Rabu, 29 Januari 2014

SASTRA INDONESIA DAN TRADISI SUFI NUSANTARA

SASTRA INDONESIA DAN TRADISI
SUFI NUSANTARA

Oleh:Muamar Anis



               Sastra Sufi merupakan bagian penting dari keseluruhan khazanah intelektual Islam dan sekaligus merupakan salah satu dari warisan Islam yang relevan hingga kini. Selama beberapa puluh tahun, khususnya di Indonesia, khazanahnya yang kaya itu telah diabaikan oleh kaum terpelajar Muslim dan jarang dijadikan bahan kajian para sarjana. Namun bersamaan dengan tumbuhnya kembali  minat  terhadap tasawuf sejak awal 1980an , tumbuh pula minat  terpelajar Indonesia mengkaji teks-teks tasawuf dan wacana sastra sufi. Sebelumnya, selama lebih kurang tiga dasawarsa sejak awal 1970an, telah muncul kecenderungan sufistik atau kesufian dalam penulisan karya sastra. Ini tampak misalnya dalam karya penulis terkemuka seperti Danarto, Kuntowijoyo, Sutardji Calzoum Bachri, Hamid Jabbar, D. Zawawi Imron, Emha Ainunnadjib dan banyak lagi penulis yang lebih muda dari mereka.
            Sudah barang tentu mereka tidak dengan sendirinya dapat disebut   sufi seperti Sunan Bonang, Hamzah Fansuri, Syamsudin Sumatrani, Syekh Yusuf Makassari, Raja Ali Haji dan K. H. Hasan Mustafa. Namun dengan adanya jejak estetika dan pandangan sufi dalam karya mereka menunjukkan bahwa sastra sufi masih wujud dan relevan sebagai sumber rujukan atau ilham penciptaan sastra dalam abad kita.
            Secara umum karya penulis sufi mengungkapkan jenis-jenis pengalaman kerohanian seorang sufi dalam perjalanan mereka mencari kebenaran, atau keadaan-keadaan jiwa yang mereka alami dalam menempuh jalan kerohanian di jalan tasawuf atau cinta ilahi. Dalam setiap tahapan perjalanan rohani atau pencariannya itu seorang penulis berikhtiar menafsirkan makna keadaan jiwa dan peristiwa-peristiwa batin yang mereka alami, serta kemudian berusaha mengungkapkan pemahaman dan penafsirannya dalam ungkapan estetik sastra.  Ungkapan estetik mereka penuh dengan tamsil dan perumpamaan yang simbolik dan imaginatif.
            Tamsil-tamsil atau perumpamaan-perumpamaan yang dijadikan sarana untuk mengungkapkan gagasan atau pengalaman kesufian mereka itu ada yang diambil dari al-Qur`an atau kisah-kisah dalam al-Qur`an, ada yang diambil dari sejarah zaman Islam dan pra-Islam, ada yang diambil dari cerita rakyat, budaya lokal dan peristiwa semasa yang penting. Ada pula yang diangkat dari alam lingkungan sekitarnya dan kehidupan sehari-hari masyarakat.  Karena ilham penulisan sastra sufi dan bangunan estetikanya didasarkan pada kandungan falsafah perenial Islam yang universal – terutama gagasan cinta (`isyq danmahabbah), makrifat, iman, penglihatan rohani, hakikat manusia sebagai khalifah Allah di bumi dan hamba-Nya, akibat-akibat buruk cinta berlebihan pada dunia dan gagasan lain – maka tak mengherankan apabila pesan moral dan kerohanian penulis sufi senantiasa relevan dan melampaui zamannya. Kehampaan rohani yang dirasakan manusia modern akibat tekanan peradaban dan kebudayaan material, membuat sastra sufi kian relevan di mata beberapa penulis yang telah karib dengan tasawuf.
            Makalah ini bertujuan antara lain membahas kesinambungan sastra sufi Melayu, khususnya kepenyairan Hamzah Fansuri, dalam sastra Indonesia modern. Yang hendak dibahas terutama ialah kesinambungan wawasan estetiknya sebagaimana tampak dalam karya beberapa penulis Indonesia 1930an dan 1970an – dua periode penting dalam sejarah sastra Indonesia modern di mana sastra sufi  merupakan bacaan dan rujukan penting sebagian penulis Indonesia terkemuka.

Romantisme Sufistik Pujangga Baru
            Telah sering dikemukakan bahwa Pujangga Baru sebagai sastra modern yang muncul pada dasawarsa 1930an dipengaruhi oleh aliran romantisme yang berkembang pada abad ke-19 di Negeri Belanda dan Inggris. Namun para penulis sering mengabaikan hubungan romantisme Inggeris dengan gerakan pemikiran lain yang tumbuh pada waktu itu seperti transendentalisme dan mistisisme. Seperti kaum transendentalis dan mistik, kaum romantik percaya kepada pengaruh alam supernatural terhadap kehidupan manusia, dan berusaha mendapatkan ilham penciptaan dari kekuatan supernatural melalui sarana intuisi dan imaginasi. Ini terlihat dalam gagasan dan karya penyair romantik Inggeris terkemuka seperti Coleridge, Wordsworth, P. B. Shelley dan lain-lain.
            Di Indonesia gerakan romantik muncul bersamaan dengan bangkitnya semangat kebangsaan dan hasrat memadukan semangat kebudayaan Barat modern yang individualistis dan semangat kebudayaan Timur yang religius dan spiritualistis. Romantisme modern lantas bertemu dengan tradisi sastra mistik dan sastra sufi yang telah berakar lama dalam budaya masyarakat Nusantara. Bukan pula suatu kebetulan apabila pertemuan Timur Barat tersebut nampak dalam karya dua penulis Pujangga Baru terkemuka, Sanusi Pane dan Amir Hamzah.
            Sanusi Pane, penyair kelahiran Muara Sipongi di Sumatera Utara pada tahun 1908, adalah  seorang ahli sejarah dan falsafah Timur. Dalam karangan-karangannya ia mengakui bahwa pengaruh romantisme Belanda (Tachtigers) baru terjadi kemudian setelah dia membaca karya-karya Rumi dan ahli-ahli mistik India. Beberapa sajaknya dan wawasan estetik yang melatari sajak-sajaknya,  misalnya pendapatnya yang menyatakan bahwa puisi merupakan “Gerakan sukma yang mengalir ke indah kata”, ternyata memiliki hubungan batin yang erat dengan puisi penulis Sufi seperti Jalaluddin Rumi dan Hamzah Fansuri.
            Sebagaimana dikatakan Teeuw (1994) pernyataan tersebut merupakan awal dari gerakan sastra yang mengutamakan individualitas dalam penciptaan, suatu pernyataan yang kemudian lebih ditegaskan lagi oleh Chairil Anwar pada tahun 1940an. Namun Teeuw juga menegaskan bahwa pernyataan semacam itu telah didahului oleh Hamzah Fansuri tiga abad sebelumnya pada abad ke-16 M. Dalam setiap bait penutup ikat-ikatan syairnya Hamzah Fansuri senantiasa menekankan bahwa semua yang diungkapkan dalam syairnya merupakan pengalaman pribadinya. Misalnya sebagaimana  dalam  beberapa  bait penutup sajaknya berikut ini:

                        Hamzah  miskin hina dan karam
                        Bermain mata dengan Rabb al`alam
                        Selamnya sangat terlalu karam
                        Seperti mayat sudah tertanam

                                    (Ikat-ikatan III Ms. Jak. Mal. 83)

                        Hamzah Fansuri anak dagang
                        Melenyapkan dirinya tiada sayang
                        Jika berenang tidak berbatang
                        Jika berlabuh pada tempat tiada berkarang

                                    (Ikat-ikatan VII Ms. Jak. Mal. 83)

                        Hamzah `uzlat di dalam tubuh
                        Ronanya habis sekalian luruh
                        Zahir dan batin menjadi suluh
                        Olehnya itu tiada bermusuh

                                    (Ikat-ikatan XVIII Ms. Jak. Mal. 83)

Bagi penulis sufi puisi merupakan tangga untuk naik menuju pengalaman transendental. Agar tercapai maka peralatan-peralatan dari ungkapan puitik seperti citraan, tamsil dan metafora dijadikan simbol yang memuat gagasan kerohanian melalui cara tertentu, misalnya meletakkan penanda kesufian tertentu seperti ’anak dagang’ atau istilah teknis tasawuf atau agama seperti Rabb al-`Alam dan lain-lain.
            Salah satu tema yang disukai penyair Sufi ialah tema ’pencarian hakekat diri yang batin, universal dan tidak berjejak di mana pun selain dalam wujud diri manusia yang terdalam’. Sajak Sanusi Pane ”Mencari” menunjukkan kepada kita bahwa puisi merupakan sarana atau tangga naik menuju pengalaman transendental, walaupun menggunakan ungkapan-ungkapan yang diambil dari perjalanan lahir. Sajak tersebut juga memiliki kaitan dengan tema ’pencarian hakekat diri batin manusia’ yang digemari para penulis Sufi. Sanusi Pane menulis:

                        Aku mencari
                        Di kebun India
                        Aku pesiar
                        Di taman Yunani
                        Aku berjalan
                        Di tanah Roma
                        Aku mengembara
                        Di benua Barat

                        Segala buku
                        Perpustakaan dunia
                        Sudah kubaca
                        Segala filsafat
                        Sudah kuperiksa

                        Akhirnya `kusampai
                        Ke dalam taman
                        Hati sendiri
                        Di sana Bahagia
                        Sudah lama
                        Menanti daku

                        (Madah Kelana 45).

            Pencarian dalam sajak tersebut tidak berbeda dengan yang diungkapkan Jalaluddin Rumi dalam sebuah sajaknya yang terkenal. Dikatakan dalam sajak itu bahwa Rumi mengembara ke bukitt Qab, mencari di palang saklib dan pagoda-pagoda Buddhis, agar menjumpai hakekat dirinya yang batin dan asal-usul kerohaniannya, namun yang dicari itu dijumpa dalam taman kalbunya sendiri. Citraan simbolik taman  yang digunakan Sanusi Pane juga  sudah lazim digunakan oleh penulis-penulis Muslim, terutama penulis Sufinya.
Bandingkan pula sajak Sanusi Pane dengan bait syair Hamzah Fansuri berikut ini:

                        Hamzah Fansuri di dalam Mekkah
                        Mencari Tuhan di Bait al-Ka`bah
                        Di Barus ke Quds terlalu payah
                        Akhirnya dapat di dalam rumah

                        (Ikat-ikatan XXI Ms. Leiden Cod. Or. 2016)

            Gema puisi sufi Melayu tidak hanya tampak dalam wawasan estetik tetapi juga dalam puitika atau sistem persajakan. Salah satu sajak Sanusi Pane yang terkenal ”Dibawa Gelombang” (Madah Kelana  16) memperlihatkan keterikatan penulis Pujangga Baru pada sistem persajakan klasik Melayu:

                        Alun membawa bidukku pelahan
                        Dalam kesunyian malam waktu
                        Tidak berpawang tidak berkawan
                        Entah ke mana aku tak tahu

                        Jauh di atas bintang kemilau
                        Seperti sudah berabad-abad
                        Dengan damai mereka meninjau
                        Kehidupan bumi yang kecil amat

                        Aku bernyanyi dengan suara
                        Seperti bisikan angin di daun
                        Suaraku hilang dalam udara
                        Dalam laut yang beralun-alun

                        Alun membawa bidukku perlahan
                        Dalam kesunyian malam waktu
                        Tidak berpawang tidak berkawan
                        Entah ke mana aku tak tahu

            Walaupun pola sajak yang digunakan dalam ”Dibawa Gelombang” ialah a.b.a.b. sebagaimana lazim dalam pantun, namun sajak tersebut lebih mirip syair. Selain tidak tersirat adanya sampiran dan isi atau pembayang dan maksud pada setiap baitnya, seperti halnya syair pada umumnya sajak ”Dibawa Gelombang” berkecenderungan naratif, menceritakan  bukan sekedar melukiskan sesuatu. Ceritera yang disajikan adalah serupa dengan ceritera dalam syair-syair sufi berupa pengalaman atau perjalanan rohani penyair dan keadaan jiwa yang dialaminya dalam perjalanan mencapai unio-mystica (persatuan mistik) dengan jiwa alam semesta, yang tak lain adalah keluasan tak bertepi.
Hubungan sajak tersebut dengan syair-syair Hamzah Fansuri dapat dilihat pula pada motif penggunaan tamsil laut dan perahu. Di antara sajak Hamzah Fansuri yang dapat dirujuk ialah bait-bait dalam ikat-ikatan XVIII Ms. Jak. Mal. 83:

                        Jika hendak engkau menjeling sawang
                        Ingat-ingat akan ujung karang
                        Jabat kemudi jangan kaumamang
                        Supaya betul ke bandar datang

                        Anak mu`alim tahu akan jalan
                        Da’im (senantiasa) berlayar di laut nyaman
                        Markabmu (geladak kapal) tiada berpapan
                        Olehnya itu tiada berlawan

                        Indah-indahkan  Abu al-Qasim (Nabi Muhammad s.a.w.)
                        Di dalam markab da’im ia qa`im (mendirikan salat)
                        Lagi tukang (piawai) lagi ia mu`alim
                        Ke bandar tauhid markabnya salim (selamat)

            Bait syair Hamzah Fansuri lain yang menggunakan tamsil laut dan mengandung gagasan tentang fana’ atau persatuan mistik menurut pandangan sufi ialah bait dalam ikat-ikatan XXIII Ms. Jak. Mal. 83:

                        Di laut `ulya (maha tinggi) yogya berhanyut
                        Dengan hidup suwari (khayali) jangan berkabut
                        Katakan Ana al-Haqq jangan kautakut
                        Itulah ombak kembali ke laut

Laut `ulya yang dimaksud dalam sajak tersebut ialah lautan wujud atau kewujudan yang tinggi, yaitu alam ketuhanan (`alam lahut). Di sini hakekat atau asal-usul kerohanian diri manusia yang sebenarnya. Untuk mencapai hakekat tersebut manusia tidak boleh dikacaukan oleh kehidupan serba duniawi (hedonisme material) yang bersifat khayali, karena kesenangan yang didapatkan bersifat sementara dan cepat berlalu. Dalam dua bait berikutnya tergambar gagasan sufi tentang unio-mystica, yaitu persatuan kembali diri (secara batin) dengan hakekat atau asal-usul kejadiannya, yaitu sebagai sarana kreativitas Tuhan.

Kesinambungan Estetika Sufi
            Kesinambungan estetika sufi Melayu lebih ketara lagi dalam sajak-sajak Amir Hamzah. Bahkan melalui sajak-sajaknya seorang penafsir dapat menemukan rujukan tentang bangunan estetika sufistik modern. Sebagaimana telah sering dilukiskan dalam buku-buku sufi, estetika sufi berkaitan dengan ajaran ahli tasawuf tentang tatanan berperingkat wujud dari yang tertinggi sampai terendah, yaitu dari alam lahut (alam ketuhanan) yang bersifat tanzih (trasendental), lantas alam jabarut dan alam malakut(kerohanian) yang merupakan perantara alam atas dan alam bawah, hingga alam nasut(alam kemanusiaan, dunia jasmani) atau alam syahadah (alam inderawi). Namun apabila metafisika atau ontologi menekankan pada tatanan alam kewujudan  yang di atas, serta hakekat dan isyarat kehadirannya di alam yang lebih rendah; maka estetika menekankan pembicaraan pada tatanan alam zhahir yang lebih rendah sebagai ide-ide citraan atau bentuk-bentuk simbolik dari  alam kewujudan di atasnya yang bersifat batin dan tanzih.
            Dengan demikian estetika sufi sebenarnya merupakan sistem pengetahuan bagaimana menjadikan fenomena-fenomena alam kemanusiaan dan inderawi sebagai tangga naik menuju alam kewujudan yang lebih tinggi. Agar  bisa dijadikan sarana atau tangga naik, maka fenomena-fenomena kehidupan atau alam itu mestilah diubahsuai menjadi ide-ide citraan yang  simbolik. Dengan cara demikian maka ide-ide citraan itu akan  menjelma ungkapan estetik yang berperanan membawa kita pergi dari alam dunia ke alam rohani. Yang dikemukakan para penyair sufi sebenarnya ialah perjalanan batin mereka menuju alam hakekat. Karena perjalanan tersebut perjalanan naik dari alam bawah menuju alam atas, atau dari alam zahir menuju alam batin, maka ia sering sering diungkapkan sebagai perjalanan dari tempat yang rendah menuju tempat yang tinggi (puncak bukit  atau gunung) atau dinyatakan secara simbolik dalam ungkapan penyelaman ke dalam lautan maha dalam.
            Sebagaimana telah sering dilukiskan, di antara sajak-sajak Amir Hamzah yang ketara ciri sufistiknya ialah ”Berdiri Aku”.  Namun karena telah sering dibicarakan saya ingin menunjukkan sajaknya yang lain, yaitu ”Hanya Satu”. Dalam sajak ini perjalanan naik ke alam rohani digambarkan dengan naiknya Nabi Nuh a.s. ke dalam kapal yang dibuat atas perintah Tuhan untuk menyelamatkan kaum beriman, jadi kapal dilambangkan sebagai keimanan yang dapat menyelamatkan manusia di tengah bencana dan malapetaka.
Penyair juga menggunakan tamsil-tamsil dari al-Qur`an, yaitu kisah Nabi Ibrahim a.s. dengan dua putranya tercinta yang berbeda ibu, yaitu Nabi Ismail a.s. dan Nabi Ishaq a.s. yang masing-masing menurunkan Nabi Muhammad s.a.w.  dan Nabi Isa a.s.

                        Terapung naik jung bertudung
                        Tempat berteduh nuh kekasihmu
                        Bebas lepas lelang lapang
                        Di tengah gelisah, swara sentosa

                        Bersemayam sempana di jemala gembala
                        Juriat julita bapaku ibrahim
                        Keturunan intan dua cahaya
                        Pancaran putera berlainan bunda

                        Kini kami bertikai pangkai
                        Di antara dua, mana mutiara
                        Jauhari ahli lalai menilai
                        Lengah lengang melewat abad

                        Aduh kekasihku
                        Padaku semua tiada berguna
                        Hanya satu kutunggu hasrat
                        Merasa dikau dekat rapat
                        Serupa musa di puncak tursina

                                          (Nyanyi Sunyi 4-5)

Ungkapan berkenaan pertikaian  dua umat beragama  pengikut Nabi Isa a.s. dan Nabi Muhammad s.a.w., sebenarnya memiliki konteks sejarah yang jelas. Pada masa Amir Hamzah benih persengketaan Islam dan Kristen memang sudah mulai terasa, hal yang kembali diungkapkan oleh Umar Kayam dalam novelnya Para Priyayi yang  tempat ceritera berlangsung antara lain ialah Solo pada tahun 1930an tempat Amir Hamzah belajar pada waktu muda.
            Tiga abad sebelumnya Hamzah Fansuri menulis sajak menggunakan tamsil yang sama, khususnya mengenai pengalaman mistikal yang dijumpai Nabi Musa a.s. di puncak Bukit Sinai atau Tursina:

                        Kunhi-Nya itu bukannya diya’ (cahaya zahir)
                        Jangan kauantarkan di atas Tursina
                        Sungguhpun Musa di sana liqa’ (berjumpa dengan-Nya)
                        Bukan bukit itu tempatnya lena

                                                    (Ikat-ikatan XIII Ms. Jak. Mal. 83)

            Penyair menyatakan di situ bahwa walaupun Nabi Musa a.s. dapat berjumpa dengan-Nya di Tursina, yaitu dengan mendengar suara-Nya, namun perjumpaan sebenarnya dengan Tuhan terjadi dalam kalbu atau penglihatan rohaninya karena telah mencapai makrifat dan memperoleh kasyf (penyingkapan rohani). Bukit Sinai, walaupun dialami secara jasmani, tetap merupakan tamsil dan misal dari pencapaian rohaninya yang tinggi di jalan tauhid dan makrifat, atau semata-mata sarana bagi perjumpaannya. Dari kisah Nabi Musa a.s. ini penulis-penulis sufi mengambil tamsil puncak bukit atau gunung sebagai maqam tertinggi dalam tasawuf, yaitu qurb atau kedekatan diri seseorang secara batin dengan Tuhannya.
            Bahwa Amir Hamzah sangat dekat dengan tradisi sastra sufi Melayu, dan juga Jawa, dapat dilihat pada sajaknya ”Sebab Dikau” yang menggunakan tamsil wayang. Pada abad ke-16 M di Jawa Sunan Bonang telah menggunakan tamsil wayang secara intensif dalamSuluk Wujil, begitu pula pada abad ke-17 M seorang murid Hamzah Fansuri bernama Abdul Jamal dalam syair tasawufnya. Dalam syairnya itu Abdul Jamal menulis:

                        Wahdat itulah bernama bayang-bayang
                        Di sana nyata wayang dan dalang
                        Muhitnya lengkap pada sekalian padang
                        Musyahadah di sana jangan kepalang

                                                (Doorenbos 1933:71)

            Bandingkan sajak tersebut dengan puisi Amir Hamzah ”Sebab Dikau” berikut ini:

                        Maka merupa di datar layar
                        Wayang warna menayang rasa
                        Kalbu rindu turut menurut
                        Dua sukma esa – mesra –

                        Aku boneka engkau boneka
                        Penghibur dalang mengatur tembang
                        Di layar kembang bertukar pandang
                        Hanya selagu, sepajang dendang

                        Golek gemilang ditukarnya pula
                        Aku engkau di kotak terletak
                        Aku boneka engkau boneka
                        Penyenang dalang mengarang sajak

                                                (Nyanyi Sunyi 14)

            Teeuw (1979:99) hanya mengatakan bahwa sajak itu mengungkapkan hubungan manusia dengan Tuhan, dan A. H. Johns (1964) hanya mengatakan bahwa pengaruh kebudayaan Jawa sangat jelas dalam sajak tersebut. Namun dengan membandingkan sajak tersebut dengan syair Abdul Jamal, menjadi lebih jelas lagi hubungan Amir Hamzah dengan tradisi sastra sufi Melayu dan bukan hanya dengan tradisi sastra Jawa. Bahkan juga dengan tradisi sastra sufi Arab dan Persia yang tidak jarang menggunaan ide-ide citraan wayang dalam sajak-sajak mereka sebagaimana nampak dalam karya Umar Khayyam, Ibn Farid, Fariduddin `Attar dan Jalaluddin Rumi.
            Dalam salah satu ruba’inya misalnya Umar Khayyam menulis seperti berikut:

                        Kita adalah wayang dan langit dalangnya
                        Ini bukan kiasan tetapi kenyataan
                        Sesaat kita diberi peran di layar ini
                        Lalu kembali ke kotak satu persatu dan dilupakan

                                                (Abdul Hadi W. M. 1999:150)


Pendakian dan Transformasi Diri
            Telah dikemukakan bahwa salah satu tema penting sastra sufi ialah pengenalan diri, yaitu ruhaniah atau diri hakiki,  di jalan cinta ilahi (`isyq). Karena pencarian tersebut bersifat vertikal, ia sering digambarkan dengan perjalanan mendaki dan penerbangan ke puncak gunung atau bukit, seperti penerbangan burung-burung dalam Mantiq al-Thayr karya Fariduddin al-`Attar. Di situ burung-burung, yang merupakan tamsil kalbu atau jiwa manusia yang merindukan Yang Haqq, melakukan penerbangan ke puncak bukit Qaf – tempat Simurgh, raja diraja burung bersemayam, yang merupakan lambang hakekat ketuhanan dan sekaligus lambang hakekat diri manusia.  Pendakian ke atas gunung atau bukit juga menemukan perumpamaan dalam kisah nabi-nabi. Misalnya Nabi Nuh a.s. setelah melakukan pelayaran panjang tak tahu tujuan dengan bahteranya, pada akhirnya tiba dengan selamat di atas bukit Ararat;  Nabi Musa a.s.  mendengar seruan Tuhan di puncak Tursina.
            Tidak jarang perjalanan naik perjalanan naik atau penerbangan ke puncak bukit dipadankan dengan gejala-gejala alam pada saatnya terjadinya perubahan, misalnya perubahan waktu dari siang ke malam hari. Di sini angin, hujan, perubahan cuaca dan udara dan munculnya bintang-bintang, berperan sebagai sarana untuk melukiskan keadaan jiwa atau rohani penulis dalam menempuh perjalanan kerohanian.
Di sini dapat diambil contoh sajak Amir Hamzah ”Berdiri Aku”. Dalam sajak itu pencapaian rohani dan keadaan jiwa dalam perjalanannya menuju alam transenden digambarkan melalui citraan ide ((idea image) seperti camar yang melayang ”menepis buih” (mungkin maksudnya melepaskan diri dari yang zahir atau yang formal), pohon bakau yang ”mengurai puncak”, ”ubur terkembang” (setelah berjulang datang); angin yang ”memuncak sunyi” dan seterusnya.  Inilah keadaan leka, hapus atau fana’ dalam lukisan puisi, suatu tahapan yang dalam tasawuf sering dikatakan terjadi setelah tahapan kemabukan mistikal dan ketakjuban pada keindahan ilahi. Maka selain keindahan (jamal) atau keelokan, gagasan tentang ketakjuban (haybah, ajib) merupakan hal penting dalam estetika sufi. Hanya melalui tahapan-tahapan kerohanian (maqam) semacam itu dapat mengenal dirinya atau tempat dirinya dalam dunia ciptaan, dan hanya setelah melalui tahapan-tahapan tersebut seseorang dapat melakukan transformasi diri.
            Demikianlah, seperti elang yang  leka  setelah dimabuk warna berarak-arak (yakni mabuk dalam rasa takjub menyaksikan keindahan Yang Maha Indah), seseorang mengalami transformasi diri. Oleh Amir Hamzah  dilukiskan sebagai  jiwa yang dirasuk kerinduan mendalam:


                        Dalam rupa maha sempurna
                        Rindu sendu mengharu kalbu
                        Ingin datang merasa sentosa
                        Mencecap hidup bertentu tuju

Dalam  ‘Syair Burung Pingai ‘ (Ikat-ikatan XIV Ms. Jak. Mal. 83)  Hamzah Fansuri melukiskan bentuk transformasi diri yang dicapai oleh seorang yang menempuh  jalan kerohanian, sebagai berikut:


                        Sufinya bukannya kain
                        Fi al-Makkah da’im bermain
                        `Ilmunya zahir dan batin
                        Menyembah Allah terlalu rajin

                        ...

                        Suluhnya terlalu terang
                        Harinya tiada berpetang
                        Jalannya terlalu henang
                        Barang mendapat dia terlalu menang

            Pada akhir buku Mantiq al-Tayr (Musyawarah Burung) Fariduddin al-`Attar menggambarkan lebih kurang keadaan burung-burung yang telah mencapai tujuan perjalanannya menjumpai Smurgh, sebagai berikut:

Melalui kesukaran dan kehinaan jiwa burung-burung itu menyusut
Ke dalam kefanaan, sedangkan tubuh mereka menjadi debu.
Setelah dimurnikan mereka menerima hidup bari dari Cahaya Hadirat-Nya.
Laku dan diam mereka di masa lalu enyah dan lenyap dari lubuk
dada mereka.
Matahari Kehampiran bersinar terang dari diri mereka, jiwa mereka
diterangi oleh cahayanya.
Dalam pantulan wajah tigapuluh burung (si-murgh) dunia, mereka
lantas menyaksikan wajah Simurgh
Jika mereka memandang, itulah Simurgh: Tak diragukan Simurgh
adalah tiga puluh (si-murgh) burung
Semua bingung penuh takjub, tak tahu siapa diri mereka sebenarnya
Mereka memandang diri mereka tak lain adalah Simurgh.

            Citraan ide bercorak sufistik yang menggambarkan pendakian rohani ke puncak hakekat diri juga tampak dalam beberapa sajak Sutardji Calzoum Bachri. Misalnya dalam sajak ”Para Peminum”:

                        di puncak gunung mabuk
                        mereka berhasil memetik bulan
                        mereka menyimpan bulan
                        dan bulan menyimpan mereka
                        di puncak
                        semuanya diam dan tersimpan

                                                (Kapak 14)

            Nada sufistik juga ketara dalam sajaknya yang lain ”Silakan Judul” (Kapak 17):

                        di atas anggur
                        di bawah anggur
                        gugur waktu
                        rindu rindu

                        di atas langit
                        di bawah langit
                        janji puncak
                        tak menunggu

                        di atas bibir
                        di bawah bibir
                        kamus tak sanggup
                        mengucapku

            Hakekat diri manusia, menurut penyair, tidak dapat difahami hanya dengan bersandar pada ilmu-ilmu formal, juga tidak hanya melalui jalan rasional yang diumpamakan sebagai ”kamus”. Namun sajak Sutardji Calzoum Bachri yang paling menarik dalam kaitan ini ialah sajak ”Sampai”.

                        Rumi menari bersama Dia
                                    tapi kini di mana Rumi
                        Hamzah jumpa Dia di rumah
                                    tapi kini di mana Fansuri
                        Tardji menggapai Dia di puncak
                                    tapi kini di mana Tardji

                        kami tak di mana mana
                        kami mengatas meninggi
                        kami dekat

                        Kalau kalian mabuk Tuhan
                                    kami mabuk sama kalian
                        kalau kalian rindu Dia
                                    rindu kalian bersama kami
                        kalau kembali ke rumah Diri
                                    kalian kembali ke rumah kami
                        sampai kalian ke puncak nurani
                                    kalian pun sampai sebatas kami

            Dalam prosa gagasan sastra sufistik tampak dalam cerpen-cerpen Danarto (dalam antologi seperti Godlob, Adam Makrifat, Berhala, Gergazi dan Setangkai Melati di Sayap Jibril) dan M. Fudoli Zaini (dalam antologi Arafah, Batu Setan dan Potret Manusia), serta dalam novel Kuntowijoyo (Khotbah di Atas Bukit) dan Danarto (Asmaraloka). Namun karena keterbatasan ruang dan waktu, di sini hanya akan dikemukakan estetika sufistik yang diterapkan Kuntowijoyo dalam novel Khotbah di Atas Bukit. Perjalanan mencari hakekat hidup dalam novel ini digambarkan dengan perjalanan tokoh protagonis Barman ke tempat peristirahatan di lereng bukit, dan perjumpaan dengan tokoh antagonis Humam, yang tak lain adalah kembaran dirinya.
            Pada mulanya Barman berniat menghabiskan masa tuanya dengan beristirahat di sebuah vila di lereng gunung. Dia pergi ditemani seorang wanita muda cantik, Poppy. Namun suatu  peristiwa terjadi secara tak disangka-sangka dan merubah jalan hidupnya. Ketika dia berjalan-jalan di gunung, membersihkan badan di sungai yang jernih, tiba-tiba dia berjumpa seorang lelaki bernama Humam. Humam, yang tidak lain adalah kembaran dirinya, muncul sebagai seorang guru kerohanian yang wejangan-wejangannya tentang hidup sangat menarik perhatian Barman. Barman yang semula hidup dalam gelimang hedonisme material, kini tenggelam dalam spiritualitas. Ini membuat Poppy putus asa dan akhirnya mereka berpisah. Barman sendiri pada akhirnya jatuh ke dalam jurang bersama kuda putih yang ditungganginya.
            Pemakaian simbol-simbol sufistik seperti pendakian ke gunung untuk menggambarkan perjalanan rohani mencari hakekat diri;  penyucian diri di sungai yang airnya jernih sambil merenung dan menghanyutkan diri dalam keheningan air sungai;  perjumpaan dengan Humam yang tak lain adalah alter-ego nya, atau sisi kerohanian dari kehidupan pribadinya; serta kematiannya setelah kuda putih yang ditungganginya jatuh ke dalam jurang dan lain-lain – semua itu menunjukkan estetika sufi dapat ditransformasikan menjadi berbagai bentuk pengucapan modern.
            Pertemuan dua tokoh kembar Barman dan Humam di hutan dekat sungai di lereng gunung, dapat dirujuk pada kisah perjumpaan Iskandar Zulkarnaen dan Khaidir dalamHikayat Iskandar Zulkarnaen; juga dengan pertemuan Bima dengan Dewa Ruci dalam alegori mistikal Jawa terkenal Serat Dewa Ruci. Bedanya dalam Hikayat Iskandar Zukarnaen dan Serat Dewa Ruci perjalanan mencari hakekat diri dan makrifat (dilambangkan dengan air hayat atau ma`al-hayat) digambarkan melalui perjalanan ke dalam lautan wujud. Di dalam lautan wujud dirinya itulah Bima berjumpa Dewa Ruci, makhluk kerdil yang menyerupai dirinya. Walaupun secara jasmani Dewa Ruci kelihatan kecil, namun Bima yang bertubuh besar dapat masuk ke dalam diri Dewa Ruci melalui telinganya. Ini melambangkan luluhnya diri jasmani dalam diri rohani. Pengalaman serupa dialami Barman setelah berjumpa Humam.
Perahu Jawa Abad ke-18 M


Bahan Bacaan

A.E. I. Falconar (1991). Sufi Literature and the Journey to Immortality. Delhi: Motilal Banardssidass Publishers PVT. LTD.

 Abdul Hadi W. M. (1999) Kembali ke Akar Kembali ke Sumber. Jakarta: Pustaka
Firdaus.

 ---------------------(1996) Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik terhadap

Karya karya Hamzah Fansuri. Disertasi Ph. D. Universiti Sains Malaysia, P. Pinang,Malaysia.

Amir Hamzah (1969). Buah Rindu. Jakarta: PT. Dian Rakyat.

 -----------------  (1978). Nyanyi Sunyi. Jakarta: PT. Dian Rakyat

 V. I. Braginsky (1993), Tasawuf dan Sastera Melayu: Kajian dan Teks teks. Jakarta:Rijkuniversiteit Leiden.

-----------------   (1998). Yang Indah, Berfaedah dan Kamal.: Sejarah Sastra Melayu Dalam Abad 7-19. Jakarta: INIS.

 E. G. A. Browne (1928-30). A Literary History of Persia. Vol. II. Cambridge:
 Cambridge University Press.

Johann Doorenbos (1933). De Geschriften vam Hamzah Pansoeri. Leiden: NV VH Batteljes & Terpstra.

 Kuntowijoyo (1976). Khotbah Di Atas Bukit. Jakarta: Pustaka Jaya.

 Th.  G. Pigeaud (1967-80). Literature of Java, Catalogue Raisonne of Javanese

Manuscripts in the Library of the University of Leiden and Other Public

Collections in the Netherlands. 4 vols.  The Hague: Martinus Nijhoff.

Purbatjaraka, R. M. Ng.  (19931). “De geheime leer van Soenan Bonang
(Soeloek Woedjil)”. Jawa 18:  145-81.

Md. Salleh Yaapar (1993). Mysticism and Poetry: A Hermeneutical Readings of
the Poems of Amir Hamzah. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Sanusi Pane (1932). Madah Kelana. Jakarta: Balai Pustaka.

Sutardji Calzoum Bachri (1979). O, Amuk, Kapak. Jakarta: Sinar Harapan.

 Annemarie Schimmel (1981). Mystical Dimensions of Islam. Chapel Hill: The
University of North Carolina Press.

A.Teeuw (1979). Modern Indonesian Literature. 2 vols. Leiden: Martinus Nijhoff.

 ----------  (1994). Indonesia: Antara Kelisanan dan Keberaksaraan. Jakarta: Pustaka Jaya.

Javad Nurbakhs (1984). Sufi Symbolism. Vol. 1. London:  Khaniqah-I Nikmatullah
Publications.


Sabtu, 18 Januari 2014

SUNAN BONANG DAN AJARAN TASAWUFNYA

SUNAN BONANG
DAN AJARAN TASAWUFNYA

Oleh:Muamar Anis

Di antara teks-teks Islam tarawal dalam sejarah sastra Jawa terdapat untaian puisi-puisi mistikal (suluk) karya Sunan Bonang, seorang wali sufi terkemuka di pulau Jawa yang tinggal di Tuban, Jawa Timur. Selain sejumlah suluk, Sunan Bonang juga meninggalkan karya penting yaitu risalah tasawuf yang oleh Drewes diberi judul Admonitions of She Bari.Sunan Bonang  lahir pada pertengahan abad ke-15 M dan wafat pada awal abad ke-16, sekitar tahun 1526 atau 1530 M (De Graff 1985:55). Dia adalah ulama yang mumpuni pada zamannya, juga seorang ahli falak,  musikus dan tentu saja sastrawan. Karua-karyanya memperlihatkan bahwa dia menguasai bahasa dan sastra Arab di samping Persia, Jawa Kuna dan Melayu.
            Namanya semula ialah Makhdum Ibrahim. Dalam suluk-suluknya dia memakai beberapa nama julukan seperti  Ibrahim Asmara, Ratu Wahdat, Sultan Khalifah dan lain-lain (Hussein Djajadiningrat 1913; Purbatjaraka 1938; Drewes 1969). Nama Bonang diambil dari nama desa tempat dia  mendirikan pesujudan dan pesantren, yaitu Bonang. Desa itu tidak jauh dari kota Rembang dan Lasem di perbatasan antara propinsi Jawa Tengah dan  Jawa Timur sekarang ini.
            Sejak muda Makhdum Ibrahim adalah seorang pelajar yang tekun dan muballigh yang handal. Setelah mempelajari bahasa Arab dan Melayu, serta berbagai cabang ilmu agama yang penting seperti fiqih, usuluddin, tafsir Qur’an, hadis dan tasawuf; bersama saudaranya Sunan Giri dia pergi ke Mekkah dengan singgah terlebih dahulu di Malaka, kemudian ke Pasai. Sulalatus Salatin (Sejarah Melayu) mencatat  kunjungan Sunan Bonang dan Sunan Giri ke Malaka sebelum melanjutkan perjalanan ke Pasai. Sepulang dari Mekkah, dia  ditugaskan oleh ayahnya ntuk memimpin masjid Singkal, Daha di Kediri (Kalamwadi 1990:26-30). .
            Pada tahun 1498 M Sultan Demak Raden Patah mempercayakan kepada Sunan Bonang  untuk menjadi imam Mesjid Agung Demak. Dalam tugasnya itu dia dibantu oleh Sunan Kalijaga, Ki Ageng Selo dan wali yang lain. Di bawah pimpinannya masjid Demak segera berkembang menjadi pusat keagamaan dan kebudayaan terkemuka di pulau Jawa. Tetapi beberapa tahun kemudian, dia berselisih pandangan dengan Sultan Demak dan memutuskan untuk mngundurkan diri dari jabatannya  sebagai imam masjid agung. Dari Demak Sunan Bonang pindah ke Lasem, dan memilih desa Bonang sebagai tempat kegiatannya yang baru. Di sini dia mendidirikan pesujudan dan pesantren. Beberapa karya Sunan Bonang, khususnya Suluk Wujil, mengambil latar kisah di pesujudannya ini di mana dia memberikan ajaran rahasia agama kepada muridnya, seorang bekas abdi dalem Majapahit yang terpelajar bergelar Wujil (Abdul Hadi W. M. 2000:96-107).

Suluk-suluk Sunan Bonang
           Sunan Bonang adalah penulis prolifik. Karangan-karangannya dapat digolongkan ke dalam dua kelompok: (1) Untaian puisi mistikal yang lazim disebut suluk dalam sastra Jawa. Dalam suluk-suluknya dia mengungkapkan pengalaman keruhaniannya mengikuti jalan sufi. Dalam suluknya pula dia menyampaikan pokok-pokok ajaran tasawuf melalui ungkapan-ungkapan simbolik sastra. Di antara suluk-suluknya ialah Suluk Wujil, Suluk Khalifah, Suluk Kaderesan, Suluk Regol, Suluk Bentur, Suluk Wasiyat, Suluk Pipiringan, Gita Suluk Latri, Gita Suluk Linglung,  Gita Suluk ing Aewuh, Gita Suluk Jebang, Suluk Wregol dan lain-lain. (2) Karangan prosa seperti Pitutur Sunan Bonang yang ditulis dalam bentuk dialog antara seorang guru sufi dan muridnya yang tekun. Bentuk semacam ini banyak dijumpai sastra Arab dan Persia.
            Drewes (1968, 1978) telah mencatat sejumlah naskah yang memuat suluk-suluk Sunan Bonang. Khususnya yang terdapat di Museum Perpustakaan Universitas Leiden, dan memberi catatan ringkas tentang isi suluk-suluk tersebut. Penggunaan tamsil pencinta dan Kekasih misalnya terdapat dalam Gita Suluk Latri yang ditulis dalam bentuk tembang wirangrong. Suluk ini menggambarkan seorang pencinta yang gelisah menunggu kedatangan Kekasihnya. Semakin larut malam kerinduan dan kegelisahannya semakin mengusiknya, dan semakin larut malam pula berahinya (`isyq) semakin berkobar. Ketika Kekasihnya datang dia lantas lupa segala sesuatu, kecuali keindahan wajah Kekasihnya. Demikianlah sestelah itu sang pencinta akhirnya hanyut dibawa ombak dalam lautan ketakterhinggaan wujud.
           Dalam Suluk Khalifah Sunan Bonang menceritakan kisah-kisah kerohanian para wali dan pengalaman mereka mengajarkan kepada orang yang ingin memeluk agama Islam. Suluk ini cukup panjang. Sunan Bonang juga menceritakan pengalamannya selama beradadi Pasai bersama guru-gurunya serta perjalanannya menunaikan ibadah haji ke Mekkah.

Suluk Gentur dan Gita Suluk Wali
           Dari suluk-suluknya itu yang sangat penting antara lain ialah Suluk Gentur atauSuluk Bentur. Suluk ini ditulis di dalam tembang wirangrong dan cukup panjang.  Gentur atau bentur berarti lengkap atau sempurna. Di dalamnya digambarkan jalan yang harus ditempuh seorang sufi untuk mencapai kesadaran tertiggi. Dalam perjalanannya itu ia akan berhadapan dengan maut dan dia akan diikuti oleh sang maut kemana pun ke mana pun ia melangkah. Ujian terbesar seorang penempuh jalan tasawuf atau suluk ialah syahadat da`im qa`im .Syahadat ini berupa kesaksian  tanpa bicara sepatah kata pun dalam waktu yang lama, sambil mengamati gerik-gerik jasmaninya dalam menyampaikan isyarat kebenaran dan keunikan Tuhan. Garam jatuh ke dalam lautan dan lenyap, tetapi tidak dpat dikatakan menjadi laut. Pun tidak hilang ke dalam kekosongan (suwung). Demikian pula apabila manusia mencapai keadaan fana’ tidak lantas  tercerap dalam Wujud Mutlak. Yang lenyap ialah kesadaran akan keberadaan atau kewujudan jasmaninya.
          Dalam suluknya ini Sunan Bonang juga mengatakan bahwa pencapaian tertinggi seseorang ialah fana’ ruh idafi, iaitu ‘keadaan dapat melihat peralihan atau pertukaran segala bentuk lahir dan gejala lahir, yang di dalamnya kesadaran intuititf atau makrifat menyempurnakan penghlihatannya tentang Allah sebagai Yang Kekal dan Yang Tunggal’. Pendek kata dalam fana’ ruh idafi seseorang sepenuhnya menyaksikan kebenaran hakiki ayat al-qur`an 28:88 : “Segala hal binasa kecuali Wajah-Nya”. Ini digambarkan melalui peumpamaan asyrafi (emas bentukan yang mencair dan hilang kemuliannya, sedangkan substansinya sebagai emas tidak lenyap. Syahadat dacim qacim adalah kurnia yang dilimpahkan Tuhan kepada seseorang sehingga ia menyadari dan menyaksikan dirinya bersatu dengan kehendak Tuhan (sapakarya). Menurut Sunan Bonang, ada tiga macam syahadat:

1.Mutawilah (muta`awillah di dalam bahasa Arab)
2.Mutawassitah (Mutawassita)
3.Mutakhirah (muta`akhira)

           Yang pertama syahadat (penyaksian) sebelum manusia dilahirkan ke dunia iaitu dariHari Mitsaq (Hari Perjanjian) sebagaimana dikemukakan di dalam ayat al-Qur`an 7: 172, “Bukankah Aku ini Tuhanmu? Ya, aku menyaksikan” (Alastu bi rabbikum? Qawl bala syahidna). Yang ke dua ialah syahadat ketika seseorang menyatakan diri memeluk agama Islam dengan mengucap “Tiada Tuhan selain allah dan Nabi Muhammad adalah utusan-Nya”. Yang ketiga adalah syahadat yang diucapkan para Nabi, Wali dan Orang Mukmin sejati. Bilamana tiga syahadat ini dipadukan menjadi satu maka dapat dimpamakan seperti kesatuan transenden antara tidakan menulis, tulisan dan lembaran kertas yang mengandung tulisan itu. Juga dapat diumpamakan sperti gelas, isinya dan gelas yang isinya penuh. Bilamana gelas bening, isinya akan tampak bening sedang gelasnya tidak kelihatan. Begitu pula hati seorang mukmin yang merupakan tempat kediaman Tuhan, akan memperlihatkan kehadiran-Nya bilamana hati itu bersih, tulus dan jujur.
           Dikatakan juga dalam suluknya itu bahwa dalam hati yang bersih, dualitas lenyap. Yang kelihatan ialah  tindakan cahaya-Nya yang melihat. Artinya dalam melakukan perbuatan apa saja seorang mukmin senantiasa sadar bahwa dia selalu diawasi oleh Tuhan, yang menyebabkannya tidak lalai menjalankan perintah agama. Perumpamman ini dapat dirujuk kepada perumpamaan seupa di dalam Futuh al-Makkiyah karya Ibn `Arabi dan Lama`at karya `Iraqi.
          Karya Sunan Bonang juga unik ialah Gita Suluk Wali,  untaian puisi-puisi lirik yang memikat. Dipaparkan bahwa hati seorang yang ditawan oleh rasa cinta itu seperti laut pasang menghanyutkan atau seperti api yang membakar sesuatu sampai hangus. Untaian puisi-puisi ini diakhiri dengna pepatah sufi “Qalb al-mucmin bait Allah” (Hati seorang mukmin adalah tempat kediaman Tuhan).
          Satu-satunya karangan prosa Sunan Bonang yang dapat diidentifikasi sampai sekarang ialah Pitutur Seh Bari. Salah satu naskah yang memuat teks karangan prosa Sunan Bonang ini ialah MS Leiden Cod. Or. 1928. Naskah teks ini telah ditransliterasi ke dalam tulisan Latin, serta diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh Schrieke dalam disertasi doktornya Het Boek van Bonang (1911). Hoesein Djajadiningrat juga pernah meneliti dan mengulasnya dalam tulisannya ”Critische Beschouwing van de Sedjarah Banten” (1913). Terakhir naskah teks ini ditransliterasi dan disunting oleh Drewes, dalam bukunya The Admonotions of Seh Bari (1969), disertai ulasan dan terjemahannya dalam bahasa Inggris.

Suluk Wujil
            Di antara suluk karya Sunan Bonang yang paling dikenal dan relevan untuk dikemukakan ialah Suluk Wujil. Dari segi bahasa dan puitika yang digunakan, serta konteks sejarahnya dengan perkembangan awal sastra Pesisir, SW benar-benar mencerminkan zaman peralihan Hindu ke Islam (abad ke-15 dan 16 M) yang sangat penting dalam sejarah Jawa Timur. Teks SW dijumpai antara lain dalam MS Bataviasche Genotschaft 54 (setelah RI merdeka disimpan di Museum Nasional, kini di Perpustakaan Nasional Jakarta) dan transliterasinya ke dalam huruf Latin dilakukan oleh Poerbatjaraka dalam tulisannya ”De Geheime Leer van Soenan Bonang (Soeloek Woedjil)” (majalah Djawa vol. XVIII, 1938). Terjemahannya dalam bahasa Indonesia pernah dilakukan oleh Suyadi Pratomo (1985), tetapi karena tidak memuaskan, maka untuk kajian ini kami berusaha menerjemahkan sendiri teks hasil transliterasi Poerbatjaraka.
            Sebagai karya zaman peralihan Hindu ke Islam, pentingnya karya Sunan Bonang ini tampak dalam hal-hal seperti berikut: Pertama, dalam SW tergambar suasana kehidupan badaya, intelektual dan keagamaan di Jawa pada akhir abad ke-15, yang sedang beralih kepercayaan dari agama Hindu ke agama Islam. Di arena politik peralihan itu ditandai denga runtuhnya Majapahit, kerajaan besar Hindu terakhir di Jawa, dan bangunnya kerajaan Demak, kerajaan Islam pertama. Demak didirikan oleh Raden Patah, putera raja Majapahit Prabu Kertabumi atau Brawijaya V daripada perkawinannya dengan seorang puteri Cina yang telah memeluk Islam. Dengan runtuhnya Majapahit terjadilah perpindahan kegiatan budaya dan intelektual dari sebuah kerajaan Hindu ke sebuah kerajaan Islam dan demikian pula tata nilai kehidupan masyarakat pun berubah.
             Sunan Bonang sebagai seorang penulis Muslim awal dalam sastra Jawa, menunjukkan sikap yang sangat berbeda dengan para penulis Muslim awal di Sumatra. Yang terakhir sudah sejak awal huruf Jawi, yaitu huruf Arab yang disesuaikan dengan system fonem Melayu. Sedangkan Sunan Bonang dan para penulis Muslim Jawa yang awal tetap menggunakan huruf Jawa telah mapan dan dikenal masyarakat terpelajar. Sunan Bonang juga menggunakan tamsil-tamsil yang tidak asing bagi masyarakat Jawa, misalnya wayang. Selain itu bentuk tembang Jawa Kuno, yaitu aswalalita juga masih digunakan. Dengan demikian kehadiran karyanya tidak dirasakan sebagai sesuatu yang asing bagi pembaca sastra Jawa, malahan dipandangnya sebagai suatu kesinambungan. PpentingnyaSuluk Wujil karena renungan-renungannya tentang masalah hakiki di sekitar wujud dan rahasia terdalam ajaran agama, memuaskan dahaga kaum terpelajar Jawa yang pada umumnya menyukai mistisisme atau metafisika, dan seluk beluk ajaran keruhanian. SW dimulai dengan pertanyaan metafisik yang esensial dan menggoda sepanjang zaman, di Timur maupun Barat:

Inilah ceritera si Wujil
Berkata pada guru yang diabdinya
Ratu Wahdat
Ratu Wahdat nama gurunya
Bersujud ia ditelapak kaki Syekh Agung
Yang tinggal di desa Bonang
Ia  minta maaf
Ingin tahu hakikat
Dan seluk beluk ajaran agama
Ssampai rahsia terdalam

                        2
Sepuluh tahun lamanya
Sudah Wujil
Berguru kepada Sang Wali
Namun belum mendapat ajaran utama
Ia berasal dari Majapahit
Bekerja sebagai abdi raja
Sastra Arab telah ia pelajari
Ia menyembah di depan gurunya
Kemudian berkata
Seraya menghormat
Minta maaf

                                    3
“Dengan tulus saya mohon
Di telapak kaki tuan Guru
Mati hidup hamba serahkan
Sastra Arab telah tuan ajarkan
Dan saya telah menguasainya
Namun tetap saja saya bingung
Mengembara kesana-kemari
Tak berketentuan.
Dulu hamba berlakon sebagai pelawak
Bosan sudah saya
Menjadi bahan tertawaan orang

                        4
Ya Syekh al-Mukaram!
Uraian kesatuan huruf
Dulu dan sekarang
Yang saya pelajari tidak berbeda
Tidak beranjak dari tatanan lahir
Tetap saja tentang bentuk luarnya
Saya meninggalkan Majapahit
Meninggalkan semua yang dicintai
Namun  tak menemukan sesuatu apa
Sebagai penawar

                        5
Diam-diam saya pergi malam-malam
Mencari rahsia Yang Satu dan jalan sempurna
Semua pendeta dan ulama hamba temui        
Agar terjumpa hakikat hidup
Akhir kuasa sejati
Ujung utara selatan
Tempat matahari dan bulan terbenam
Akhir mata tertutup dan hakikat maut
Akhir ada dan tiada

            Pertanyaan-pertanyaan Wujil kepada gurunya merupakan pertanyaan universal dan eksistensial, serta menukik hingga masalah paling inti, yang tidak bisa dijawab oleh ilmu-ilmu lahir. Terbenamnya matahari dan bulan, akhir utara dan selatan, berkaitan dengan kiblar dan gejala kehidupan yang senantiasa berubah. Jawabannya menghasilkan ilmu praktis dan teoritis seperti fisika, kosmologi, kosmogeni, ilmu pelayaran, geografi dan astronomi.
.           Tamsil paling menonjol yang dekat dengan budaya lokal ialah wayang dan lakon perang Bala Kurawa dan Pandawa yang sering dipertunjukkan dalam pagelaran wayang.. Penyair-penyair sufi Arab dan Persia seperti  Fariduddin `Attar dan Ibn Fariedh menggunakan tamsil wayang untuk menggambarkan persatuan mistis yang dicapai seorang ahli makrifat dengan Tuhannya. Pada abad ke-11 dan 12 M di Persia pertunjukan wayang Cina memang sangat populer (Abdul Hadi W.M. 1999). Makna simbolik wayang dan layar tempat wayang dipertunjukkan, berkaitan pula dengan bayang-bayang dan cermin. Dengan menggunakan tamsil wayang dalam suluknya Sunan Bonang seakan-akan ingin mengatakan kepada pembacanya bahwa apa yang dilakukan melalui karyanya merupakan kelanjutan dari tradisi sastra sebelumnya, meskipun terdapat pembaharuan di dalamnya.
Ketika ditanya oleh Sunan Kalijaga mengenai falsafah yang dikandung pertunjukan wayang dan hubungannya dengan ajaran tasawuf, Sunang Bonang menunjukkan kisah Baratayudha (Perang Barata), perang besar antara Kurawa dan Pandawa. Di dalam pertunjukkan wayang kulit Kurawa diletakkan di sebelah kiri, mewakili golongan kiri. Sedangkan  Pandawa di sebelah kanan layar mewakili golongan kanan layar mewakili golongan kanan. Kurawa mewakili nafi dan Pandawa mewakili isbat. Perang Nafi Isbat juga berlangsung  dalam jiwa manusia dan disebut jihad besar. Jihad besar dilakukan untuk mencapai pencerahan dan pembebasan dari kungkungan dunia material.

            Sunan Bonang berkata kepada Wujil: “Ketahuilah Wujil, bahwa pemahaman yang sempruna dapat dikiaskan dengan makna hakiki pertunjukan Wayang. Manusia sempurna menggunakan ini untuk memahami dan mengenal Yang. Dalang dan wayang ditempatkan sebagai lambang dari tajalli (pengejawantahan ilmu) Yang Maha Agung di alam kepelbagaian. Inilah maknanya: Layar atau kelir merupakan alam inderawi. Wayang di sebelah kanan dan kiri merupakan makhluq ilahi. Batang pokok pisang tempat wayang diletakkan ialah tanah tempat berpijak. Blencong atau lampu minyak adalah nyala hidup. Gamelan  memberi irama dan keselarasan bagi segala kejadian. Ciptaan Tuhan tumbuh tak tehitung. Bagi mereka yang tidak mendapat tuntunan ilahi ciptaan yang banyak itu akan merupakan tabir yang menghalangi penglihatannya. Mereka akan berhenti pada wujud zahir. Pandangannya kabur dan  kacau. Dia hilang di dalam ketiadaan, karena tidak melihat hakekat di sebalik ciptaan itu.”