR. Ia lulus dari AMS pada tahun 1930 setelah itu, Natsir mengajar salah satu MULO di Bandung. Natsir mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam yang mengombinasikan pendidikan umum dan pesantren. Ia menjabat sebagai direktur selama sepuluh tahun sejak tahun 1932. Pada tanggal 20 Oktober 1934, ia menikah dengan Nurnahar dan dikaruniai enam orang anak. Pada tahun 1938, Natsir mulai aktif dalam bidang politik dengan mendaftarkan dirinya menjadi anggota Partai Islam Indonesia. Tahun 1940-1942 ia menjabat sebagai ketua dan bekerja di pemerintahan Jepang sebagai kepala biro pendidikan kodya Bandung sampai tahun 1945 sekaligus merangkap sebagai sekretaris Sekolah Tinggi Islam di Jakarta. Selain itu, Natsir juga menjabat sebagai ketua partai Masyumi yang dibentuk pada tanggal 7 November 1945. Pada masa awal kemerdekaan Republik Indonesia, Natsir tampil menjadi salah seorang politisi dan pemimpin Negara .

B.Ide dan Pembaharuan
Deliar Noer menyebutkan Natsir sebagai intelektual-ulama atau ulama-intelektual. Ia tidak hanya berkecimpung dalam dunia politik tapi juga dalam dunia keagamaan dan pendidikan.Gagasan-gagasan politik Natsir yang pertama kali dilontarkanya pada awal tahun 1930 memperlihatkan cirri-ciri kemanusiaan.Latar belakang sosialisasi intelektual dan keagamaannya serta tantangan dari berbagai aliran pemikiran yang berusaha untuk memojokkan Islam terutama dari kaum orientalis Belanda,tokoh-tokoh nasionalisme yang cenderung sekuler dan berusaha membangkitkan masa lalu zaman pra-Islam mendorong Natsir untuk mengikuti jejak modernisme politik pendahulunya yakni Agus Salim dan HOS Cokroaminoto.
Pemikiran Natsir dimasa muda memperlihatkan corak mempertahakan Islam dari serangan pihak-pihak yang ingin menyudutkanya. Secara empiris, kedaan kaum muslimin Indonesia di masa itu memang dapat dikatakan berada dalam suasana kemunduran di berbagai aspek kehidupan.Banyak faktor yang mempengaruhi semua ini, salah satunya adalah penjajahan yang berkepanjangan dan sikap penjajah yang memusuhi penduduk pribumi khususnya islam. Seperti pandangan tokoh modernis lainya, Natsir melihat kemajuan atau kemunduran umat Islam tergantung pada bagaimana pemahaman dan penghayatan doktrin tauhid serta bagaimana mengamalkan ajaran Islam itu dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini, Natsir bertindak sebagai seorang reformis yang berusaha untuk memberikan interpretasi baru pada doktrin-doktrin keagamaan yang mengajak masyarakat untuk memurnikan pelaksanaan amalan-amalan keagamaan dari unsur-unsur bukan Islam.
Pengaruh pandangan keagamaan Ahmad Hassan pemimpin Persis, yang menjadi gurunya, tampak dalam usahanya di bidang ini. Setelah memperdebatkan dan fokus pada bidang aqidah ini, perhatian selanjutnya ditujukan pada persoalan-persoalan ke-Islaman yang lebih luas mencakup persoalan-persoalan masyarakat dan politik. Bagi Natsir, tauhid akan membuat hidup manusia menjadi lebih bermakna. Tauhid juga menumbuhkan rasa tanggung jawab individual manusia terhadap Allah . Pandangan mengenai tauhid seperti dikemukakan diatas menjadi tumpuan tentang ‘modernisme politik Islam’ yang dianutnya. Istilah modernisme politik Islam diartikan sebagai suatu sikap dan pandangan yang berusaha menerapkan ajaran-ajaran dan nilai-nilai keruhaniahan, sosial dan politik Islam yang terkandung dalam al Qur’an dan Sunnah serta menyesuaikan dengan perkembangan mutakhir dalam sejarah peradaban umat manusia.
Menurutnya islam tidak sekularisme karena Islam tidak memisahkan urusan keruhanian-akhirat dengan urusan keduaniaan. Menurut Yuzril Ihza Mahendra, Natsir tampaknya mengikuti pandangan Ibnu Timiyah yang melihat Negara sebagai sesuatu yang perlu untuk menegakkan ajaran agama, namun eksistensinya adalah sebagai alat belaka dan bukan kelembagaan agama itu sendiri . Yang menjadi menarik pada pembahasan Islam dan Nasionalismenya Natsir, adalah tanggapanya mengenai konsep demokrasi.Seperti yang dituliskan tadi yang menjadi menarik ketika Soekarno mengutarakan konsep Demokrasi Terpimpin-nya yang berdasarkan Pancasila dan menyatakan menolak konsep Negara Islam, Natsir mengkritik tajam akan pernyataan Soekarno tersebut. Natsir mengatakan bahwa “Pancasila tidak patut dijadikan ideologi Negara, karena semua sila-sila itu relatif Berbeda dengan Pancasila,Islam memiliki hukum-hukum yang diberikan kepada manusia oleh Tuhan melalui wahyu yang memberi ukuran mutlak untuk mengatur persoalan-persoalan manusia.” Pernyataan Natsir seolah-olah menolak akan penggunan sistem demokrasi di Indonesia.
Di kesempatan lain dalam sebuah pidatonya Natsir mengatakan: “Apabila demokrasi di Indonesia sampai dikubur, tidak kurang lebih itu berarti berakhirnya Republik Indonesia ini. Hendaklah kita insafi bahwa demokrasi itu adalah sebuah sistem yang sulit, lebih sulit dari sistem-sistem yang lain. Tetapi kita harus berani menghadapi kesulitan-kesulitan itu. Hal ini menarik untuk dikaji lebih jauh dan kiranya Yuzril telah memberikan analisisnya.Pembelaan Natsir terhadap demokrasi itu dilatarbelakangi oleh kekhawatiranya terhadap munculnya kediktatoran pemerintah di Indonesia dan bahaya Komunisme yang sedang mengancam. Meski demikian, Natsir tetap yakin interpretasi paling modern tentang demokrasi sebenarnya dapat ditemukan di dalam Islam.
Menurut Natsir,demokrasi yang dikehendaki Islam hampir serupa dengan sistem demokrasi liberal, kecuali panduan dalam mengambil keputusan politik . Interpretasinya terumuskan dalam konsep ijtihad,syura dan ijma’. Ijtihad berguna untuk menghadapkan Islam dengan dinamika perubahan masyarakat.Sedangkan Ijma’ diartikan sebagai kesepakatan mayoritas kaum muslimin dengan berlandaskan asa-asas doktrin di dalam al Qur’an dan Sunnah. Menurut Natsir, konsep ijtihad dan ijma’ jika dihubungkan dengan konsep syura dapat diwujudkan dalam bentuk sebuah parlemen yang anggota-anggotanya dipilih oleh rakyat.
Untuk dapat lebih memahami pemikiran Moahammad Natsir, kiranya dapat dibaca melalui karya-karyanya antara lain : Pertama, Agama dan Negara, Falsafah Perjuangan Islam, Medan: 1951, yang berbicara tentang hubungan Agama dan Negara serta upaya umat Islam dalam memperjuangkan nilai-nilai Islam. Kedua, Dari Masa ke Masa, Jakarta: 1975 ,yang memuat soal pribadi, pembinaan keluarga, penjajahan dan kemerdekaan. Demikianlah konsep pemikiran Mohammad Natsir dalam pembahasan mengenai persoalan Islam yang dihadapkan pada Nasionalisme.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Uraian diatas sedikit banyak telah memberikan gambaran tentang faham pembaharuan yang dilakukan oleh tokoh tersebut yaitu Mohammad Natsir. Muhammad Natsir yang dilahirkan di tanah minang. Minang suatu daerah yang saat itu dikenal sebagai pelopor gerakan pembaharuan Islam di Indonesia. Mohammad Natsir lebih menitik beratkan pada penggunaan sistem pemerintahan demokrasi atau lainya, yang berlandaskan pada ajaran agama Islam yaitu al Qur’an dan Sunnah Nabi SAW.

DAFTAR PUSTAKA

Roziqin ,Badiatul, 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia ( Menelusuri jejak dalam menguak sejarah ), Yogyakarta : e’Nuswantara,2009, halaman, 221. Yanto ,Bashri, dan Retno Suffanti,
Sejarah Tokoh Bangsa, Yogyakarta : Pustaka Tokoh Bangsa, 2005. Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta : LP3ES, 1990. Luth,Thohir, M Natsir,Dakwah dan Pemikirannya, Yogyakarta :
Gema Insani. Badiatul Roziqin, 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia ( Menelusuri jejak dalam menguak sejarah ), Yogyakarta : e’Nuswantara,2009, halaman, 226. Feith, Herbert dan Lance Castles ,
Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, Terj. Jakarta: PT Pustaka LP3ES, 1995.


Rabu, 11 Juni 2014

Id,Ego dan Superego

Pengertian Id,Ego dan Superego

Oleh
Muamar Anis

Menurut Teori Psikoanalitik Sigmund Freud kepribadian terdiri dari tiga elemen.Ketiga unsur kepribadian itu dikenal sebagai id,ego dan superego yang bekerja sama untuk menciptakan perilaku manusia yang kompleks.

1.Id
Id adalah satu-satunya komponen kepribadian yang hadir sejak lahir. Aspek kepribadian sepenuhnya sadar dan termasuk dari perilaku naluriah dan primitif. Menurut Freud,id adalah sumber segala energi psikis,sehingga komponen utama kepribadian.Id didorong oleh prinsip kesenangan, yang berusaha untuk kepuasan segera dari semua keinginan,keinginan, dan kebutuhan.Jika kebutuhan ini tidak puas langsung, hasilnya adalah kecemasan negara atau ketegangan.
Sebagai contoh,peningkatan rasa lapar atau haus harus menghasilkan upaya segera untuk makan atau minum. id ini sangat penting awal dalam hidup,karena itu memastikan bahwa kebutuhan bayi terpenuhi.Jika bayi lapar atau tidak nyaman, ia akan menangis sampai tuntutan id terpenuhi.Namun,segera memuaskan kebutuhan ini tidak selalu realistis atau bahkan mungkin.Jika kita diperintah seluruhnya oleh prinsip kesenangan,kita mungkin menemukan diri kita meraih hal-hal yang kita inginkan dari tangan orang lain untuk memuaskan keinginan kita sendiri. Perilaku semacam ini akan baik mengganggu dan sosial tidak dapat diterima.
Menurut Freud,id mencoba untuk menyelesaikan ketegangan yang diciptakan oleh prinsip kesenangan melalui proses utama,yang melibatkan pembentukan citra mental dari objek yang diinginkan sebagai cara untuk memuaskan kebutuhan.

 
2.Ego
Ego adalah komponen kepribadian yang bertanggung jawab untuk menangani dengan realitas.Menurut Freud,ego berkembang dari id dan memastikan bahwa dorongan dari id dapat dinyatakan dalam cara yang dapat diterima di dunia nyata. Fungsi ego baik di pikiran sadar,prasadar,dan tidak sadar.Ego bekerja berdasarkan prinsip realitas,yang berusaha untuk memuaskan keinginan id dengan cara-cara yang realistis dan sosial yang sesuai.
Prinsip realitas beratnya biaya dan manfaat dari suatu tindakan sebelum memutuskan untuk bertindak atas atau meninggalkan impuls.Dalam banyak kasus,impuls id itu dapat dipenuhi melalui proses menunda kepuasan – ego pada akhirnya akan memungkinkan perilaku, tetapi hanya dalam waktu yang tepat dan tempat.Ego juga pelepasan ketegangan yang diciptakan oleh impuls yang tidak terpenuhi melalui proses sekunder, di mana ego mencoba untuk menemukan objek di dunia nyata yang cocok dengan gambaran mental yang diciptakan oleh proses primer id’s.


3.Superego
Komponen terakhir untuk mengembangkan kepribadian adalah superego. superego adalah aspek kepribadian yang menampung semua standar internalisasi moral dan cita-cita yang kita peroleh dari kedua orang tua dan masyarakat – kami rasa benar dan salah. Superego memberikan pedoman untuk membuat penilaian.
Ada dua bagian superego:Yang ideal ego mencakup aturan dan standar untuk perilaku yang baik. Perilaku ini termasuk orang yang disetujui oleh figur otoritas orang tua dan lainnya. Mematuhi aturan-aturan ini menyebabkan perasaan kebanggaan, nilai dan prestasi.Hati nurani mencakup informasi tentang hal-hal yang dianggap buruk oleh orang tua dan masyarakat.Perilaku ini sering dilarang dan menyebabkan buruk, konsekuensi atau hukuman perasaan bersalah dan penyesalan.
Superego bertindak untuk menyempurnakan dan membudayakan perilaku kita. Ia bekerja untuk menekan semua yang tidak dapat diterima mendesak dari id dan perjuangan untuk membuat tindakan ego atas standar idealis lebih karena pada prinsip-prinsip realistis. Superego hadir dalam sadar, prasadar dan tidak sadar.Interaksi dari Id, Ego dan superego.
Dengan kekuatan bersaing begitu banyak, mudah untuk melihat bagaimana konflik mungkin timbul antara ego, id dan superego. Freud menggunakan kekuatan ego istilah untuk merujuk kepada kemampuan ego berfungsi meskipun kekuatan-kekuatan duel. Seseorang dengan kekuatan ego yang baik dapat secara efektif mengelola tekanan ini, sedangkan mereka dengan kekuatan ego terlalu banyak atau terlalu sedikit dapat menjadi terlalu keras hati atau terlalu mengganggu.

Menurut Freud, kunci kepribadian yang sehat adalah keseimbangan antara id,ego,dan superego.

Selasa, 11 Februari 2014

JADWAL PEMILU 2014

Jadwal Pemilu 2014


Jadwal Pemilu 2014 akan dilaksanakan dua kali yaitu Pemilu Legislatif pada tanggal 9 April 2014 yang akan memilih para anggota dewan legislatif dan  Pemilu Presiden pada tanggal 9 Juli 2014 yang akan memilih Presiden dan Wakil Presiden.
Pemilu 2014 akan memakai e-voting dengan harapan menerapkan sebuah sistem baru dalam pemilihan umum. Keutamaan dari penggunaan sistem e-voting adalah Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP) yang sudah mulai dipersiapkan sejak tahun 2012 secara nasional.
Berikut adalah jadwal  pemilu dan tahapannya yang sudah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum(KPU).
Tanggal
Acara Kegiatan
Jadwal 2013
06 April - 15 April
Pendaftaran Calon Anggota DPR-RI, DPD-RI, dan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota
16 April – 30 Juni
Verifikasi Pencalonan Anggota DPR-RI, DPD-RI, dan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota
27 Juli
Pengumuman Daftar Calon Tetap (DCT) Anggota DPD-RI
04 Agustus
Pengumuman Daftar Calon Tetap (DCT) Anggota DPR-RI, DPD-RI, DPRD Provinsi, dan Kabupaten/Kota.
Jadwal 2014
11 Januari – 05 April
Pelaksanaan Kampanye
06 April - 08 April
Masa Tenang
09 April
Pemungutan dan Penghitungan Suara (Pemilu Legislatif)
25 April – 25 Mei
Audit Dana Kampanye
26 April – 06 Mei
Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilu Tingkat Nasional
07 Mei - 09 Mei
Penetepan Hasil Pemilu Secara Nasional
07 Mei - 09 Mei
Penetapan Partai Politik Memenuhi Ambang Batas (PT 3%)
11 Mei - 18 Mei
Penetapan Perolehan Kursi dan Calon Terpilih Tingkat Nasional s/d Kabupaten/Kota
Juni - September
Peresmian Keanggotaan DPR-RI, DPD-RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota
09 Juli
Pemungutan dan Perhitungan Suara Pilpres (Pemilu Presiden)
Juli - Oktober
Pengucapan Sumpah dan Janji Anggota Terpilih DPR-RI, DPD-RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota


Sabtu, 01 Februari 2014

KON FU TZE ATAU KONFUCIUS, FILOSOF BESAR ASIA

KON FU TZE ATAU KONG HU CU
SEBAGAI FILOSOF

Muamar Anis

Kon Fu Tze atau Kong Hu Cu di Barat dikenal dengan nama Latinnya sebagai Konfucius (selanjutnya nama Latin inilah yang yang akan digunakan dalam tulisan ini). Dia adalah seorang filosof besar dunia yang muncul pada abad ke-6 SM, hampir bersamaan waktu dengan munculnya Socrates di Yunani dan Zarathustra di Persia.Tetapi berbeda dengan Socrates yang pemikirannya dikenal melalui tulisan-tulisan muridnya Plato,Kon Fu Tze melahirkan kitab yang sampai kini tetap dijadikan rujukan penting pemikiran filsafat di Tiongkok.Buku yang dimaksud ialah Lun Yu, dalam bahasa Inggeris diterjemahkan jadiAnalects. Seperti Zarathustra pula, dari pemikirannya lahir sebuah agama yang cukup berpengaruh terutama pada bangsanya sendiri. Zarathustra melahirkan agama Zoroaster, Kon Fu Tze melahirkan agama yang di Indonesia dikenal sebagai agama Kong Hu Cu.
Filosof besar Asia inilahir pada tahun 531 SM di negeri Lu, kini termasuk propinsi Shantung. Leluhurnya tidak jelas, namun di antara mereka dahulunya terdapat bangsawan terkemuka. Dalam biografinya ia menulis bahwa orang tuanya bukan orang berpangkat dan hidup sederhana. Ia sendiri harus mencari nafkah sewaktu kecil. Sekalipun dalam keadaan miskin, ia tetap mampu belajar. Kebanyakan ilmunya diperoleh dengan jalan belajar sendiri.
Pengalaman hidupnya yang pahit itu membuatnya peka terhadap penderitaan rakyat kecil. Ia sangat prihatin dengan keadaan sekitarnya yang dianggapnya telah rusak dan menyedihkan. Keprihatinannya inilah mendorong semangat  Konfucius melakukan perubahan dan pembaharuan,yaitu dengan mendidik murid-murid yang kelak dapat dipersiapkan terlibat dalam pemerintahan.
Pada waktu itu Cina diperintah oleh golongan bangsawan yang pada mulanya adalah kaum militer. Mereka hidup mewah. Rakyat diperas dengan dipaksa bekerja secara rodi dan membayar pajak yang cukup tinggi. Memang, pada mulanya mereka tampil sebagai pelindung masyarakat dan pengaman negara yang efektif, namun setelah tumbuh menjadi kelas sosial tersendiri, maka timbullah berbagai penyimpangan yang membuat rakyat sengsara.
Sebagaimana telah dikemukakan Konfucius menginginkan perubahan.Dia mengajarkan falsafah dan mendidik murid-murid dan pengikut-pengikutnya agar kelak dapat memainkan peranan penting dalam pemerintahan, serta sanggup merombak pemerintahan yang bobrok serta tidak memenuhi kebutuhan rakyat. Untuk itu latihan dan tehnik-tehnik yang biasa dianggap tidak cukup. Untuk dapat mengemban tugas yang berat mereka harus dididik agar mampu mengembangkan prakarsa, memiliki watak, adab dan kecerdasan yang tinggi.
Konfucius percaya bahwa setiap orang dapat menjadi orang baik, yaitu chun tzu, tanpa peduli latar belakang sosial dan keturunan. Di Cina pada waktu itu chun tzu diartikan sebagai orang baik yang beradab, tahu aturan dan sopan santun, memiliki inisiatif sesuai dengan kemampuannya. Orang semacam itulah yang, menurut Konfucius, dapat mengemban tugas-tugas pemerintahan dengan baik.
Mengapa ilmu dan seni pemerintahan menjadi perhatian Konfucius? Pada zaman hidupnya, karena pemerintahan dikendalikan kaum militer, masyarakat pada umumnya mengagung-agungkan ilmu dan seni perang, dan mengejek orang yang memberi perhatian terhadap perlunya pemerintahan yang baik, bersih, menjunjung hukum dan pengelolaan administrasinya baik. Sekalipun lebih menekankan ilmu dan seni pemerintahan dibanding ilmu dan seni perang, yang pada waktu itu sangat diperlukan mengingat banyaknya peperangan dan pembrontakan, tetapi Konuficius sama sekali bukan penganut pasifisme. Ia juga mengajarkan bahwa kekerasan diperlukan dalam menghadapi masalah-masalah yang memerlukan ketegasan. Namun Konfucius yakin bahwa kekerasan bukan satu-satunya jalan dalam menyelesaikan persoalan negara.

Chun Tzu dan Li
Chun tzu adalah istilah yang populer di Cina pada masa Konfucius untuk menyebut orang baik-baik dan berkedudukan dalam masyarakat. Konfucius sendiri mengartikannya sebagai orang yang mengenal adab, tatanan moral atau tatakrama dalam kehidupan sosial dan politik. Dalam rangka mendidik murid-muridnya menjadi chun tzu, Konfucius mengingatkan bahwa adab dan tatakrama telah rusak kehidupan politik masyarakat Cina pada waktu itu. Untuk memperbaikinya diperlukan perbaikan dan reformasi. Reformasi yang diinginkan ialah kembali kepada li, yang biasa diartikaan sebagai tatakrama. Konfucius sendiri mengartikannya sebagai ‘upacara’. ‘adat istiadat’ atau ‘ketentuan-ketentuan hidup yang pantas diartikan’. Li merupakan ukuran bagi orang yang ingin mencapai chung yung, jalan tengah – keseimbangan dan harmoni dalam kehidupan sosial.
Pada mulanya li diartikan sebagai ‘berkurban’, dan arti ini masih berlaku sampai kini. Konfucius memperluas artinya sehingga mencakup adat istiadat dan sistem kepercayaan yang melandasi pelaksanaan upacara kurban. Karena itu kemudian pengertian li mencakup juga upacara dan tatacara yang berlaku dalam masyarakat. Menurut Konfucius, apabila para penguasa dan pejabat dapat menyelenggarakan kurban dan upacara lain dalam menghormati leluhur mereka, mengapa mereka tidak berbuat yang sama seriusnya dalam menjalankan pemerintahan? Bilamana para menteri saling menghormati dan menjaga adab, mengapa mereka harus mengabaikan rakyat jelata yang merupakan tulang punggung negara?
Konfucius mengajarkan kepada muridnya agar dalam berhubungan dengan orang  lain, seseorang bersikap ‘sedang menerima tamu penting’; dan apabila kelak menjadi pejabat atau pegawai tinggi hendaknya menghadapi rakyat seperti dia ‘sedang memimpin upacara kebaktian agama dalam suatu penyajian kurban besar”. Apa yang dikemukakan Konfucius ini hanya kias. Dia sebenarnya bukan seorang tokoh yang memuja adat istiadat yang berlaku dan upacara-upacara memuja leluhur yang sering diselenggarakan dengan penuh kemegahan dan pemborosan. Bagi Konfucius yang penting adalah semangat yang tersembunyi dalam li, dan hakikat terdalam dari pengertiannya yang tersembunyi.
Suatu ketika Guru Kung ditanya apakah hakikat li itu? Guru Kung menjawab:’’Ini pertanyaan penting!  Berkenaan dengan upacar, andaikata seseorang terpaksa berbuat salah dalam satu segu, maka kesalahan terbaik dalam hal ini ialah terlampau hemat menyelenggarakan upacara yang biasa dilaksanakan secara megah dan boros. Pada waktu upacara pemakaman dan berkabung, mereka yang berkabung lebih baik jika merasa benar-benar sedih dibanding mereka yang terlalu teliti terhadap ketentuan-ketentuan penyelenggaraan upacara yang sekecil-kecilnya.” (Lun Yu 3.4).
Ketika itu tatacara penyelenggaraan kurban penuh dengan aturan-aturan rinci yang harus dipatuhi. Tidak sedikit di antara aturan-aturan itu esensial dan penting. Konfucius jelas tidak setuju dengan tetek-bengek yang menyulitkan dan penuh basa basi itu. Ia bisa menerima adat istiadat dan upacara apabila secara rasional alasan-alasannya bisa diterima. Alasan yang masuk akal inilah yang dijadikan pertimbangan Konfucius dalam menilai apakah perilaku seseorang itu manusiawi ataukah bermoral. Kendati demikian Konfucius tidak menganggap remeh adat istiadat, aturan dan adab sebab itu merupakan pedoman penting dalam mengatur masyarakat yang tertib.
Demikianlah pengertian li dalam pemikiran Konfucius merupakan rasionalisasi atas sistem etika yang berlaku pada waktu itu, sedangkan secara falsafah li diartikan sebagai ’tatanan masyarakat yang ideal’, yang di dalamnya segala sesuatu harus diletakkan pada tempatnya yang benar dan sesuai berdasarkan pertimbangan rasional. Sedangkan apabila dikenakan kepada pribadi seseorang, li berarti keadaan pikiran (mind) yang cenderung pada kesalehan, ketulusan dan ketaatan memenuhi ajaran agama, moral dan hati nurani.
Setelah Konfucius, li kemudian diberi arti sebagai sistem kepercayaan yang menekankan pada ’keseimbangan dan harmoni’ (chung yung), dan secara tersirat meletakkan manusia, alam dan Tuhan (t`ien) pada tempat dan kedudukannya yang benar. Konfucius mengajarkan agar masyarakat berperilaku baik dan taat pada undang-undang dan hukum. Orang Cina, menurut Lin Yu Tang, menganggap bahwa Konfucianisme merupakan agama li, atau ’agama adab dan moral yang terpuji’. Dalam pandangan Konfucius sistem politik dan pemerintahan harus tunduk pada sistem moral dan adab yang lebih luas. Dalam aforismenya Konfucius misalnya memaparkan bagaimana moral pemerintahan yang ideal, sebagai berikut:

”Konfucius berkata,’’Bimbinglah masyarakat dengan ukuran-ukuran dan kendali pemerintahan atau aturlah mereka dengan ancaman hukuman, dan orang akan berusaha tidak masuk penjara, kecuali mereka yang tak punya harga diri dan rasa malu. Bimbinglah masyarakat dengan kebajikan dan kendali atau aturlah mereka dengan itu, dan orang akan memiliki harga diri dan rasa hormat.”

Manusia yang bijak dan bermoral,yang berpegang pada li, tidak akan menyia-nyiakan hidupnya dan sebaliknya akan berusaha menjadi anggota masyarakat yang gemar bekerjasama dengan sesamanya. Manusia yang demikian  tidak menolak li sejauh tidak bertentangan dengan moral dan tidak merugikan manusia.
Dalam falsafah pendidikan Konfucius, di mana gagasan li telah ditambah dengan pengertian moral, peningkatan kecerdasan dianggap tidak penting apabila tidak disertai keseimbangan emosi. Usaha untukk menghasilkan keseimbangan tersebut  tergantung pada pendidikan dalam li. Menurut Konfucius, ”Ilmu yang dimiliki oleh seorang chun tuzharus ditertibkan dengan menggunakan li”.  Dengan demikian ia memiliki kekuatan menghadapi dunia, setia pada prinsip dan pendirian, tahan menghadapi krisis dan godaan.

Etika dan Hakikat Manusia
Sistem etika dan falsafah yang dibangun oleh Konfucius didasarkan pada alasan/pertimbangan tentang apakah sebenarnya hakikat manusia itu? Menurut Konfucius manusia merupakan makhluk individu yang keberadaannya tidak terpisah dari masyarakat. Di lain hal ia memandang bahwa masyarakat bukan sejenis kesatuan metafisik yang sepenuhnya mengatasi individu. Jika masyarakat benar-benar mengatasi individu, berarti keberadaan individu tidak ada artinya. Untuk itu keberadaan individu harus dipertimbangkan dan diserap dalam rangka kesatuan dan keseimbangan masyarakat.
Menurut Konfucius, manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial. Meskipun demikian, tidak sepenuhnya dibentuk oleh masyarakat. Keadaan yang dialami seseorang, kebiasaan-kebiasaan dan pola hidupnya, sebagian memang dibentuk oleh masyarakat. Tetapi di lain hal, karena masyarakat merupakan kumpulan individu manusia yang saling mempengaruhi satu dengan yang lain, maka masyarakat sebenarnya juga dibentuk oleh individu-individu yang memainkan peranan penting dalam pelbagai lapangan kehidupan.
Tetapi mengapa ada orang ingin memisahkan diri dari masyarakatnya, dan ada juga orang yang gemar menentang adat istiadat dan tatanan moral yang berlaku dalam masyarakat? Mengapa pula ada orang yang tidak mau mengikuti pertimbangan-pertimbangan moral yang dianut masyarakat? Semua itu menurut Konfucius disebabkan oleh suara hati nuraninya. Menjadi ’petapa’ dan ’mengikuti kemauan khalayak’, sama saja buruk dan salah bagi Konfucius, karena ’hati nurani’ manusia pada dasarnya ingin hidup bersama dengan manusia lain dalam suatu komunitas yang disebut masyarakat, dan ’hati nurani’ pula yang pada dasanya mendorong seseorang menginginkan perubahan dan perbaikan dalam masyarakat.Landasan kebenaran dalam kehidupan sosial adalah hati nurani. Hati nurani inilah yang dirujuk Konfucius ketika dia berkata:

”Seseorang tanpa keadaan sebenarnya, aku tak tahu apa jadinya!”
”Biarlah kesetian dan kebenaran menjadi yang utama bagimu.”
”Lebih baik tulus dan ikhlas, dibanding sekedar berpegang teguh (pada aturan)”
”Manusia dilahirkan untuk berdiri tegak, jika tidak demikian, dan walaupun ia
masih hidup, akan beruntung jika ia melarikan diri.”
”Kaya dan terhormat adalah yang dihasratkan manusia; namun jika tak selaras dengan kebenaran (hati nurani) mungkin semua itu tak memberinya kebahagian.”

(Lun Yu).

Selain gagasan li dan hati nurani, gagasan penting Konfucius yang lain ialah tentang Tao (Jalan). Arti semula dari tao ialah jalan, cara atau alur. Sebelum Konfucius, taobiasa diartikan sebagai tatacara atau etika. Tetapi setelah munculnya Lao Tze iartikan secara mistikal untuk menggambarkan Dzat pertama yang menyusun alam semesta atau keseluruhan segala sesuatu.
Konfucius sendiri mengartikan Tao sebagai Jalan di atas segala jalan lain yang seharusnya diikuti oleh manusia. Jadi artinya ialah Jalan Besar. Dalam Tao yang sebenarnya, tujuan yang ingin dicapai ialah kebahagiaan. Ia mencakup hukum-hukum moral yang berlaku bagi individu, dan juga berarti pola pemerintahan yang harus dilaksanakan untuk melahirkan kesejahteraan dan perkembangan  manusia dalam mencapai hakikat dirinya.
Han Yu, filosof Cina abad ke-8 M,  mengatakan bahwa yang dimaksud Tao oleh Konfucius ialah jalan atau cara bertindak, yang dijiwai oleh cita-cita keadilan (keadilan bagi orang Cina ialah kepatutan) dan didasarkan atas jen, rasa cinta pada kemanusiaan. Tao bukan suatu yang tetap, tetapi mengalami perubahan sesuai keperluan dan beranekaragam sesuai dengan keadaan orang yang melaksanakannya. Demikianlah dengan gagasannya tentang li dan tao, beserta pengertian yang diberikan pada dua istilah ini, dia telah berusaha menggantikan makna ’kesetiaan’ yang dibebankan pada setiap individu yang dahulunya ditujukan kepada pemerintah dan golongan feodal. Kesetiaan yang diinginkan Konfucius ialah kesetiaan kepada prinsip moral dan jalan kemanusiaan.

Etika Tanpa Metafisika
Telah dikemukakan bahwa Konfucius membangun sistem etika berdasar hakikat manusia dan keperluan individu untuk hidup bermasyarakat.  Ia juga memisahkan etika dan metafisika dalam ikhtiarnya memberi landasan yang rasional bagi sistem etika dan falsafah moral. Tidak seperti Meng Tze (Mencius), penganut Konfucianisme yang berpendapat bahwa pada dasarnya manusia itu baik, Konfucius tidak pernah mengatakan demikian. Guru Kung, demikian dia dipanggil, juga tidak seperti Hun Tzu, juga penganut Konfucianisme, yang mengatakan bahwa pada dasarnya manusia itu buruk atau jahat.
Guru Kung sangat dekat dengan persoalan-persoalan kongkrit yang dihadapi masyarakat dan manusia di sekelilingnya. Baginya mansia secara hakiki sama di mana saja. Tidak sedikit di antara mereka yang beruntung mendapat kedudukan tinggi dan berkemungkinan memiliki kepribadian dan watak terpuji disebabkan mendapat pendidikan yang baik; tetapi dalam kenyataan sering berperilaku seperti binatang, bebal dan keji. Tetapi sebaliknya tidak sedikit manusia yang tidak beruntung karena kurang berpendidikan dan berpangkat rendah, namun memiliki perilaku yang baik dan patut dihargai keperibadian serta budi pekertinya.
Pandangan Guru Kung didasarkan atas pengamatan langsung dan sederhana. Dia mengambil kesimpulan bahwa setiap manusia sebenarnya sangat mendambakan satu hal: Kebahagiaan. Hanya saja masing-masing sering mengartikan kebahagiaan itu dengan cara yang berbeda-beda. Konfucius sendiri tidak menetapkan bahwa apa itu kebahagiaan dan enggan pula menghubungkannya dengan kepercayaan atau agama. Yang jelas ia hanya mengatakan bahwa setiap manusia senantiasa berusaha memperoleh apa yang ia dambakan dan apa yang ia dambakan bisa menjadi sumber kebahagiaan apabila terpenuhi.
Dia berpendapat hanya sejauh berdasarkan kenyataan. Misalnya dia melihat di sekelilingnya kebanyakan rakyat hidup serba kekurangan, tidak sedikit yang menderita kelaparan, tertekan hidupnya disebabkan banyaknya kekacauan dan peperangan terjadi, serta ditindas oleh kaum bangsawan. Kaum bangsawan pun banyak tidak memperoleh kesenangan dan tidak bahagia, sebab hidup mereka tidak teratur dan sering menghadapi bahaya. Dalam rangka menjawab persoalan nyata itu Konfucius menyusun falsafah yang diharapkan bisa menjadi pedoman dalam menegakkan tatanan masyarakat yang membuat manusia bahagia. Bagaimana membuat manusia di negerinya berbahagia? Melalui sistem pemerintahan yang baik dan mendatangkan kepuasan bagi kehidupan rakyat banyak.
Pemerintahan yang demikian, menurut Konfucius, harus dibangun dengan memperhatikan kodrat dasar manusia dan kemanusiaan. Manusia adalah makhluk sosial dan kebahagiaan sebagai kebaikan bersama dapat diperoleh melalui kehidupan sosial yang beradab dan mengutamakan kebersamaan serta nilai-nilai moral. Karena itu, menurut Guru Kung, jika setiap orang bekerja untuk kebahagiaan bersama, maka besar kemungkinan tercipta keadaan yang diliputi kebahagiaan bersama dibanding dengan keadaan lain, apabila tidak ada keinginan untuk bekerja demi kebahagiaan bersama. Kebaikan dan kodrat manusia sebagai makhluk sosial, dengan begitu, membangun asas timbal balik.
Apa yang dimaksud asas timbal balik itu? Guru Kung hanya mengatakan, ”Tidak mengerjakan sesuatu terhadap orang lain, yang kita sendiri tidak menghendaki orang lain melakukannya terhadap kita.”  Katanya lagi, ”Manusia yang bijak dalam arti yang sebenarnya ialah apabila ia ingin memantapkan kedudukannya, ia akan berusaha pula memantapkan kedudukan orang lain; apabila ia ingin mendapat untung, ia akan berusaha membantu orang lain untuk mendapat untung. Jalan kebajikan yang sejati ialah menemukan prinsip perilaku terhadap orang lain dalam keinginan kita sendiri.”

Apa yang dikemukakannya itu berkaitan dengan asas Jalan Tengah (chung yung) yang ingin ditegakkan. Chung Yung adalah prinsip kehidupan manusia bermoral yang menghendaki keseimbangan dan harmoni.  Asas ini hanya bisa berlaku jika seseorang memulai dari dirinya sendiri. Menjadikan diri kita bermoral, kata Guru Kung, adalah menjadikan diri kita selaras dengan orang lain, dalam cita-cita, perilaku dan keinginan. Dalam kaitan ini Guru Kung juga mengajarkan bagaimana berbuat baik dalam kehidupan tanpa dibebani persoalan mengapa kita harus berbuat baik.