PENGERTIAN FILSAFAT ISLAM
Dalam
buku Mulyadhi Kartanegara yang berjudul Gerbang Kearifan, beliau
mendiskusikan beberapa pandangan sarjana tentang istilah filsafat Islam. Ada
yang megatakan bahwa Islam tidak pernah dan bisa memiliki filsafat yang
independen. Adapun filsafat yang dikembangkan oleh para filosof Muslim adalah
pada dasarnya filsafat Yunani, bukan filsafat Islam. Ada lagi yang mengatakan
bahwa nama yang tepat untuk itu adalah filsafat Muslim, karena yang terjadi
adalah filsafat Yunani yang kemudian dipelajari dan dikembangkan oleh para
filosof Muslim.
Ada
lagi yang mengatakan bahwa nama yang lebih tepat adalah filsafat Arab, dengan
alasan bahwa bahasa yang digunakan dalam karya-karya filosofis mereka adalah
bahasa Arab, sekalipun para penulisnya banyak berasal dari Persia, dan namanama
lainnya seperti filsafat dalam dunia Islam.Adapun beliau sendiri cenderung pada
sebutan filsafat Islam (Islamic philosophy), dengan setidaknya 3 alasan :
1) Ketika filsafat Yunani
diperkenalkan ke dunia Islam, Islam telah mengembangkan sistem teologi yang
menekankan keesaan Tuhan dan syari’ah, yang menjadi pedoman bagi siapapun.
Begitu dominannya Pandangan tauhid dan syari’ah ini,sehingga tidak ada suatu
sistem apapun, termasuk filsafat, dapat diterima kecuali sesuai dengan ajaran
pokok Islam tersebut (tawhid) dan pandangan syari’ah yang bersandar pada ajaran
tauhid. Oleh karena itu ketika memperkenalkan filsafat Yunani ke dunia Islam,
para filosof Muslim selalu memperhatikan kecocokannya dengan pandangan
fundamental Islam tersebut, sehingga disadari atau tidak, telah terjadi
“pengislaman” filsafat oleh para filosof Muslim.
2) Sebagai pemikir Islam, para
filosof Muslim adealah pemerhati flsafat asing yang kritis. Ketika dirasa ada
kekurangan yang diderita oleh filsafat Yunani, misalanya, maka tanpa ragu-ragu
mereka mengeritiknya secara mendasar. Misalnya, sekalipun Ibn Sina sering
dikelompokkan sebagai filosof Peripatetik, namun ia tak segan-segan mengertik
pandangan Aristoteles, kalau dirasa tidak cocok dan 1menggantikannnya dengan
yang lebih baik. Beberapa tokoh lainnya seperti Suhrawardi, Umar b. Sahlan
al-Sawi dan Ibn Taymiyyah, juga mengeriktik sistem logika Aristotetles.
Sementara al-‘Amiri mengeritik dengan pedas pandangan Empedokles tentang jiwa,
karena dianggap tidak sesuai dengan pandangan Islam.
3) Adanya perkembangan yang unik
dalam filsafat islam, akibat dari interaksi antara Islam, sebagai agama, dan
filsafat Yunani. Akibatnya para filosof Muslim telah mengembangkan beberapa isu
filsfat yang tidak pernah dikembangkan oleh para filosof Yunani sebelumnya,
seperti filsafat kenabian, mikraj dsb.
b. Lingkup Filsafat Islam
Berbeda dengan lingkup filsafat
modern, filsafat Islam, sebagaimana yang telah dikembangkan para filosof
agungnya, meliputi bidang-bidang yang sangat luas, seperti logika, fisika,
matematika dan metafisika yang berada di puncaknya. Seorang filosof tidak akan
dikatakan filosof, kalau tidak menguasai seluruh cabang-cabang filosofis yang
luas ini.
c. Pandangan Filsafat yang Holistik
Satu hal lagi yang perlu didiskusikan
dalam mengenal filsafat Islam ini adalah pandangannya yang bersifat
integral-holistik.Integrasi ini, sebagaimana yang telah saya jelaskan dalam
karya saya yang lain Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik, terjadi pada
berbagai bidang, khususnya integrasi di bidang sumber ilmu dan klasifikasi
ilmu. Filsafat Islam mengakui, sebagai sumber ilmu, bukan hanya pencerapan
indrawi, tetapi juga persepsi rasional dan pengalaman mistik. Dengan kata lain
menjadikan indera, akal dan hati sebagai sumber-sumber ilmu yang sah. Akibatnya
terjadilah integrasi di bidang klasifikasi ilmu antara metafisika, fisika dan
matematika, dengan berbagai macam divisinya. Demikian juga integrasi terjadi di
bidang metodoogi dan penjelasan ilmiah. Karena itu filsafat Islam tidak hanya
mengakui metode observasi, sebagai metode ilmiah, sebagaimana yang dipahami
secara eksklusif dalam sains modern, tetapi juga metode burhani, untuk meneliti
entitasentitas yang bersifat abstrak, ‘irfani, untuk melakukan persepsi
spiritual dengan menyaksikan (musyahadah) secara langsung entitas-entitas
rohani, yang hanya bisa dianalisa lewat akal, dan terakhir bayani, yaitu sebuah
metode untuk memahami teks-teks suci, seperti al-Qur’an dan Hadits. Oleh karena
itu, filsafat Islam mengakui kebasahan observasi indrawi, nalar rasional,
pengalaman intuitif, dan juga wahyu sebagai sumbersumber yang sah dan penting
bagi ilmu.
Hal ini penting dikemukakan,
mengingat selama ini banyak orang yang setelah menjadi ilmuwan, lalu menolak
filsafat dan tasawuf sebagai tidak bermakna. Atau ada juga yang telah merasa
menjadi filosof, lalu menyangkal keabsahan tasawuf, dengan alasan bahwa tasawuf
bersifat irrasional. Atau ada juga yang telah merasa menjadi Sufi lalu
menganggap tak penting filsafat dan sains. Dalam pandangan filsafat Islam yang
holistik, ketiga bidang tersebut diakui sebagai bidang yang sah, yang tidak
perlu dipertentangkan apa lagi ditolak, karena ketiganya merupakan tiga aspek
dari sebuah kebenaran yang sama. Sangat mungkin bahwa ada seorang yang sekaligus
saintis, filosof dan Sufi, karena sekalipun indera, akal dan hati bisa
dibedakan, tetapi ketiganya terintegrasi dalam sebuah pribadi. Namun,
seandainya kita tidak bisa menjadi sekaligus ketiganya, seyogyanya kita tidak
perlu menolak keabsahan dari masing-masing bidang tersebut, karena dalam
filsafat Islam ketiga unsur tersebut dipandang sama realnya.
2.Peran
Filsafat Islam dalam Dunia Modern
a.Menjawab
Tantangan Kontemporer
Pada
saat ini, dalam pandangan Beliau (Mulyadhi Kartanegara), umat Islam telah
dilanda berbagai persoalah ilmiah filosofis, yang datang dari pandangan
ilmiah-filosofis Barat yang bersifat sekuler. Berbagai teori ilmiah, dari
berbagai bidang, fisika, biologi, psikologi, dan sosiologi, telah, atas nama
metode ilmiah, menyerang fondasi-fondasi kepercayaan agama. Tuhan tidak
dipandang perlu lagi dibawa-bawa dalam penjelasan ilmiah. Misalnya bagi Laplace
(w. 1827), kehadiran Tuhan dalam pandangan ilmiah hanyalah menempati posisi
hipotesa.Dan ia mengatakan, sekarang saintis tidak memerlukan lagi hipotetsa
tersebut, karena alam telah bisa dijelaskan secara ilmiah tanpa harus merujuk
kepada Tuhan. Baginya, bukan Tuhan yang telah bertanggung jawab atas
keteraturan alam, tetapi adalah hukukm alam itu sendiri. Jadi Tuhan telah
diberhentikan sebagai pemelihara dan pengatur alam. Demikian juga dalam bidang
biologi, Tuhan tidak lagi dipandang sebagai pencipta hewanhewan, karena menurut
Darwin (w. 1881), munculnya spesies-spesies hewan adalah karena mekanisme alam
sendiri, yang ia sebut sebagai seleksi alamiah (natural selection).
Menurutnya
hewan-hewan harus bertransmutasi sendiri agar ia dapat tetap survive, dan tidak
ada kaitannya dengan Tuhan. Ia pernah berkata, “kerang harus menciptakan
engselnya sendiri, kalau ia mau survive, dan tidak karena campur tangan sebuah
agen yang cerdas di luar dirinya. Oleh karena itu dalam pandangan Darwin, Tuhan
telah berhenti menjadi pencipta hewan. Dalam bidang psikologi, Freud (w. 1941)
telah memandang Tuhan sebagai ilusi. Baginya bukan Tuhan yang menciptakan
manusia, tetapi manusialah yang menciptakan Tuhan. Tuhan, sebagai konsep,
muncul dalam pikiran manusia ketika ia tidak sanggup lagi menghadapi tantangan
eksternalnya, serti bencana alam dll., maupun tantangan internalnya,
ketergantungan psikologis pada figur yang lebih dominan. Sedangkan Emil
Durkheim, menyatakan bahwa apa yang kita sebut Tuhan, ternyata adalah
Masyarakat itu sendiri yang telah dipersonifikasikan dari nilai-nilai sosial
yang ada.
Dengan
demikian jelaslah bahwa, dalam pandangan sains modern Tuhan tidak memiliki
tempat yang spesial, bahkan lama kelamaan dihapus dari wacana ilmiah. Tantangan
yang lain juga terjadi di bidang lain seperti bidang spiritual, ekonomi,
rkologi dll. Tentu saja tantangan seperti ini tidak boleh kita biarkan tanpa
kritik, atau respons kritis dan kreatif yang dapat dengan baik menjawab
tantangan-tantangan tersebut secara rasional dan elegan, dan tidak semata-mata
bersifat dogmatis dan otoriter. Dan di sinilah beliau melihat bahwa filsafat
Islam bisa berperan sangat aktif dan signifikan.
b. Filsafat sebagai Pendukung Agama
Berbeda
dengan yang dikonsepsikan al-Ghazali, di mana filsafat dipandang sebagai lawan
bagi agama, beliau (Mulyadhi Kartanegara) melihat filsafat bisa kita jadikan
sebagai mitra atau pendukung bagi agama. Dalam keadaan di mana agama mendapat
serangan yang gencar dari sains dan filsafat modern, filsafat Islam bisa
bertindak sebagai pembela atau tameng bagi agama, dengan cara menjawab serangan
sains dan filsafat modern terhadap agama secara filosofis dan rasional. Karena
menurut hemat saya tantangan ilmiah-filosofis harus dijawab juga secara
ilmiah-filosofis dan bukan semata-mata secara dogmatis. Dengan keyakinan bahwa
Islam adalah agama yang menempatkan akal pada posisi yang terhormat, saya yakin
bahwa Islam, pada dasarnya bisa dijelaskan secara rasional dan logis.
Selama ini filsafat dicurigai
sebagai disiplin ilmu yang dapat mengancam agama. Ya, memang betul. Apaalagi
filsafat yang selama ini kita pelajari bukanlah filsafat Islam, melainkan
filsafat Barat yang telah lama tercerabut dari akar-akar metafisiknya. Tetapi
kalau kita betul-betul mempelajari filsafat Islam dan mengarahkannya secara
benar, maka filsafat Islam juga adalah sangat potensial untuk menjadi mitra
filsafat atau bahwan pendukung agama. Di sini filsafat bisa bertindak sebagai
benteng yang melindungi agama dari berbagai ancaman dan serangan
ilmiah-filosofis seperti yang saya deskrisikan di atas.
Serangan
terhadap eksistensi Tuhan, misalnya dapat dijawab dengan berbagai argumen
adanya Tuhan yang telah banyak dikemukakan oleh para filosof Muslim, dari al-Kindi,
Ibn Sina, Ibn Rusyd dll., seperti yang telah saya jelaskan antara lain dalam
buku saya Menembus Batas Waktu. Serangan terhadap wahyu bisa dijawab oleh
berbagai teori pewahyuan yang telah dikemukakan oleh banyak pemikir Muslim dari
al-Ghazali, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Taymiyyah, Ibn Rusyd, Mulla Shadra dll.
3.Filsafat
Islam di Indonesia
a. Masa Lalu
Filsafat
Islam belum begitu dikenal di Indonesia, karena memang filsfat Islam baru
diperkenalkan ke publik pada tahun 70-an oleh almarhum Prof. Dr. Harun Nasution
dalam bukunya yang terkenal Falsafah & Mistisime dalam Islam, yang
diterbitkan Bulan Bintang pada tahun 1973. Dalam buku ini pak Harun telah
memperkenalkan 6 filosof Muslim yang terkenal yaitu al-Kindi, al-Razi,
al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd, setelah sebelumnya ia membicarakan tentang
“Kontak Pertama antara Islam dan ilmu pengetahuan serta falsafah Yunani.” Dalam
buku ini pak Harun dengan singkat tetapi esensial memperkenalkan biografi dan
ajaran para filosof Muslim tersebut, sehingga para mahasiswa Muslim, khususnya
mahasiswa IAIN di seluruh Indonesia, telah menyadari keberadaan filsafat Islam
yang sebelumnya hampir tidak pernah diperkenalkan kepada mereka. Dan dengan
dijadikannya buku tersebut sebagai buku wajib, maka pak Harun boleh dikata
telah berhasil memperkenalkan filsafat Islam di Indonesia ini.
Tetapi
karena buku ini merupakan satu-satunya buku yang digunakan dalam matakuliah
filsafat Islam selama puluhan tahun, maka timbul kesan yang keliru bahwa seakan
filsafat Islam hanya menghasilkan 6 orang filosof sebagaimana yang
diperkenalkan oleh Pak Harun di atas. Untunglah pada tahun 1987 Pustaka Jaya
telah menerbitkan sebuah buku terjemahan yang bagus dan komprehensif tentang
filsafat Islam karangan Majid Fakhry yang berjudul Sejarah Filsafat Islam, yang
diterjemahkan oleh (Mulyadhi Kartanegara), sehingga dengan demikian sadarlah
kita bahwa filsafat Islam telah melahirkan bukan hanya 6 filosof, sebagaimana
yang telah diperkenalkan oleh Pak harun, tetapi puluhan bahkan mungkin ratusan
para filosof yang tidak kalah hebatnya daripada filosof-filosof yang telah
diperkenalkan sebelumnya.
Buku
ini menjelaskan filsafat Islam dari sudut historis, yang meliputi paparan
tentang perkembangan filsafat sebelum Islam, pada masa awal Islam, masa
pertengahan dan masa modern. Dan buku ini telah menikmati posisi yang penting
di universitas-universitas Islam, sebagai buku daras yang tak ada duanya pada
saat itu. Mahasiswa Muslim sangat diuntungkan dengan kehadiran karya terjemahan
ini, karena ia telah banyak mengubah persepsi yang keliru tentang filsafat
Islam dari sudut lingkup, rentangan waktu, ajaran dll. Dengan buku ini pula
kita menjadi sadar bahwa ternyata filsafat Islam tidak berhenti pada Ibn Rusyd
sebagaimana dikesankan setelah membaca buku pak harun, tetapi terus hidup dan
berlangsung hingga saat ini.
b. Masa Kini
Yang
di maksud dengan masa kini, adalah kurang lebih periode sepuluh tahun terkahir
dari sekarang. Pada saat ini kita telah menikmati banyak informasi tentang
filsafat Islam. Diterjemahkannya buku yang diedit oleh M.M. Syarif yang
berjudul, History of Muslim Philosophy secara parsial ke dalam bahasa Indonesia
telah memperkaya khazanah filsafat Islam di Indonesia. Tetapi tambahan
informasi yang sangat signifikan terjedi setelah penerbit Mizan menerjemahkan
karya besar dalam sejarah filsafat Islam yang diedit oleh Nasr dan Oliver
Leaman, yang berjudul A History of Islamic Philosophy ke dalam bahasa
Indonesia, dengan judul Ensiklopedia Filsafat Islam (dua jilid). Berbagai karya
filosofis yang lebih spesifik (misalnya yang membahas tentang pemikiran para
filosof tertentu) juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, seperti
The Philosophy of Mulla Sadra yang ditulis oleh Fazlur Rahman, yang membahas
beberapa aspek dari pemikiran Mulla Shadra, atau Knowledge and Illumination,
karangan Hussein Ziai, yang membicarakan secara khusus filsafat iluminasi
Suhrawardi. Namun sejauh ini, informasi ini lebih bersandar pada terjemahan
dari karya asing, dan bukan karangan sarjana Muslim Indonesia sendiri.
Sedikit
sekali karya filsafat Islam yang ditulis oleh para penulis negeri ini. Ada
misalnya buku 5 tentang Suhrawardi yang ditulis oleh sdr Amroeni, khususnya
kritik Suhrawardi terhadap filsafat peripatetik,atau yang ditulis oleh M. Iqbal
tentang Ibn Rusyd, sebagai bapak rasionalisme. Namun tulisan-tulisan tersebut masih
bersifat studi tokoh, dan pada dasarnya diadaptasi dari sebuah tesis atau
disertasi. Tidak banyak penulis Muslim Indonesia yang menulis buku pengantar
terhadap filsafat Islam yang bersifat independen, kecuali pak Haidar Bagir
dengan Buku Saku Filsafat Islam-nya, dan beliau (Mulyadhi Kartanegara) sendiri
dengan Gerbang Kearifan-nya.
BAB II
Filosof
Islam Dan Filsafat Nya
Tidak
dapat dipungkiri bahwa pemikiran filsafat Islam terpengaruh oleh filsafat
Yunani. Filosof-filosof Islam banyak mengambil pikiran Aristoteles dan sangat
tertarik dengan pikiran-pikiran Plotinus sehingga banyak teorinya yang diambil.
Memang demikianlah keadaan orang yang datang kemudian, terpengaruh oleh
orang-orang sebelumnya dan berguru kepada mereka. Kita saja yang hidup pada abad
ke-20 ini, dalam banyak hal masih berhutang budi kepada orang-orang Yunani dan
Romawi. Akan tetapi berguru tidak berarti mengekor dan hanya mengutip, sehingga
harus dikatakan bahwa filsafat Islam itu hanya kutipan semata-mata dari
Aristoteles, seperti apa yang dikatakan Renan, atau dari neo-Platonisme,
seperti yang dikatakan Duhem, karena filsafat Islam telah menampung dan
mempertemukan berbagai aliran pemikiran. Kalau filsafat Yunani merupakan salah
satu sumbernya, maka tidak aneh kalau kebudayaan India dan Iran juga menjadi
sumbernya pula.
Perpindahan
dan pertukaran pikiran tidak selalu berarti berhutang budi. Sesuatu persoalan
kadang-kadang dibicarakan dan diselidiki oleh orang banyak dan hasilnya dapat
mempunyai bermacam-macam corak: seseorang bisa mengambil persoalan yang pernah
dikemukakannya oleh orang lain sambil mengemukakan teori dan pikirannya
sendiri. Spinoza misalnya, meskipun banyak mengikuti Descartes, namun ia
mempunyai mazhabnya sendiri. Ibnu Sina, meskipun murid yang setia dari Aristoteles,
namun ia mempunyai pikiran-pikiran yang berlainan.
Filosof-filosof
Islam pada umumnya hidup dalam lingkungan dan suasana yang berbeda dari apa
yang dialami oleh filosof-filosof lain, dan pengaruh-pengaruh lingkungan dan
suasana terhadap jalan pikiran mereka tidak bisa dilupakan. Pada akhirnya
tidaklah bisa dipungkuri bahwa dunia Islam telah berhasil membentuk suatu
filsafat yang sesuai dengan prinsip-prinsip agama dan keadaan masyarakat Islam
sendiri.
1. AL-KINDI
Nama lengkapnya Abu Yusuf, Ya’kub bin Ishak Al-Sabbah bin
Imran bin Al-Asha’ath bin Kays Al-Kindi. Beliau biasa disebut Ya’kub, lahir
pada tahun 185 H (801 M) di Kufah. Keturunan dari suku Kays, dengan gelar Abu
Yusuf (bapak dari anak yang bernama Yusuf) nama orang tuanya Ishaq
Ashshabbah, dan ayahnya menjabat gubernur di Kufah, pada masa pemerintahan
Al-Mahdi dan Harun Al-Rasyid dari Bani Abbas.
Nama
Al-Kindi adalah merupakan nama yang diambil dari nama sebuah suku, yaitu : Banu
Kindah. Banu Kindah adalah suku keturunan Kindah, yang berlokasi di daerah
selatan Jazirah Arab dan mereka ini mempunyai kebudayaan yang tinggi.
Sebagai
orang yang dilahirkan di kalangan para intelektual, maka pendiidkan yang
pertama-tama diterima adalah membaca Al-Qur’an, menulis, dan berhitung.
Disamping itu ia banyak mempelajari tentang sastra dan agama, juga
menerjemahkan beberapa buku Yunani di dalam bahasa Syiria kuno, dan bahasa
Arab.
Al-Kindi
mengarang buku-buku yang menganut keterangan Ibnu Al-Nadim buku yang ditulisnya
berjumlah 241 dalam bidang filsafat, logika, arithmatika, astronomi,
kedokteran, ilmu jiwa, politik, optika, musik, matematika dan sebagainya. Dari karangan-karangannya,
dapat kita ketahui bahwa Al-Kindi termasuk penganut aliran Eklektisisme; dalam
metafisika dan kosmologi mengambil pendapat Aristoteles, dalam psikologi
mengambil pendapat Plato, dalam hal etika mengambil pendapat Socrates dan
Plato.
Mengenai
filsafat dan agama, Al-Kindi berusaha mempertemukan amtara kedua hal ini;
Filsafat dan agama. Al-Kindi berpendapat bahwa filsafat adalah ilmu tentang
kebenaran atau ilmu yang paling mulia dan paling tinggi martabatnya. Dan agama
juga merupakan ilmu mengenai kebenaran, akan tetapi keduanya memiliki
perbedaan.
Mengenai
hakikat Tuhan, Al-Kindi menegaskan bahwa Tuhan adalah wujud yang hak (benar),
yang bukan asalnya tidak ada menjadi ada, ia selalu mustahil tidak ada, ia
selalu ada dan akan selalu ada. Jadi Tuhan adalah wujud sempurna yang tidak
didahului oleh wujud yang lain, tidak berakhir wujudNya dan tidak wujud kecuali
denganNya.
Unsur-unsur
filsafat yang kita dapati pada pemikiran Al-Kindi ialah:
a.
Aliran Pythagoras tentang matematika sebagai jalan ke arah filsafat.
b.
Pikiran-pikiran Aristoteles dalam soal-soal fisika dan metafisika, meskipun
Al-Kindi tidaksependapat dengan Aristoteles tentang qadimnya alam.
c.
Pikiran-pikiran Plato dalam soal kejiwaan.
d.
Pikiran-pikiran Plato dan Aristoteles bersama-sama dalam soal etika.
e,
Wahyu dan iman (ajaran-ajaran agama) dalam soal-soal yang berhubungan dengan
Tuhan dan sifat-sifatNya.
f.
Aliran Mu’tazilah dalam memuja kekuatan akal manusia dan dalam menakwilkan
ayat-ayat Qur’an.
Haruslah diakui bahwa Al-Kindi tidak
mempunyai sistem filsafat yang lengkap. Jasanya ialah karena dia adalah orang
yang pertama-tama membuka pintu filsafat bagi dunia Arab dan diberinya corak
Arab keislaman. Pendiri filsafat Islam yang sebenarnya ialah Al-Farabi.
2. AL-FARABI
Ia
adalah Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin Tharkhan. Sebutan Al-Farabi diambil
dari nama kota Farab, dimana ia dilahirkan pada tahun 257 H (870 M). Ayahnya
adalah seorang Iran dan kawin dengan seorang wanita Turkestan. Kemudian ia
menjadi perwira tentara Turkestan. Karena itu, Al-Farabi dikatakan berasal dari
keturunan Turkestan dan kadang-kadang juga dikatakan dari keturunan Iran.
Sejak
kecilnya, Al-Farabi suka belajar dan ia mempunyai kecakapan luar biasa dalam
lapangan bahasa. Bahasa-bahasa yang dikuasainya antara lain bahasa Iran,
Turkistan, dan Kurdistan. Nampaknya ia tidak mengenal bahasa Yunani dan
Siriani, yaitu bahasa-bahasa ilmu pengetahuan dan filsafat pada waktu itu.
Setelah
besar, Al-Farabi meninggalkan negerinya untuk menuju kota Baghdad, pusat
pemerintahan dan ilmu pengetahuan pada masanya, untuk belajar antara lain pada
Abu Bisyr bin Mattius. Selama berada di Baghdad, ia memusatkan perhatiannya
kepada ilmu logika.
Al-Farabi luas pengetahuannya,
mendalami ilmu-ilmu yang ada pada masanya dan mengarang buku-buku dalam ilmu
tersebut. Buku-bukunya, baik yang sampai kepada kita maupun yang tidak,
menunjukkan bahwa ia mendalami ilmu-ilmu bahasa, matematika, kimia, astronomi,
kemiliteran, musik, ilmu alam, ketuhanan, fiqih, dan mantik.
Sebagian
besar karangan-karangan Al-Farabi terdiri dari ulasan dan penjelasan terhadap
filsafat Aristoteles, Plato, dan Galenius, dalam bidang-bidang logika, fisika,
etika, dan metafisika. Meskipun banyak tokoh filsafat yang diulas pikirannya,
namun ia lebih terkenal sebagai pengulas Aristoteles.
Di
antara karangan-karangannya ialah:
a.
Aghradlu
ma Ba’da at-Thabi’ah.
b.
Al-Jam’u
baina Ra’yai al-Hakimain (Mempertemukan Pendapat Kedua Filosof; maksudnya Plato dan Aristoteles).
c.
Tahsil
as-Sa’adah (Mencari Kebahagiaan).
d.
‘Uyun
al-Masail (Pokok-Pokok persoalan).
e.
Ara-u
Ahl-il Madinah al-Fadhilah (Pikiran-Pikiran Penduduk Kota Utama Negeri Utama).
f.
Ih-sha’u
al-Ulum (Statistik Ilmu).
Menurut
Dr. Ibrahim Madkour, filsafat Al-Farabi adalah filsafat yang bercorak
spiritual-idealis, sebab menurut Al-Farabi, dimana-mana ada roh. Tuhannya
adalah Roh dari segala Roh. Akal yang dikonsepsikannya yaitu ‘Uqul Mufariqah
(akal yang terlepas dari benda) merupakan makhluk rohani murni, sedang kepala
negeri- utamanya, menguasai badannya. Roh itu pula yang menggerakkan
benda-benda langit dan mengatur alam di bawah bulan.
Meskipun Al-Farabi telah banyak
mengambil dari Plato, Aristoteles dan Plotinus, namun ia tetap memegangi
kepribadian, sehingga pikiran-pikiranya tersebut merupakan filsafat Islam yang
berdiri sendiri, yang bukan filsafat stoa, atau Peripatetik atau Neo Platonisme.
Memeng bisa dikatakan adanya pengaruh aliran-aliran tersebut, namun bahannya
yang pokok adalah dari Islam sendiri.
3. IBNU SINA
Ibnu Sina
dilahirkan dalam masa kekacauan, dimana Khilafah Abbasiyah mengalami
kemunduran, dan negeri-negeri yang mula-mula berada di bawah kekuasaan khilafah
tersebut mulai melepaskan diri satu persatu untuk berdiri sendiri. Kota Baghdad
sendiri, sebagai pusat pemerintahan Khilafah Abbasiyah, dikuasai oleh golongan
Bani Buwaih pada tahun 334 H dan kekuasaan mereka berlangsung terus sampai
tahun 447 H.
Di
antara daerah-daerah yang berdiri sendiri ialah Daulah Samani di Bukhara, dan
di antara khalifahnya ialah Nuh bin Mansur. Pada masanya, yaitu di tahun 340 H
(980 M), di suatu tempat yang bernama Afsyana, daerah Bukhara, Ibnu Sina
dilahirkan dan dibesarkan. Di Bukhara ia menghafal Qur’an dan belajar ilmu-ilmu
agama serta ilmu astronomi, sedangkan usianya baru sepuluh tahun. Kemudian
ia
mempelajari matematika, fisika, logika dan ilmu metafisika. Sesudah itu ia
mempelajari ilmu kedokteran pada Isa bin Yahya, seorang Masehi.
Belum
lagi usianya melebihi enam-belas tahun, kemahirannya dalam ilmu kedokteran
sudah dikenal orang, bahkan banyak orang yang berdatangan untuk berguru
kepadanya. Ia tidak cukup dengan teori-teori kedokteran, taoi juga melakukan
praktek dan mengobati orang-orang sakit.
Sebenarnya
hidup Ibnu Sina tidak pernah mengalami ketenangan, dan usianya pun tidak
panjang. Meskipun banyak kesibukan-kesibukannya dalam urusan politik, sehingga
ia tidak banyak mempunyai kesempatan untuk mengarang, namun ia telah berhasil
meninggalkan berpuluh-puluh karangan.
Karangan-karangan
Ibnu Sina yang terkenal ialah:
a.
Asy-Syifa.
Buku ini adalah buku filsafat yang terpenting dan terbesar dari Ibnu Sina, dan
trediri dari enpat bagian, yaitu: logika, fisika, matematika, dan metafisika
(ketuhanan).
b.
An-Najat.
Buku ini merupakan keringkasan buku as-Syifa, dan pernah diterbitkan
bersama-sama dengan buku al-Qanun dalam ilmu kedokteran pada tahun 1593 M di
Roma dan pada tahun 1331 M di Mesir.
c.
Al-Isyarat
wat-Tanbihat. Buku ini adalah buku terakhir dan yang paling baik, dan pernah
diterbitkan di Leiden pada tahun 1892 M, dan sebagiannya diterjemahkan ke dalam
bahasa Perancis.
d.
Al-Hikmat
al-Masyriqiyyah. Buku ini banyak dibicarakan orang, karena tidak jelasnya
maksud judul buku, dan naskah-naskahnya yang masih ada memuat bagian logika.
e.
Al-Qanun,
atau Canon of Medicine, menurut penyebutan orang-orang Barat. Buku ini pernah
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan pernah menjadi buku standar untuk
universitas-universitas Eropa sampai akhir abad ketujuhbelas Masehi.
Ibnu
Sina memberikan perhatiannya yang khusus terhadap pembahasan kejiwaan,
sebagaimana yang dapat kita lihat dari buku-buku yang khusus untuk soal-soal
kejiwaan atau pun buku-buku yang berisi campuran berbagai persoalan filsafat.
Pengaruh Ibnu Sina dalam soal
kejiwaan tidak dapat diremehkan, baik pada dunia piker Arab sejak abad
kesepuluh Masehi sampai akhir abad ke-19 Masehi, terutama pada Gundissalinus,
Albert the Great, Thomas Aquinas, Roger Bacon, dan Dun Scott. Bahkan juga ada
pertaliannya dengan pikiran-pikiran Descartes tentang hakikat jiwa dan
wujudnya.
Hidup Ibnu Sina penuh dengan
kesibukan bekerja dan mengarang; penuh pula dengan kesenangan dan kepahitan
hidup bersama-sama, dan boleh jadi keadaan ini telah mengakibatkan ia tertimpa
penyakit yang tidak bisa diobati lagi. Pada tahun 428 H (1037 M), ia meninggal
dunia di Hamadzan, pada usia 58 tahun.
4. AL-GHAZALI
Ia
adalah Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali, bergelar Hujjatul Islam,
lahir tahun 450 H di Tus, suatu kota kecil di Khurassan (Iran). Kata-kata
al-Ghazali kadang-kadang diucapkan al-Ghazzali (dengan dua z). dengan
menduakalikan z, kata-kata al-Ghazzali diambil dari kata-kata Ghazzal, artinya
tukang pemintal benang, karena pekerjaan ayahnya ialah memintal benang wol,
sedang al-Ghazali dengan satu z, diambil dari kata-kata Ghazalah, nama kampung
kelahiran al-Ghazali. Sebutan terakhir ini yang banyak dipakai.
Al-Ghazali
pertama-tama belajar agama di kota Tus, kemudian meneruskan di Jurjan, dan
akhirnya di Naisabur pada Imam al-Juwaini, sampai yang terakhir ini wafat tahun
478 H/1085 M. kemudian ia berkunjung kepada Nidzam al-Mulk di kota Mu’askar,
dan dari padanya ia mendapat kehormatan dan penghargaan yang besar, sehingga ia
tinggal di kota itu enam tahun lamanya. Pada tahun 483 H/1090 M, ia
diangkat menjadi guru di sekolah Nidzamah Baghdad, dan pekerjaannya itu
dilaksanakan dengan sangat berhasil. Selama di Baghdad, selain mengajar,
juga mengadakan bantahan-bantahan terhadap pikiran-pikiran golongan Bathiniyah,
Isma’iliyyah, golongan filsafat dan lain-lain.
Pengaruh
al-Ghazali di kalangan kaum Muslimin besar sekali, sehingga menurut pandangan
orang-orang ahli ketimuran (Orientalis), agama Islam yang digambarkan oleh
kebanyakan kaum Muslimin berpangkal pada konsepsi al-Ghazali.
Al-Ghazali
adalah seorang ahli pikir Islam yang dalam ilmunya, dan mempunyai nafas panjang
dalam karangan-karangannya. Puluhan buku telah ditulisnya yang meliputi
berbagai lapangan ilmu, antara lain Teologi Islam (Ilmu Kalam), Hukum Islam
(Fiqih), Tasawuf, Tafsir, Akhlak dan adab kesopanan, kemudian autobiografi.
Sebagian besar dari buku-buku tersebut diatas dalam bahasa Arab dan yang lain
ditulisnya dalam bahasa Persia.
Karyanya
yang terbesar yaitu Ihya ‘Ulumuddin yang artinya “Menghidupkan Ilmu-Ilmu
Agama”, dan dikarangnya selama beberapa tahun dalam keadaan berpindah-pindah
antara Syam, Yerussalem, Hijjaz dan Tus, dan yang berisi tentang paduan yang
indah antara fiqih, tasawuf dan filsafat, bukan saja terkenal di kalangan kaum
Muslimin, tetapi juga di kalangan dunia Barat dan luar Islam.
Bukunya
yang lain yaitu al-Munqidz min ad-Dlalal (Penyelamat dari Kesesatan), berisi
sejarah perkembangan alam pikirannya dan mencerminkan sikapnya yang terakhir
terhadap beberapa macam ilmu, serta jalan untuk mencapai Tuhan. Diantara
penulis-penulis modern banyak yang mengikuti jejak al-Ghazali dalam menuliskan
autobiografi.
Pikiran-pikiran
al-Ghazali telah mengalami perkembangan sepanjang hidupnya dan penuh
kegoncangan batin, sehingga sukar diketahui kesatuan dan kejelasan corak
pemikirannya, seperti yang terlihat dari sikapnya terhadap filosof-filosof dan
terhadap aliran-aliran akidah pada masanya.
Namun demikian, al-Ghazali telah
mencapai hakikat agama yang belum pernah diketemukan oleh orang-orang
yang sebelumnya dan mengembalikan kepada agama nulai-nilai yang telah hilang
tidak menentu. Jalan yang terdekat kepada Tuhan ialah jalan hati dan dengan
demikian ia telah membuka pintu Islam seluas-luasnya untuk tasawuf.
Pengaruh al-Ghazali besar sekali di
kalangan kaum Muslimin sendiri sampai sekarang ini, sebagaimana juga di
kalangan tokoh-tokoh pikir abad pertengahan bahkan juga sampai pada tokoh-tokoh
pikir abad modern.
5. IBNU BAJAH
Ia adalah Abu Bakar Muhammad bin
Yahya, yang terkenal dengan sebutan Ibnus-Shaigh atau Ibnu Bajah. Orang-orang
Eropa pada abad-abad pertengahan menamai Ibnu Bajah dengan “Avempace”,
sebagaimana mereka menyebut nama-nama Ibnu Sina, Ibnu Gaberol, Ibnu Thufail dan
Ibnu Rusyd, masing-masing dengan nama Avicenna, Avicebron, Abubacer, dan
Averroes.
Ibnu Bajah dilahirkan di Saragosta
pada abad ke-11 Masehi. Tahun kelahirannya yang pasti tidak diketahui, demikian
pula masa kecil dan masa mudanya. Sejauh yang dapat dicatat oleh sejarah ialah
bahwa ia hidup di Serville, Granada, dan Fas; menulis beberapa risalah tentang
logika di kota Serville pada tahun 1118 M, dan meninggal dunia di Fas pada
tahun 1138 M ketika usianya belim lagi tua. Menurut satu riwayat, ia
meninggal dunia karena diracuni oleh seorang dokter yang iri terhadap
kecerdasan, ilmu, dan ketenarannya.
Buku-buku
yang ditinggalkannya ialah:
a.
Beberapa
risalah dalam ilmu logika, dan sampai sekarang masih tersimpan di perpustakaan
Escurial (Spanyol).
b.
Risalah
tentang jiwa.
c.
Risalah
al-Ittisal, mengenai pertemuan manusia dan akal-faal.
d.
Risalah
al-Wada’, berisi uraian tentang penggerak-pertama bagi manusia dan tujuan yang
sebenarnya bagi wujud manusia dan alam.
e.
Beberapa
risalah tentang ilmu falak dan ketabiban.
f.
Risalah
Tadbir al-Mutawahhid.
g.
Beberapa
ulasan terhadap buku-buku filsafat, antara lain dari Aristoteles, al-Farabi,
Porphyrus, dan sebagainya.
Menurut
Carra de Vaux, di perpustakaan Berlin ada 24 risalah manuskrip karangan Ibnu
Bajah. Diantara karangan-karangannya itu yang paling penting ialah risalah
Tadbir al-Mutawahhid yang membicarakan usaha-usaha orang yang menjauhi segala
macam keburukan masyarakat, yang disebutnya Mutawahhid, yang berarti
“penyendiri”. Isi risalah tersebut cukup jelas, sehingga memungkinkan kita
dapat mempunyai gambaran tentang usaha si penyendiri tersebut untuk dapat
bertemu dengan akal-faal dan menjadi salah satu unsur pokok bagi negeri
idam-idamannya.
Ibnu Bajah telah memberi corak baru
terhadap filsafat Islam di negeri Islam barat dalam teori ma’rifat
(epistemology, pengetahuan), yang berbeda sama sekali dengan corak yang telah
diberikan oleh al-Ghazali di dunia timur Islam, setelah ia dapat menguasai
dunia pikir sepeninggal filosof-filosof Islam.
6. IBNU THUFAIL
Ia adalah Abubakar Muhammad bin
Abdul Malik bin Thufail, dilahirkan di Wadi Asy dekat Granada, pada tahun 506
H/1110 M. kegiatan ilmiahnya meliputi kedokteran, kesusasteraan, matematika dan
filsafat. Ia menjadi dokter di kota tersbut dan berulangkali menjadi penulis
penguasa negerinya. Setelah terkenal, ia menjadi dokter pribadi Abu Ya’kub
Yusuf al-Mansur, khalifah kedua daru daulah Muwahhidin. Dari al-Mansur ia
memperoleh kedudukan yang tinggi dan dapat mengumpulkan orang-orang pada
masanya di istana Khalifah itu, di antaranya ialah Ibnu Rusyd yang diundang
untuk mengulas buku-buku karangan Aristoteles.
Buku-buku biografi menyebutkan
beberapa karangan dari Ibnu Thufail yang menyangkut beberapa lapangan filsafat,
seperti filsafat fisika, metafisika, kejiwaan dan sebagainya, disamping
risalah-risalah (surat-surat) kiriman kepada Ibnu Rusyd. Akan tetapi
karangan-karangan tersebut tidak sampai kepada kita, kecuali satu saja, yaitu
risalah Hay bin Yaqadhan, yang merupakan intisari pikiran-pikiran filsafat Ibnu
Thufail, dan yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Suatu manuskrip
di perpustakaan Escurrial yang berjudul Asrar al-Hikmat ai-Masyriqiyyah (Rahasia-rahasia
Filsafat Timur) tidak lain adalah bagian dari risalah Hay bin Yaqadhan.
Ibnu Thufail tergolong filosof dalam
masa Skolastik Islam. Pemikiran kefilsafatannya cukup luas, termasuk
metafisika. Dalam pencapaian Ma’rifatullah, Ibnu Thufail menempatkan sejajar
antara akal dan syari’at. Pemikiran tersebut sebenarnya merupakan upaya yang
tidak pada tempatnya, sebab syari’at sumbernya adalah wahyu (yakni : dari
Tuhan), sedangkan akal merupakan aktifitas manusiawi. Akal manusia sebenarnya hanyalah
dampak mencari alasan rasional bagi syari’at mengenai dalil-dalil adanya Tuhan.
7. IBNU RUSYD
Nama lengkapnya Abul Walid Muhammad
bin Ahmad bin Rusyd, lahir di Cordova pada tahun 520 H. Ia berasal dari
kalangan keluarga besar yang terkenal dengan keutamaan dan mempunyai kedudukan
tinggi di Andalusia (Spanyol). Ayahnya adalah seorang hakim, dan kakeknya yang
terkenal dengan sebutan “Ibnu Rusyd kakek” (al-Jadd) adalah kepala hakim di
Cordova.
Ibnu
Rusyd adalah seorang ulama besar dan pengulas yang dalam terhadap filsafat
Aristoteles. Kegemarannya terhadap ilmu sukar dicari bandingannya, karena
menurut riwayat, sejak kecil sampai tuanya ia tidak pernah terputus membaca dan
menelaah kitab, kecuali pada malam ayahnya meninggal dan dalam perkawinan dirinya.
Karangannya meliputi berbagai ilmu,
seperti: fiqih, ushul, bahasa, kedokteran, astronomi, politik, akhlak, dan
filsafat. Tidak kurang dari sepuluh ribu lembar yang telah ditulisnya.
Buku-bukunya adakalanya merupakan karangan sendiri, atau ulasan, atau
ringkasan. Karena sangat tinggi penghargaannya terhadap Aristoteles, maka tidak
mengherankan kalau ia memberikan perhatiannya yang besar untuk mengulaskan dan
meringkaskan filsafat Aristoteles. Buku-buku lain yang telah diulasnya ialah
buku-buku karangan Plato, Iskandar Aphrodisias, Plotinus, Galinus, al-Farabi,
Ibnu Sina, al-Ghazali, dan Ibnu Bajah.
Buku-bukunya
yang lebih penting dan yang sampai kepada kita ada empat, yaitu:
c.
Bidayatul
Mujtahid, ilmu fiqih. Buku ini bernilai tinggi, karena berisi perbandingan
mazhabi (aliran-aliran) dalam fiqih dengan menyebutkan alasannya masing-masing.
d.
Faslul-Maqal
fi ma baina al-Hikmati was-Syari’at min al-Ittisal (ilmu kalam). Buku ini
dimaksudkan untuk menunjukkan adanya persesuaian antara filsafat dan syari’at,
dan sudah pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman pada tahun 1895 M oleh
Muler, orientalis asal Jerman.
e.
Manahijul
Adillah fi Aqaidi Ahl al-Millah (ilmu kalam). Buku ini menguraikan tentang
pendirian aliran-aliran ilmu kalam dan kelemahan-kelemahannya, dan sudah
pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman, juga oleh Muler, pada tahun
1895 M.
f.
Tahafut
at-Tahafut, suatu buku yang terkenal dalam lapangan filsafat dan ilmu kalam,
dan dimasukkan untuk membela filsafat dari serangan al-Ghazali dalam bukunya
Tahafut al-Falasifah. Buku Tahafut at-Tahafut berkali-kali diterjemahkan ke
dalam bahasa Jerman, dan terjemahannya ke dalam bahasa Inggris oleh van den
Berg yang terbit pada tahun 1952 M.
Ibnu
Rusyd adalah tokoh pikir Islam yang paling kuat, paling dalam pandangannya,
paling hebat pembelaannya terhadap akal dan filsafat, sehingga ia benar-benar
menjadi filosof-pikiran dikalangan kaum Muslimin.
Pada garis besar filsafatnya, ia
mengikuti Aristoteles dan berusaha mengeluarkan pikiran-pikirannya yang
sebenarnya dari celah-celah kata-kata Aristoteles dan ulasan-ulasannya. Ia juga
berusaha menjelaskan pikiran tersebut dan melengkapkannya, terutama dalam
lapangan ketuhanan, di mana kemampuannya yang tinggi dalam mengkaji berbagai
persoalan dan dalam mempertemukan antara agama dengan filsafat nampak jelas
kepada kita.
Ketika hendak meninggal, beliau
(Ibnu Rusyd) mengeluarkan kata-katanya yang terkenal:
“Akan
mati rohku karena matinya filosof”.
BAB III
KESIMPULAN
Dunia Islam telah berhasil membentuk
suatu filsafat yang sesuai dengan prinsip-prinsip agama dan keadaan masyarakat
Islam sendiri. Nama Al-Kindi adalah merupakan nama yang diambil dari nama
sebuah suku, yaitu : Banu Kindah. Banu Kindah adalah suku keturunan Kindah,
yang berlokasi di daerah selatan Jazirah Arab dan mereka ini mempunyai
kebudayaan yang tinggi.
Mengenai filsafat dan agama,
Al-Kindi berusaha mempertemukan amtara kedua hal ini; Filsafat dan agama.
Al-Kindi berpendapat bahwa filsafat adalah ilmu tentang kebenaran atau ilmu
yang paling mulia dan paling tinggi martabatnya. Dan agama juga merupakan ilmu
mengenai kebenaran, akan tetapi keduanya memiliki perbedaan.
Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin
Tharkhan. Sebutan Al-Farabi diambil dari nama kota Farab, dimana ia dilahirkan
pada tahun 257 H (870 M). Sebagian besar karangan-karangan Al-Farabi terdiri
dari ulasan dan penjelasan terhadap filsafat Aristoteles, Plato, dan Galenius,
dalam bidang-bidang logika, fisika, etika, dan metafisika. Meskipun banyak
tokoh filsafat yang diulas pikirannya, namun ia lebih terkenal sebagai pengulas
Aristoteles.
Di tahun 340 H (980 M), di suatu
tempat yang bernama Afsyana, daerah Bukhara, Ibnu Sina dilahirkan dan
dibesarkan. Di Bukhara ia menghafal Qur’an dan belajar ilmu-ilmu agama serta
ilmu astronomi, sedangkan usianya baru sepuluh tahun. Kemudian ia mempelajari
matematika, fisika, logika dan ilmu metafisika. Sesudah itu ia mempelajari ilmu
kedokteran pada Isa bin Yahya, seorang Masehi.
Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad
al-Ghazali, bergelar Hujjatul Islam, lahir tahun 450 H di Tus, suatu kota kecil
di Khurassan (Iran). Al-Ghazali adalah seorang ahli pikir Islam yang dalam
ilmunya, dan mempunyai nafas panjang dalam karangan-karangannya. Puluhan buku
telah ditulisnya yang meliputi berbagai lapangan ilmu, antara lain Teologi
Islam (Ilmu Kalam), Hukum Islam (Fiqih), Tasawuf, Tafsir, Akhlak dan adab
kesopanan, kemudian autobiografi. Sebagian besar dari buku-buku tersebut diatas
dalam bahasa Arab dan yang lain ditulisnya dalam bahasa Persia. Abubakar
Muhammad bin Yahya, yang terkenal dengan sebutan Ibnus-Shaigh atau Ibnu Bajah.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Bulan
Bintang, Jakarta : 1996
Sudarsono, Ilmu Filsafat – Suatu Pengantar,
Rineka Cipta, Jakarta : 2001
Mulyadhi Kartanegara, Masa Depan Filsafat Islam “antara cita dan
fakta”..Sebuah Paper