PEMIKIRAN PLOTINUS
TENTANG ESTETIKA DAN SENI
Oleh:Muamar Anis
Dalam sejarah filsafat Yunani, terdapat seorang filosof dari Timur
namun sering diaku sebagai filosof Barat. Ia adalah Plotinus. Pemikiran
filsafatnya sangat berpengaruh baik dalam tradisi filsafat Eropa maupun Islam.
Di antara pemikiran filsafatnya yang relevan berkenaan dengan estetika dan
filsafat seni. Plotinus dilahirkan di kota Lise, Mesir pada
tahun 205 M dan wafat pada tahun 270 M. Setengah sarjana memandangnya sebagai
penerus ajaran Plato, sebagian lagi memandang pemikiran filsafatnya sebagai
penghubung antara tradisi Falsafah Yunani dan tradisi Abad Pertengahan Eropa.
Yang kurang disinggung ialah betapa pemikiran filsafatnya memiliki kaitan
dengan pemikiran filsafat Persia dan India.
Sebagai seorang
sarjana, Plotinus mula-mula tertarik kepada filsafat setelah
mempelajari pemikiran Ammonius Saccas yang mengajar di Akademi Iskandariah.
Dahaganya kepada kebenaran filosofis mendorongnya meninggalkan Mesir, kemudian
mengembara ke Suriah, Iraq dan Persia (Iran). Setelah lama menuntut ilmu di
Suriah dan Persia, Plotinus pergi Byzantium, yaitu Turki sekarang ini. Dari
sini pada tahun 245 M Plotinus pindah ke Roma dan mendirikan madzab filsafat
tersendiri. Aliran filsafatnya disebut Neo-platonisme. Melalui pemikiran
filsafatnya ini pengaruh falsafah Timur (India dan Persia) tersebar dan
mempengaruhi banyak filosof di Eropa. Salah satu perantara pemikiran
Plotinus yang bercorak ketimuran dengan filsafat Eropa adalah filosof Kristen.
Di antara aliran filsafat Timur dan pemikiran Persia (Zoroaster) yang
berpengaruh ialah apa yang disebut gnostisisme dan apokaliptisisme.
Kembali ke
Plotinus, karyanya yang masyhur ialah Enneads. Buku ini terdiri dari 6 jilid, berisi 54
esai tentang filsafat. Dalam bukunya inilah kita jumpai pemikiran Plotinus
tentang estetika/filsafat keindahan dan seni. Menurut Plotinus, keindahan
terdapat pada banyak benda atau obyek pengamatan indera. Obyek paling nyata
memancarkan keindahan ialah yang dapat diiendera mata, dicerap
pendengaran seperti ritme, musik dan irama, atau kata-kata yang disusun dengan
cara tertentu serta berirama pengucapannya seperti puisi, retorika atau
khotbah.
Akal pikiran juga
dapat merasakan keindahan yang tidak terdapat di alam benda. Misalnya keindahan
berkenaan pola hidup, pandangan hidup, cara berpikir atau tindakan intelektual.
Keindahan juga dapat dirasakan atau dinikmati melalui kearifan, kebijakan dan
kebajikan moral seseorang. Bagi Plotinus persoalannya ialah apa yang membuat
sesuatu itu dapat diangap indah? Apakah unsur indah itu memperlihatkan
dirinya sendiri pada obyek atau melalui sesuatu yang lain, atau disebabkan
pengamatan jiwa kita?
Plotinus menolak
keseimbangan sebagai ciri yang mesti ada pada keindahan sebagaimana dikatakan
Aristoteles. Keseimbangan hanya tampak apabila bagian dibandingkan dengan
bagian lain. Benda yang bersahaja tidak memiliki bagian yang dapat dibandingkan
dan dengan demikian tidak memiliki keindahan apabila ukuran keindahan adalah
keseimbangan. Keseimbangan hanya ada pada obyek-obyek yang memiliki lebih dari
satu atau banyak bagian atau banyak komponen seperti sebuah gedung yang bagus
beserta tamannya. Atau pada diri seekor kuda yang proporsi tubuhnya sempurna,
larinya kencang dan perkasa, dengan bulu bagus serta mengkilat. Nyatanya
keindahan sebuah obyek yang komponen atau bagian-bagiannya kompleks itu nampak
kepada kita bukan semata disebabkan keseimbangan, tetapi kepaduannya dalam arti
bagian yang satu dengan bagian yang lain menjalin kesatuan yang sempurna untuk
ukuran sesuatu obyek.
Selanjutnya Plotinus berpendapat bahwa keindahan
hanya terwujud apabila obyek-obyek atau sesuatu dapat menggerakkan jiwa dan
pikiran, apakah sesuatu itu obyek-obyek bersahaja atau kompleks
susunannya. Setelah jiwa bergerak maka jiwa akan naik menghubungkan
dirinya dengan Yang Maha Kudus. Keindahan obyek-obyek yang dapat dicerap
indera membuat jiwa atau mata hati seseorang akrab dan merasa seolah-olah telah
lama mengenal keindahan serupa itu. Keindahan yang demikian membuat seseorang
bersatu dengannya atau hanyut dalam keindahan tersebut.
Dalam teori keindahan Plotinus ide utama
ialah kontemplasi (renungan) dan penglihatan batin. Pengalaman estetik
yang tertinggi bersumber dari renungan dan penglihatan batin. Seperti Plato,
Plotinus mengaitkan renungan dengan sesuatu yang berada di atas jangkauan
indera, misalnya keindahan menuntut ilmu, keadilan, kearifan dan kebenaran.
Sarana untuk mencerap keindahan tersebut dapat ditemui dalam obyek-obyek yang
dicerap melalui indera. Misalnya seorang ahli botani yang meneliti tanaman
tertentu, pertama-tama adalah melalui pengamatan inderanya (empiris), baru
menggerakkan pikiran dan jiwanya untuk menemukan pengetahuan dari tanaman yang
ditelitinya.
Teori Plotinus mempengaruhi estetika modern. Kata-kata
estetika diperkenalkan di dunia modern pada pertengahan abad ke-18 M oleh
filosof rasionalis Baumgarten. Segala sesuatu yang bisa diamati indrera disebut
sebagai obyek estetika. Ciri obyek yang paling mempengaruhi jiwa manusia
sehingga terpesona ialah keindahan yang memancar dari bentuk dan keseluruhan
unsure-unsur estetiknya.
Menurut Plotinus keindahan yang timbul dari adanya
kesatuan dalam sesuatu obyek merupakan cermin kesatuan dari Yang Maha Esa.
Kesatuan pada benda bersahaja bersifat homogen, seragam. Misalnya warna hijau
atau kuning, atau keindahan sebuah batu di halaman rumah. Sedangkan
kesatuan obyek-obyek yang susunannya kompleks bersifat heterogen,
berbagai-bagai. Keindahan obyek yang susunannya kompleks seperti keindahan
sebuah lukisan bersegi-segi dan tidak tunggal.
Bagi Plotinus, keindahan yang tinggi tak punya
bentuk. Misalnya keindahan menuntut ilmu atau pribadi seseorang. Keindahan yang
diperoleh dari dua hal tersebut di antaranya ialah perasaan bahagia, rasa ingin
tahu yang mendalam dan takjub. Semua itu timbul karena dapat membawa kita
menuju kebenaran yang tinggi. Di sini Plotinus membuat kerangka teori keindahan
yang berperingkat dari keindahan alam inderawi ke tahap keindahan yang lebih
tinggi, yaitu kebenaran – yang dapat dicerap melalui renungan dan penelitian
yang mendalam atas sesuatu. Kendati demikian ia beranggapan bahwa keindahan
alam inderawi merupakan jalan menuju kebenaran. Jika kita melihat sebuah
lukisan, maka sebenarnya kita akan mengingat kembali keindahan abadi di maa kita
dahulu berasal. Ruang dan waktu yang abadi adalah tempat tinggal ini. Konsep
seni Islam dipengaruhi terutama oleh pemikiran Plotinus, melalui perantaraan
Imam al-Ghazali. Pemikiran estetika Imam al-Ghazali adalah penyempurnaan dari
estetika Plotinus.
Menurut Plotinus lagi, keindahan alam
inderawi dapat membawa kita ke arah yang berlawanan, yaitu apabila kenikmatan
yang diperoleh darinya dicemari kedukaan dan hawa nafsu, sehingga membuat jauh
dari kebenaran. Misalnya lelaki melihat seorang wanita cantik yang berpakaian
minim. Tetapi yang bangkit adalah nafsu berahinya dan melupakan hal-hal lain
yang indah pada wanita itu. Agar kita terhindar dari kecenderungan itu, dalam
melihat atau mengalami keindahan, jiwa kita sendiri perlu dijadikan indah dan suci.
Caranya ialah dengan merenung dan melihat ke dalam jiwa kita sendiri. Jika
belum sempurna hendaknya diperbaiki sehingga diri kita bersinar-sinar dengan
kebajikan dan kemuliaan.
Wassalam