Sabtu, 18 Januari 2014

SUNAN BONANG DAN AJARAN TASAWUFNYA

SUNAN BONANG
DAN AJARAN TASAWUFNYA

Oleh:Muamar Anis

Di antara teks-teks Islam tarawal dalam sejarah sastra Jawa terdapat untaian puisi-puisi mistikal (suluk) karya Sunan Bonang, seorang wali sufi terkemuka di pulau Jawa yang tinggal di Tuban, Jawa Timur. Selain sejumlah suluk, Sunan Bonang juga meninggalkan karya penting yaitu risalah tasawuf yang oleh Drewes diberi judul Admonitions of She Bari.Sunan Bonang  lahir pada pertengahan abad ke-15 M dan wafat pada awal abad ke-16, sekitar tahun 1526 atau 1530 M (De Graff 1985:55). Dia adalah ulama yang mumpuni pada zamannya, juga seorang ahli falak,  musikus dan tentu saja sastrawan. Karua-karyanya memperlihatkan bahwa dia menguasai bahasa dan sastra Arab di samping Persia, Jawa Kuna dan Melayu.
            Namanya semula ialah Makhdum Ibrahim. Dalam suluk-suluknya dia memakai beberapa nama julukan seperti  Ibrahim Asmara, Ratu Wahdat, Sultan Khalifah dan lain-lain (Hussein Djajadiningrat 1913; Purbatjaraka 1938; Drewes 1969). Nama Bonang diambil dari nama desa tempat dia  mendirikan pesujudan dan pesantren, yaitu Bonang. Desa itu tidak jauh dari kota Rembang dan Lasem di perbatasan antara propinsi Jawa Tengah dan  Jawa Timur sekarang ini.
            Sejak muda Makhdum Ibrahim adalah seorang pelajar yang tekun dan muballigh yang handal. Setelah mempelajari bahasa Arab dan Melayu, serta berbagai cabang ilmu agama yang penting seperti fiqih, usuluddin, tafsir Qur’an, hadis dan tasawuf; bersama saudaranya Sunan Giri dia pergi ke Mekkah dengan singgah terlebih dahulu di Malaka, kemudian ke Pasai. Sulalatus Salatin (Sejarah Melayu) mencatat  kunjungan Sunan Bonang dan Sunan Giri ke Malaka sebelum melanjutkan perjalanan ke Pasai. Sepulang dari Mekkah, dia  ditugaskan oleh ayahnya ntuk memimpin masjid Singkal, Daha di Kediri (Kalamwadi 1990:26-30). .
            Pada tahun 1498 M Sultan Demak Raden Patah mempercayakan kepada Sunan Bonang  untuk menjadi imam Mesjid Agung Demak. Dalam tugasnya itu dia dibantu oleh Sunan Kalijaga, Ki Ageng Selo dan wali yang lain. Di bawah pimpinannya masjid Demak segera berkembang menjadi pusat keagamaan dan kebudayaan terkemuka di pulau Jawa. Tetapi beberapa tahun kemudian, dia berselisih pandangan dengan Sultan Demak dan memutuskan untuk mngundurkan diri dari jabatannya  sebagai imam masjid agung. Dari Demak Sunan Bonang pindah ke Lasem, dan memilih desa Bonang sebagai tempat kegiatannya yang baru. Di sini dia mendidirikan pesujudan dan pesantren. Beberapa karya Sunan Bonang, khususnya Suluk Wujil, mengambil latar kisah di pesujudannya ini di mana dia memberikan ajaran rahasia agama kepada muridnya, seorang bekas abdi dalem Majapahit yang terpelajar bergelar Wujil (Abdul Hadi W. M. 2000:96-107).

Suluk-suluk Sunan Bonang
           Sunan Bonang adalah penulis prolifik. Karangan-karangannya dapat digolongkan ke dalam dua kelompok: (1) Untaian puisi mistikal yang lazim disebut suluk dalam sastra Jawa. Dalam suluk-suluknya dia mengungkapkan pengalaman keruhaniannya mengikuti jalan sufi. Dalam suluknya pula dia menyampaikan pokok-pokok ajaran tasawuf melalui ungkapan-ungkapan simbolik sastra. Di antara suluk-suluknya ialah Suluk Wujil, Suluk Khalifah, Suluk Kaderesan, Suluk Regol, Suluk Bentur, Suluk Wasiyat, Suluk Pipiringan, Gita Suluk Latri, Gita Suluk Linglung,  Gita Suluk ing Aewuh, Gita Suluk Jebang, Suluk Wregol dan lain-lain. (2) Karangan prosa seperti Pitutur Sunan Bonang yang ditulis dalam bentuk dialog antara seorang guru sufi dan muridnya yang tekun. Bentuk semacam ini banyak dijumpai sastra Arab dan Persia.
            Drewes (1968, 1978) telah mencatat sejumlah naskah yang memuat suluk-suluk Sunan Bonang. Khususnya yang terdapat di Museum Perpustakaan Universitas Leiden, dan memberi catatan ringkas tentang isi suluk-suluk tersebut. Penggunaan tamsil pencinta dan Kekasih misalnya terdapat dalam Gita Suluk Latri yang ditulis dalam bentuk tembang wirangrong. Suluk ini menggambarkan seorang pencinta yang gelisah menunggu kedatangan Kekasihnya. Semakin larut malam kerinduan dan kegelisahannya semakin mengusiknya, dan semakin larut malam pula berahinya (`isyq) semakin berkobar. Ketika Kekasihnya datang dia lantas lupa segala sesuatu, kecuali keindahan wajah Kekasihnya. Demikianlah sestelah itu sang pencinta akhirnya hanyut dibawa ombak dalam lautan ketakterhinggaan wujud.
           Dalam Suluk Khalifah Sunan Bonang menceritakan kisah-kisah kerohanian para wali dan pengalaman mereka mengajarkan kepada orang yang ingin memeluk agama Islam. Suluk ini cukup panjang. Sunan Bonang juga menceritakan pengalamannya selama beradadi Pasai bersama guru-gurunya serta perjalanannya menunaikan ibadah haji ke Mekkah.

Suluk Gentur dan Gita Suluk Wali
           Dari suluk-suluknya itu yang sangat penting antara lain ialah Suluk Gentur atauSuluk Bentur. Suluk ini ditulis di dalam tembang wirangrong dan cukup panjang.  Gentur atau bentur berarti lengkap atau sempurna. Di dalamnya digambarkan jalan yang harus ditempuh seorang sufi untuk mencapai kesadaran tertiggi. Dalam perjalanannya itu ia akan berhadapan dengan maut dan dia akan diikuti oleh sang maut kemana pun ke mana pun ia melangkah. Ujian terbesar seorang penempuh jalan tasawuf atau suluk ialah syahadat da`im qa`im .Syahadat ini berupa kesaksian  tanpa bicara sepatah kata pun dalam waktu yang lama, sambil mengamati gerik-gerik jasmaninya dalam menyampaikan isyarat kebenaran dan keunikan Tuhan. Garam jatuh ke dalam lautan dan lenyap, tetapi tidak dpat dikatakan menjadi laut. Pun tidak hilang ke dalam kekosongan (suwung). Demikian pula apabila manusia mencapai keadaan fana’ tidak lantas  tercerap dalam Wujud Mutlak. Yang lenyap ialah kesadaran akan keberadaan atau kewujudan jasmaninya.
          Dalam suluknya ini Sunan Bonang juga mengatakan bahwa pencapaian tertinggi seseorang ialah fana’ ruh idafi, iaitu ‘keadaan dapat melihat peralihan atau pertukaran segala bentuk lahir dan gejala lahir, yang di dalamnya kesadaran intuititf atau makrifat menyempurnakan penghlihatannya tentang Allah sebagai Yang Kekal dan Yang Tunggal’. Pendek kata dalam fana’ ruh idafi seseorang sepenuhnya menyaksikan kebenaran hakiki ayat al-qur`an 28:88 : “Segala hal binasa kecuali Wajah-Nya”. Ini digambarkan melalui peumpamaan asyrafi (emas bentukan yang mencair dan hilang kemuliannya, sedangkan substansinya sebagai emas tidak lenyap. Syahadat dacim qacim adalah kurnia yang dilimpahkan Tuhan kepada seseorang sehingga ia menyadari dan menyaksikan dirinya bersatu dengan kehendak Tuhan (sapakarya). Menurut Sunan Bonang, ada tiga macam syahadat:

1.Mutawilah (muta`awillah di dalam bahasa Arab)
2.Mutawassitah (Mutawassita)
3.Mutakhirah (muta`akhira)

           Yang pertama syahadat (penyaksian) sebelum manusia dilahirkan ke dunia iaitu dariHari Mitsaq (Hari Perjanjian) sebagaimana dikemukakan di dalam ayat al-Qur`an 7: 172, “Bukankah Aku ini Tuhanmu? Ya, aku menyaksikan” (Alastu bi rabbikum? Qawl bala syahidna). Yang ke dua ialah syahadat ketika seseorang menyatakan diri memeluk agama Islam dengan mengucap “Tiada Tuhan selain allah dan Nabi Muhammad adalah utusan-Nya”. Yang ketiga adalah syahadat yang diucapkan para Nabi, Wali dan Orang Mukmin sejati. Bilamana tiga syahadat ini dipadukan menjadi satu maka dapat dimpamakan seperti kesatuan transenden antara tidakan menulis, tulisan dan lembaran kertas yang mengandung tulisan itu. Juga dapat diumpamakan sperti gelas, isinya dan gelas yang isinya penuh. Bilamana gelas bening, isinya akan tampak bening sedang gelasnya tidak kelihatan. Begitu pula hati seorang mukmin yang merupakan tempat kediaman Tuhan, akan memperlihatkan kehadiran-Nya bilamana hati itu bersih, tulus dan jujur.
           Dikatakan juga dalam suluknya itu bahwa dalam hati yang bersih, dualitas lenyap. Yang kelihatan ialah  tindakan cahaya-Nya yang melihat. Artinya dalam melakukan perbuatan apa saja seorang mukmin senantiasa sadar bahwa dia selalu diawasi oleh Tuhan, yang menyebabkannya tidak lalai menjalankan perintah agama. Perumpamman ini dapat dirujuk kepada perumpamaan seupa di dalam Futuh al-Makkiyah karya Ibn `Arabi dan Lama`at karya `Iraqi.
          Karya Sunan Bonang juga unik ialah Gita Suluk Wali,  untaian puisi-puisi lirik yang memikat. Dipaparkan bahwa hati seorang yang ditawan oleh rasa cinta itu seperti laut pasang menghanyutkan atau seperti api yang membakar sesuatu sampai hangus. Untaian puisi-puisi ini diakhiri dengna pepatah sufi “Qalb al-mucmin bait Allah” (Hati seorang mukmin adalah tempat kediaman Tuhan).
          Satu-satunya karangan prosa Sunan Bonang yang dapat diidentifikasi sampai sekarang ialah Pitutur Seh Bari. Salah satu naskah yang memuat teks karangan prosa Sunan Bonang ini ialah MS Leiden Cod. Or. 1928. Naskah teks ini telah ditransliterasi ke dalam tulisan Latin, serta diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh Schrieke dalam disertasi doktornya Het Boek van Bonang (1911). Hoesein Djajadiningrat juga pernah meneliti dan mengulasnya dalam tulisannya ”Critische Beschouwing van de Sedjarah Banten” (1913). Terakhir naskah teks ini ditransliterasi dan disunting oleh Drewes, dalam bukunya The Admonotions of Seh Bari (1969), disertai ulasan dan terjemahannya dalam bahasa Inggris.

Suluk Wujil
            Di antara suluk karya Sunan Bonang yang paling dikenal dan relevan untuk dikemukakan ialah Suluk Wujil. Dari segi bahasa dan puitika yang digunakan, serta konteks sejarahnya dengan perkembangan awal sastra Pesisir, SW benar-benar mencerminkan zaman peralihan Hindu ke Islam (abad ke-15 dan 16 M) yang sangat penting dalam sejarah Jawa Timur. Teks SW dijumpai antara lain dalam MS Bataviasche Genotschaft 54 (setelah RI merdeka disimpan di Museum Nasional, kini di Perpustakaan Nasional Jakarta) dan transliterasinya ke dalam huruf Latin dilakukan oleh Poerbatjaraka dalam tulisannya ”De Geheime Leer van Soenan Bonang (Soeloek Woedjil)” (majalah Djawa vol. XVIII, 1938). Terjemahannya dalam bahasa Indonesia pernah dilakukan oleh Suyadi Pratomo (1985), tetapi karena tidak memuaskan, maka untuk kajian ini kami berusaha menerjemahkan sendiri teks hasil transliterasi Poerbatjaraka.
            Sebagai karya zaman peralihan Hindu ke Islam, pentingnya karya Sunan Bonang ini tampak dalam hal-hal seperti berikut: Pertama, dalam SW tergambar suasana kehidupan badaya, intelektual dan keagamaan di Jawa pada akhir abad ke-15, yang sedang beralih kepercayaan dari agama Hindu ke agama Islam. Di arena politik peralihan itu ditandai denga runtuhnya Majapahit, kerajaan besar Hindu terakhir di Jawa, dan bangunnya kerajaan Demak, kerajaan Islam pertama. Demak didirikan oleh Raden Patah, putera raja Majapahit Prabu Kertabumi atau Brawijaya V daripada perkawinannya dengan seorang puteri Cina yang telah memeluk Islam. Dengan runtuhnya Majapahit terjadilah perpindahan kegiatan budaya dan intelektual dari sebuah kerajaan Hindu ke sebuah kerajaan Islam dan demikian pula tata nilai kehidupan masyarakat pun berubah.
             Sunan Bonang sebagai seorang penulis Muslim awal dalam sastra Jawa, menunjukkan sikap yang sangat berbeda dengan para penulis Muslim awal di Sumatra. Yang terakhir sudah sejak awal huruf Jawi, yaitu huruf Arab yang disesuaikan dengan system fonem Melayu. Sedangkan Sunan Bonang dan para penulis Muslim Jawa yang awal tetap menggunakan huruf Jawa telah mapan dan dikenal masyarakat terpelajar. Sunan Bonang juga menggunakan tamsil-tamsil yang tidak asing bagi masyarakat Jawa, misalnya wayang. Selain itu bentuk tembang Jawa Kuno, yaitu aswalalita juga masih digunakan. Dengan demikian kehadiran karyanya tidak dirasakan sebagai sesuatu yang asing bagi pembaca sastra Jawa, malahan dipandangnya sebagai suatu kesinambungan. PpentingnyaSuluk Wujil karena renungan-renungannya tentang masalah hakiki di sekitar wujud dan rahasia terdalam ajaran agama, memuaskan dahaga kaum terpelajar Jawa yang pada umumnya menyukai mistisisme atau metafisika, dan seluk beluk ajaran keruhanian. SW dimulai dengan pertanyaan metafisik yang esensial dan menggoda sepanjang zaman, di Timur maupun Barat:

Inilah ceritera si Wujil
Berkata pada guru yang diabdinya
Ratu Wahdat
Ratu Wahdat nama gurunya
Bersujud ia ditelapak kaki Syekh Agung
Yang tinggal di desa Bonang
Ia  minta maaf
Ingin tahu hakikat
Dan seluk beluk ajaran agama
Ssampai rahsia terdalam

                        2
Sepuluh tahun lamanya
Sudah Wujil
Berguru kepada Sang Wali
Namun belum mendapat ajaran utama
Ia berasal dari Majapahit
Bekerja sebagai abdi raja
Sastra Arab telah ia pelajari
Ia menyembah di depan gurunya
Kemudian berkata
Seraya menghormat
Minta maaf

                                    3
“Dengan tulus saya mohon
Di telapak kaki tuan Guru
Mati hidup hamba serahkan
Sastra Arab telah tuan ajarkan
Dan saya telah menguasainya
Namun tetap saja saya bingung
Mengembara kesana-kemari
Tak berketentuan.
Dulu hamba berlakon sebagai pelawak
Bosan sudah saya
Menjadi bahan tertawaan orang

                        4
Ya Syekh al-Mukaram!
Uraian kesatuan huruf
Dulu dan sekarang
Yang saya pelajari tidak berbeda
Tidak beranjak dari tatanan lahir
Tetap saja tentang bentuk luarnya
Saya meninggalkan Majapahit
Meninggalkan semua yang dicintai
Namun  tak menemukan sesuatu apa
Sebagai penawar

                        5
Diam-diam saya pergi malam-malam
Mencari rahsia Yang Satu dan jalan sempurna
Semua pendeta dan ulama hamba temui        
Agar terjumpa hakikat hidup
Akhir kuasa sejati
Ujung utara selatan
Tempat matahari dan bulan terbenam
Akhir mata tertutup dan hakikat maut
Akhir ada dan tiada

            Pertanyaan-pertanyaan Wujil kepada gurunya merupakan pertanyaan universal dan eksistensial, serta menukik hingga masalah paling inti, yang tidak bisa dijawab oleh ilmu-ilmu lahir. Terbenamnya matahari dan bulan, akhir utara dan selatan, berkaitan dengan kiblar dan gejala kehidupan yang senantiasa berubah. Jawabannya menghasilkan ilmu praktis dan teoritis seperti fisika, kosmologi, kosmogeni, ilmu pelayaran, geografi dan astronomi.
.           Tamsil paling menonjol yang dekat dengan budaya lokal ialah wayang dan lakon perang Bala Kurawa dan Pandawa yang sering dipertunjukkan dalam pagelaran wayang.. Penyair-penyair sufi Arab dan Persia seperti  Fariduddin `Attar dan Ibn Fariedh menggunakan tamsil wayang untuk menggambarkan persatuan mistis yang dicapai seorang ahli makrifat dengan Tuhannya. Pada abad ke-11 dan 12 M di Persia pertunjukan wayang Cina memang sangat populer (Abdul Hadi W.M. 1999). Makna simbolik wayang dan layar tempat wayang dipertunjukkan, berkaitan pula dengan bayang-bayang dan cermin. Dengan menggunakan tamsil wayang dalam suluknya Sunan Bonang seakan-akan ingin mengatakan kepada pembacanya bahwa apa yang dilakukan melalui karyanya merupakan kelanjutan dari tradisi sastra sebelumnya, meskipun terdapat pembaharuan di dalamnya.
Ketika ditanya oleh Sunan Kalijaga mengenai falsafah yang dikandung pertunjukan wayang dan hubungannya dengan ajaran tasawuf, Sunang Bonang menunjukkan kisah Baratayudha (Perang Barata), perang besar antara Kurawa dan Pandawa. Di dalam pertunjukkan wayang kulit Kurawa diletakkan di sebelah kiri, mewakili golongan kiri. Sedangkan  Pandawa di sebelah kanan layar mewakili golongan kanan layar mewakili golongan kanan. Kurawa mewakili nafi dan Pandawa mewakili isbat. Perang Nafi Isbat juga berlangsung  dalam jiwa manusia dan disebut jihad besar. Jihad besar dilakukan untuk mencapai pencerahan dan pembebasan dari kungkungan dunia material.

            Sunan Bonang berkata kepada Wujil: “Ketahuilah Wujil, bahwa pemahaman yang sempruna dapat dikiaskan dengan makna hakiki pertunjukan Wayang. Manusia sempurna menggunakan ini untuk memahami dan mengenal Yang. Dalang dan wayang ditempatkan sebagai lambang dari tajalli (pengejawantahan ilmu) Yang Maha Agung di alam kepelbagaian. Inilah maknanya: Layar atau kelir merupakan alam inderawi. Wayang di sebelah kanan dan kiri merupakan makhluq ilahi. Batang pokok pisang tempat wayang diletakkan ialah tanah tempat berpijak. Blencong atau lampu minyak adalah nyala hidup. Gamelan  memberi irama dan keselarasan bagi segala kejadian. Ciptaan Tuhan tumbuh tak tehitung. Bagi mereka yang tidak mendapat tuntunan ilahi ciptaan yang banyak itu akan merupakan tabir yang menghalangi penglihatannya. Mereka akan berhenti pada wujud zahir. Pandangannya kabur dan  kacau. Dia hilang di dalam ketiadaan, karena tidak melihat hakekat di sebalik ciptaan itu.”

Kamis, 12 Desember 2013

FILSAFAT ISLAM



PENGERTIAN FILSAFAT ISLAM



Dalam buku Mulyadhi Kartanegara yang berjudul Gerbang Kearifan, beliau  mendiskusikan beberapa pandangan sarjana tentang istilah filsafat Islam. Ada yang megatakan bahwa Islam tidak pernah dan bisa memiliki filsafat yang independen. Adapun filsafat yang dikembangkan oleh para filosof Muslim adalah pada dasarnya filsafat Yunani, bukan filsafat Islam. Ada lagi yang mengatakan bahwa nama yang tepat untuk itu adalah filsafat Muslim, karena yang terjadi adalah filsafat Yunani yang kemudian dipelajari dan dikembangkan oleh para filosof Muslim.

Ada lagi yang mengatakan bahwa nama yang lebih tepat adalah filsafat Arab, dengan alasan bahwa bahasa yang digunakan dalam karya-karya filosofis mereka adalah bahasa Arab, sekalipun para penulisnya banyak berasal dari Persia, dan namanama lainnya seperti filsafat dalam dunia Islam.Adapun beliau sendiri cenderung pada sebutan filsafat Islam (Islamic philosophy), dengan setidaknya 3 alasan : 

1) Ketika filsafat Yunani diperkenalkan ke dunia Islam, Islam telah mengembangkan sistem teologi yang menekankan keesaan Tuhan dan syari’ah, yang menjadi pedoman bagi siapapun. Begitu dominannya Pandangan tauhid dan syari’ah ini,sehingga tidak ada suatu sistem apapun, termasuk filsafat, dapat diterima kecuali sesuai dengan ajaran pokok Islam tersebut (tawhid) dan pandangan syari’ah yang bersandar pada ajaran tauhid. Oleh karena itu ketika memperkenalkan filsafat Yunani ke dunia Islam, para filosof Muslim selalu memperhatikan kecocokannya dengan pandangan fundamental Islam tersebut, sehingga disadari atau tidak, telah terjadi “pengislaman” filsafat oleh para filosof Muslim.

2) Sebagai pemikir Islam, para filosof Muslim adealah pemerhati flsafat asing yang kritis. Ketika dirasa ada kekurangan yang diderita oleh filsafat Yunani, misalanya, maka tanpa ragu-ragu mereka mengeritiknya secara mendasar. Misalnya, sekalipun Ibn Sina sering dikelompokkan sebagai filosof Peripatetik, namun ia tak segan-segan mengertik pandangan Aristoteles, kalau dirasa tidak cocok dan 1menggantikannnya dengan yang lebih baik. Beberapa tokoh lainnya seperti Suhrawardi, Umar b. Sahlan al-Sawi dan Ibn Taymiyyah, juga mengeriktik sistem logika Aristotetles. Sementara al-‘Amiri mengeritik dengan pedas pandangan Empedokles tentang jiwa, karena dianggap tidak sesuai dengan pandangan Islam.

3) Adanya perkembangan yang unik dalam filsafat islam, akibat dari interaksi antara Islam, sebagai agama, dan filsafat Yunani. Akibatnya para filosof Muslim telah mengembangkan beberapa isu filsfat yang tidak pernah dikembangkan oleh para filosof Yunani sebelumnya, seperti filsafat kenabian, mikraj dsb.

b. Lingkup Filsafat Islam

Berbeda dengan lingkup filsafat modern, filsafat Islam, sebagaimana yang telah dikembangkan para filosof agungnya, meliputi bidang-bidang yang sangat luas, seperti logika, fisika, matematika dan metafisika yang berada di puncaknya. Seorang filosof tidak akan dikatakan filosof, kalau tidak menguasai seluruh cabang-cabang filosofis yang luas ini. 

c. Pandangan Filsafat yang Holistik

Satu hal lagi yang perlu didiskusikan dalam mengenal filsafat Islam ini adalah pandangannya yang bersifat integral-holistik.Integrasi ini, sebagaimana yang telah saya jelaskan dalam karya saya yang lain Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik, terjadi pada berbagai bidang, khususnya integrasi di bidang sumber ilmu dan klasifikasi ilmu. Filsafat Islam mengakui, sebagai sumber ilmu, bukan hanya pencerapan indrawi, tetapi juga persepsi rasional dan pengalaman mistik. Dengan kata lain menjadikan indera, akal dan hati sebagai sumber-sumber ilmu yang sah. Akibatnya terjadilah integrasi di bidang klasifikasi ilmu antara metafisika, fisika dan matematika, dengan berbagai macam divisinya. Demikian juga integrasi terjadi di bidang metodoogi dan penjelasan ilmiah. Karena itu filsafat Islam tidak hanya mengakui metode observasi, sebagai metode ilmiah, sebagaimana yang dipahami secara eksklusif dalam sains modern, tetapi juga metode burhani, untuk meneliti entitasentitas yang bersifat abstrak, ‘irfani, untuk melakukan persepsi spiritual dengan menyaksikan (musyahadah) secara langsung entitas-entitas rohani, yang hanya bisa dianalisa lewat akal, dan terakhir bayani, yaitu sebuah metode untuk memahami teks-teks suci, seperti al-Qur’an dan Hadits. Oleh karena itu, filsafat Islam mengakui kebasahan observasi indrawi, nalar rasional, pengalaman intuitif, dan juga wahyu sebagai sumbersumber yang sah dan penting bagi ilmu.

Hal ini penting dikemukakan, mengingat selama ini banyak orang yang setelah menjadi ilmuwan, lalu menolak filsafat dan tasawuf sebagai tidak bermakna. Atau ada juga yang telah merasa menjadi filosof, lalu menyangkal keabsahan tasawuf, dengan alasan bahwa tasawuf bersifat irrasional. Atau ada juga yang telah merasa menjadi Sufi lalu menganggap tak penting filsafat dan sains. Dalam pandangan filsafat Islam yang holistik, ketiga bidang tersebut diakui sebagai bidang yang sah, yang tidak perlu dipertentangkan apa lagi ditolak, karena ketiganya merupakan tiga aspek dari sebuah kebenaran yang sama. Sangat mungkin bahwa ada seorang yang sekaligus saintis, filosof dan Sufi, karena sekalipun indera, akal dan hati bisa dibedakan, tetapi ketiganya terintegrasi dalam sebuah pribadi. Namun, seandainya kita tidak bisa menjadi sekaligus ketiganya, seyogyanya kita tidak perlu menolak keabsahan dari masing-masing bidang tersebut, karena dalam filsafat Islam ketiga unsur tersebut dipandang sama realnya.

2.Peran Filsafat Islam dalam Dunia Modern

a.Menjawab Tantangan Kontemporer
Pada saat ini, dalam pandangan Beliau (Mulyadhi Kartanegara), umat Islam telah dilanda berbagai persoalah ilmiah filosofis, yang datang dari pandangan ilmiah-filosofis Barat yang bersifat sekuler. Berbagai teori ilmiah, dari berbagai bidang, fisika, biologi, psikologi, dan sosiologi, telah, atas nama metode ilmiah, menyerang fondasi-fondasi kepercayaan agama. Tuhan tidak dipandang perlu lagi dibawa-bawa dalam penjelasan ilmiah. Misalnya bagi Laplace (w. 1827), kehadiran Tuhan dalam pandangan ilmiah hanyalah menempati posisi hipotesa.Dan ia mengatakan, sekarang saintis tidak memerlukan lagi hipotetsa tersebut, karena alam telah bisa dijelaskan secara ilmiah tanpa harus merujuk kepada Tuhan. Baginya, bukan Tuhan yang telah bertanggung jawab atas keteraturan alam, tetapi adalah hukukm alam itu sendiri. Jadi Tuhan telah diberhentikan sebagai pemelihara dan pengatur alam. Demikian juga dalam bidang biologi, Tuhan tidak lagi dipandang sebagai pencipta hewanhewan, karena menurut Darwin (w. 1881), munculnya spesies-spesies hewan adalah karena mekanisme alam sendiri, yang ia sebut sebagai seleksi alamiah (natural selection).

Menurutnya hewan-hewan harus bertransmutasi sendiri agar ia dapat tetap survive, dan tidak ada kaitannya dengan Tuhan. Ia pernah berkata, “kerang harus menciptakan engselnya sendiri, kalau ia mau survive, dan tidak karena campur tangan sebuah agen yang cerdas di luar dirinya. Oleh karena itu dalam pandangan Darwin, Tuhan telah berhenti menjadi pencipta hewan. Dalam bidang psikologi, Freud (w. 1941) telah memandang Tuhan sebagai ilusi. Baginya bukan Tuhan yang menciptakan manusia, tetapi manusialah yang menciptakan Tuhan. Tuhan, sebagai konsep, muncul dalam pikiran manusia ketika ia tidak sanggup lagi menghadapi tantangan eksternalnya, serti bencana alam dll., maupun tantangan internalnya, ketergantungan psikologis pada figur yang lebih dominan. Sedangkan Emil Durkheim, menyatakan bahwa apa yang kita sebut Tuhan, ternyata adalah Masyarakat itu sendiri yang telah dipersonifikasikan dari nilai-nilai sosial yang ada. 

Dengan demikian jelaslah bahwa, dalam pandangan sains modern Tuhan tidak memiliki tempat yang spesial, bahkan lama kelamaan dihapus dari wacana ilmiah. Tantangan yang lain juga terjadi di bidang lain seperti bidang spiritual, ekonomi, rkologi dll. Tentu saja tantangan seperti ini tidak boleh kita biarkan tanpa kritik, atau respons kritis dan kreatif yang dapat dengan baik menjawab tantangan-tantangan tersebut secara rasional dan elegan, dan tidak semata-mata bersifat dogmatis dan otoriter. Dan di sinilah beliau melihat bahwa filsafat Islam bisa berperan sangat aktif dan signifikan.

b. Filsafat sebagai Pendukung Agama

Berbeda dengan yang dikonsepsikan al-Ghazali, di mana filsafat dipandang sebagai lawan bagi agama, beliau (Mulyadhi Kartanegara) melihat filsafat bisa kita jadikan sebagai mitra atau pendukung bagi agama. Dalam keadaan di mana agama mendapat serangan yang gencar dari sains dan filsafat modern, filsafat Islam bisa bertindak sebagai pembela atau tameng bagi agama, dengan cara menjawab serangan sains dan filsafat modern terhadap agama secara filosofis dan rasional. Karena menurut hemat saya tantangan ilmiah-filosofis harus dijawab juga secara ilmiah-filosofis dan bukan semata-mata secara dogmatis. Dengan keyakinan bahwa Islam adalah agama yang menempatkan akal pada posisi yang terhormat, saya yakin bahwa Islam, pada dasarnya bisa dijelaskan secara rasional dan logis. 

Selama ini filsafat dicurigai sebagai disiplin ilmu yang dapat mengancam agama. Ya, memang betul. Apaalagi filsafat yang selama ini kita pelajari bukanlah filsafat Islam, melainkan filsafat Barat yang telah lama tercerabut dari akar-akar metafisiknya. Tetapi kalau kita betul-betul mempelajari filsafat Islam dan mengarahkannya secara benar, maka filsafat Islam juga adalah sangat potensial untuk menjadi mitra filsafat atau bahwan pendukung agama. Di sini filsafat bisa bertindak sebagai benteng yang melindungi agama dari berbagai ancaman dan serangan ilmiah-filosofis seperti yang saya deskrisikan di atas.

Serangan terhadap eksistensi Tuhan, misalnya dapat dijawab dengan berbagai argumen adanya Tuhan yang telah banyak dikemukakan oleh para filosof Muslim, dari al-Kindi, Ibn Sina, Ibn Rusyd dll., seperti yang telah saya jelaskan antara lain dalam buku saya Menembus Batas Waktu. Serangan terhadap wahyu bisa dijawab oleh berbagai teori pewahyuan yang telah dikemukakan oleh banyak pemikir Muslim dari al-Ghazali, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Taymiyyah, Ibn Rusyd, Mulla Shadra dll.

3.Filsafat Islam di Indonesia

a. Masa Lalu
Filsafat Islam belum begitu dikenal di Indonesia, karena memang filsfat Islam baru diperkenalkan ke publik pada tahun 70-an oleh almarhum Prof. Dr. Harun Nasution dalam bukunya yang terkenal Falsafah & Mistisime dalam Islam, yang diterbitkan Bulan Bintang pada tahun 1973. Dalam buku ini pak Harun telah memperkenalkan 6 filosof Muslim yang terkenal yaitu al-Kindi, al-Razi, al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd, setelah sebelumnya ia membicarakan tentang “Kontak Pertama antara Islam dan ilmu pengetahuan serta falsafah Yunani.” Dalam buku ini pak Harun dengan singkat tetapi esensial memperkenalkan biografi dan ajaran para filosof Muslim tersebut, sehingga para mahasiswa Muslim, khususnya mahasiswa IAIN di seluruh Indonesia, telah menyadari keberadaan filsafat Islam yang sebelumnya hampir tidak pernah diperkenalkan kepada mereka. Dan dengan dijadikannya buku tersebut sebagai buku wajib, maka pak Harun boleh dikata telah berhasil memperkenalkan filsafat Islam di Indonesia ini.

Tetapi karena buku ini merupakan satu-satunya buku yang digunakan dalam matakuliah filsafat Islam selama puluhan tahun, maka timbul kesan yang keliru bahwa seakan filsafat Islam hanya menghasilkan 6 orang filosof sebagaimana yang diperkenalkan oleh Pak Harun di atas. Untunglah pada tahun 1987 Pustaka Jaya telah menerbitkan sebuah buku terjemahan yang bagus dan komprehensif tentang filsafat Islam karangan Majid Fakhry yang berjudul Sejarah Filsafat Islam, yang diterjemahkan oleh (Mulyadhi Kartanegara), sehingga dengan demikian sadarlah kita bahwa filsafat Islam telah melahirkan bukan hanya 6 filosof, sebagaimana yang telah diperkenalkan oleh Pak harun, tetapi puluhan bahkan mungkin ratusan para filosof yang tidak kalah hebatnya daripada filosof-filosof yang telah diperkenalkan sebelumnya.

Buku ini menjelaskan filsafat Islam dari sudut historis, yang meliputi paparan tentang perkembangan filsafat sebelum Islam, pada masa awal Islam, masa pertengahan dan masa modern. Dan buku ini telah menikmati posisi yang penting di universitas-universitas Islam, sebagai buku daras yang tak ada duanya pada saat itu. Mahasiswa Muslim sangat diuntungkan dengan kehadiran karya terjemahan ini, karena ia telah banyak mengubah persepsi yang keliru tentang filsafat Islam dari sudut lingkup, rentangan waktu, ajaran dll. Dengan buku ini pula kita menjadi sadar bahwa ternyata filsafat Islam tidak berhenti pada Ibn Rusyd sebagaimana dikesankan setelah membaca buku pak harun, tetapi terus hidup dan berlangsung hingga saat ini.
b. Masa Kini 
Yang di maksud dengan masa kini, adalah kurang lebih periode sepuluh tahun terkahir dari sekarang. Pada saat ini kita telah menikmati banyak informasi tentang filsafat Islam. Diterjemahkannya buku yang diedit oleh M.M. Syarif yang berjudul, History of Muslim Philosophy secara parsial ke dalam bahasa Indonesia telah memperkaya khazanah filsafat Islam di Indonesia. Tetapi tambahan informasi yang sangat signifikan terjedi setelah penerbit Mizan menerjemahkan karya besar dalam sejarah filsafat Islam yang diedit oleh Nasr dan Oliver Leaman, yang berjudul A History of Islamic Philosophy ke dalam bahasa Indonesia, dengan judul Ensiklopedia Filsafat Islam (dua jilid). Berbagai karya filosofis yang lebih spesifik (misalnya yang membahas tentang pemikiran para filosof tertentu) juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, seperti The Philosophy of Mulla Sadra yang ditulis oleh Fazlur Rahman, yang membahas beberapa aspek dari pemikiran Mulla Shadra, atau Knowledge and Illumination, karangan Hussein Ziai, yang membicarakan secara khusus filsafat iluminasi Suhrawardi. Namun sejauh ini, informasi ini lebih bersandar pada terjemahan dari karya asing, dan bukan karangan sarjana Muslim Indonesia sendiri. 
Sedikit sekali karya filsafat Islam yang ditulis oleh para penulis negeri ini. Ada misalnya buku 5 tentang Suhrawardi yang ditulis oleh sdr Amroeni, khususnya kritik Suhrawardi terhadap filsafat peripatetik,atau yang ditulis oleh M. Iqbal tentang Ibn Rusyd, sebagai bapak rasionalisme. Namun tulisan-tulisan tersebut masih bersifat studi tokoh, dan pada dasarnya diadaptasi dari sebuah tesis atau disertasi. Tidak banyak penulis Muslim Indonesia yang menulis buku pengantar terhadap filsafat Islam yang bersifat independen, kecuali pak Haidar Bagir dengan Buku Saku Filsafat Islam-nya, dan beliau (Mulyadhi Kartanegara) sendiri dengan Gerbang Kearifan-nya. 

BAB II
Filosof Islam Dan Filsafat Nya

Tidak dapat dipungkiri bahwa pemikiran filsafat Islam terpengaruh oleh filsafat Yunani. Filosof-filosof Islam banyak mengambil pikiran Aristoteles dan sangat tertarik dengan pikiran-pikiran Plotinus sehingga banyak teorinya yang diambil. Memang demikianlah keadaan orang yang datang kemudian, terpengaruh oleh orang-orang sebelumnya dan berguru kepada mereka. Kita saja yang hidup pada abad ke-20 ini, dalam banyak hal masih berhutang budi kepada orang-orang Yunani dan Romawi. Akan tetapi berguru tidak berarti mengekor dan hanya mengutip, sehingga harus dikatakan bahwa filsafat Islam itu hanya kutipan semata-mata dari Aristoteles, seperti apa yang dikatakan Renan, atau dari neo-Platonisme, seperti yang dikatakan Duhem, karena filsafat Islam telah menampung dan mempertemukan berbagai aliran pemikiran. Kalau filsafat Yunani merupakan salah satu sumbernya, maka tidak aneh kalau kebudayaan India dan Iran juga menjadi sumbernya pula.
Perpindahan dan pertukaran pikiran tidak selalu berarti berhutang budi. Sesuatu persoalan kadang-kadang dibicarakan dan diselidiki oleh orang banyak dan hasilnya dapat mempunyai bermacam-macam corak: seseorang bisa mengambil persoalan yang pernah dikemukakannya oleh orang lain sambil mengemukakan teori dan pikirannya sendiri. Spinoza misalnya, meskipun banyak mengikuti Descartes, namun ia mempunyai mazhabnya sendiri. Ibnu Sina, meskipun murid yang setia dari Aristoteles, namun ia mempunyai pikiran-pikiran yang berlainan.
Filosof-filosof Islam pada umumnya hidup dalam lingkungan dan suasana yang berbeda dari apa yang dialami oleh filosof-filosof lain, dan pengaruh-pengaruh lingkungan dan suasana terhadap jalan pikiran mereka tidak bisa dilupakan. Pada akhirnya tidaklah bisa dipungkuri bahwa dunia Islam telah berhasil membentuk suatu filsafat yang sesuai dengan prinsip-prinsip agama dan keadaan masyarakat Islam sendiri.


1.      AL-KINDI

Nama lengkapnya Abu Yusuf, Ya’kub bin Ishak Al-Sabbah bin Imran bin Al-Asha’ath bin Kays Al-Kindi. Beliau biasa disebut Ya’kub, lahir pada tahun 185 H (801 M) di Kufah. Keturunan dari suku Kays, dengan gelar Abu Yusuf  (bapak dari anak yang bernama Yusuf) nama orang tuanya Ishaq Ashshabbah, dan ayahnya menjabat gubernur di Kufah, pada masa pemerintahan Al-Mahdi dan Harun Al-Rasyid dari Bani Abbas.
Nama Al-Kindi adalah merupakan nama yang diambil dari nama sebuah suku, yaitu : Banu Kindah. Banu Kindah adalah suku keturunan Kindah, yang berlokasi di daerah selatan Jazirah Arab dan mereka ini mempunyai kebudayaan yang tinggi.
Sebagai orang yang dilahirkan di kalangan para intelektual, maka pendiidkan yang pertama-tama diterima adalah membaca Al-Qur’an, menulis, dan berhitung. Disamping itu ia banyak mempelajari tentang sastra dan agama, juga menerjemahkan beberapa buku Yunani di dalam bahasa Syiria kuno, dan bahasa Arab.
Al-Kindi mengarang buku-buku yang menganut keterangan Ibnu Al-Nadim buku yang ditulisnya berjumlah 241 dalam bidang filsafat, logika, arithmatika, astronomi, kedokteran, ilmu jiwa, politik, optika, musik, matematika dan sebagainya. Dari karangan-karangannya, dapat kita ketahui bahwa Al-Kindi termasuk penganut aliran Eklektisisme; dalam metafisika dan kosmologi mengambil pendapat Aristoteles, dalam psikologi mengambil pendapat Plato, dalam hal etika mengambil pendapat Socrates dan Plato.
Mengenai filsafat dan agama, Al-Kindi berusaha mempertemukan amtara kedua hal ini; Filsafat dan agama. Al-Kindi berpendapat bahwa filsafat adalah ilmu tentang kebenaran atau ilmu yang paling mulia dan paling tinggi martabatnya. Dan agama juga merupakan ilmu mengenai kebenaran, akan tetapi keduanya memiliki perbedaan.
Mengenai hakikat Tuhan, Al-Kindi menegaskan bahwa Tuhan adalah wujud yang hak (benar), yang bukan asalnya tidak ada menjadi ada, ia selalu mustahil tidak ada, ia selalu ada dan akan selalu ada. Jadi Tuhan adalah wujud sempurna yang tidak didahului oleh wujud yang lain, tidak berakhir wujudNya dan tidak wujud kecuali denganNya.
Unsur-unsur filsafat yang kita dapati pada pemikiran Al-Kindi ialah: 
a. Aliran Pythagoras tentang matematika sebagai jalan ke arah filsafat.
b. Pikiran-pikiran Aristoteles dalam soal-soal fisika dan metafisika, meskipun Al-Kindi tidaksependapat dengan Aristoteles tentang qadimnya alam.
c. Pikiran-pikiran Plato dalam soal kejiwaan.
d. Pikiran-pikiran Plato dan Aristoteles bersama-sama dalam soal etika.
e, Wahyu dan iman (ajaran-ajaran agama) dalam soal-soal yang berhubungan dengan Tuhan dan sifat-sifatNya.
f. Aliran Mu’tazilah dalam memuja kekuatan akal manusia dan dalam menakwilkan ayat-ayat Qur’an.
      
Haruslah diakui bahwa Al-Kindi tidak mempunyai sistem filsafat yang lengkap. Jasanya ialah karena dia adalah orang yang pertama-tama membuka pintu filsafat bagi dunia Arab dan diberinya corak Arab keislaman. Pendiri filsafat Islam yang sebenarnya ialah Al-Farabi.
2. AL-FARABI



Ia adalah Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin Tharkhan. Sebutan Al-Farabi diambil dari nama kota Farab, dimana ia dilahirkan pada tahun 257 H (870 M). Ayahnya adalah seorang Iran dan kawin dengan seorang wanita Turkestan. Kemudian ia menjadi perwira tentara Turkestan. Karena itu, Al-Farabi dikatakan berasal dari keturunan Turkestan dan kadang-kadang juga dikatakan dari keturunan Iran.
Sejak kecilnya, Al-Farabi suka belajar dan ia mempunyai kecakapan luar biasa dalam lapangan bahasa. Bahasa-bahasa yang dikuasainya antara lain bahasa Iran, Turkistan, dan Kurdistan. Nampaknya ia tidak mengenal bahasa Yunani dan Siriani, yaitu bahasa-bahasa ilmu pengetahuan dan filsafat pada waktu itu.
Setelah besar, Al-Farabi meninggalkan negerinya untuk menuju kota Baghdad, pusat pemerintahan dan ilmu pengetahuan pada masanya, untuk belajar antara lain pada Abu Bisyr bin Mattius. Selama berada di Baghdad, ia memusatkan perhatiannya kepada ilmu logika.
            
Al-Farabi luas pengetahuannya, mendalami ilmu-ilmu yang ada pada masanya dan mengarang buku-buku dalam ilmu tersebut. Buku-bukunya, baik yang sampai kepada kita maupun yang tidak, menunjukkan bahwa ia mendalami ilmu-ilmu bahasa, matematika, kimia, astronomi, kemiliteran, musik, ilmu alam, ketuhanan, fiqih, dan mantik.
Sebagian besar karangan-karangan Al-Farabi terdiri dari ulasan dan penjelasan terhadap filsafat Aristoteles, Plato, dan Galenius, dalam bidang-bidang logika, fisika, etika, dan metafisika. Meskipun banyak tokoh filsafat yang diulas pikirannya, namun ia lebih terkenal sebagai pengulas Aristoteles.
Di antara karangan-karangannya ialah:
a.       Aghradlu ma Ba’da at-Thabi’ah.
b.      Al-Jam’u baina Ra’yai al-Hakimain (Mempertemukan Pendapat Kedua Filosof; maksudnya Plato dan Aristoteles).
c.       Tahsil as-Sa’adah (Mencari Kebahagiaan).
d.      ‘Uyun al-Masail (Pokok-Pokok  persoalan).
e.       Ara-u Ahl-il Madinah al-Fadhilah (Pikiran-Pikiran Penduduk Kota Utama Negeri Utama).
f.       Ih-sha’u al-Ulum (Statistik Ilmu).
Menurut Dr. Ibrahim Madkour, filsafat Al-Farabi adalah filsafat yang bercorak spiritual-idealis, sebab menurut Al-Farabi, dimana-mana ada roh. Tuhannya adalah Roh dari segala Roh. Akal yang dikonsepsikannya yaitu ‘Uqul Mufariqah (akal yang terlepas dari benda) merupakan makhluk rohani murni, sedang kepala negeri- utamanya, menguasai badannya. Roh itu pula yang menggerakkan benda-benda langit dan mengatur alam di bawah bulan.
      
Meskipun Al-Farabi telah banyak mengambil dari Plato, Aristoteles dan Plotinus, namun ia tetap memegangi kepribadian, sehingga pikiran-pikiranya tersebut merupakan filsafat Islam yang berdiri sendiri, yang bukan filsafat stoa, atau Peripatetik atau Neo Platonisme. Memeng bisa dikatakan adanya pengaruh aliran-aliran tersebut, namun bahannya yang pokok adalah dari Islam sendiri.
3.      IBNU SINA

Ibnu Sina dilahirkan dalam masa kekacauan, dimana Khilafah Abbasiyah mengalami kemunduran, dan negeri-negeri yang mula-mula berada di bawah kekuasaan khilafah tersebut mulai melepaskan diri satu persatu untuk berdiri sendiri. Kota Baghdad sendiri, sebagai pusat pemerintahan Khilafah Abbasiyah, dikuasai oleh golongan Bani Buwaih pada tahun 334 H dan kekuasaan mereka berlangsung terus sampai tahun 447 H.
Di antara daerah-daerah yang berdiri sendiri ialah Daulah Samani di Bukhara, dan di antara khalifahnya ialah Nuh bin Mansur. Pada masanya, yaitu di tahun 340 H (980 M), di suatu tempat yang bernama Afsyana, daerah Bukhara, Ibnu Sina dilahirkan dan dibesarkan. Di Bukhara ia menghafal Qur’an dan belajar ilmu-ilmu agama serta ilmu astronomi, sedangkan usianya baru sepuluh tahun. Kemudian ia 
mempelajari matematika, fisika, logika dan ilmu metafisika. Sesudah itu ia mempelajari ilmu kedokteran pada Isa bin Yahya, seorang Masehi.
Belum lagi usianya melebihi enam-belas tahun, kemahirannya dalam ilmu kedokteran sudah dikenal orang, bahkan banyak orang yang berdatangan untuk berguru kepadanya. Ia tidak cukup dengan teori-teori kedokteran, taoi juga melakukan praktek dan mengobati orang-orang sakit.
Sebenarnya hidup Ibnu Sina tidak pernah mengalami ketenangan, dan usianya pun tidak panjang. Meskipun banyak kesibukan-kesibukannya dalam urusan politik, sehingga ia tidak banyak mempunyai kesempatan untuk mengarang, namun ia telah berhasil meninggalkan berpuluh-puluh karangan.
Karangan-karangan Ibnu Sina yang terkenal ialah:
a.       Asy-Syifa. Buku ini adalah buku filsafat yang terpenting dan terbesar dari Ibnu Sina, dan trediri dari enpat bagian, yaitu: logika, fisika, matematika, dan metafisika (ketuhanan).
b.      An-Najat. Buku ini merupakan keringkasan buku as-Syifa, dan pernah diterbitkan bersama-sama dengan buku al-Qanun dalam ilmu kedokteran pada tahun 1593 M di Roma dan pada tahun 1331 M di Mesir.
c.       Al-Isyarat wat-Tanbihat. Buku ini adalah buku terakhir dan yang paling baik, dan pernah diterbitkan di Leiden pada tahun 1892 M, dan sebagiannya diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis.
d.      Al-Hikmat al-Masyriqiyyah. Buku ini banyak dibicarakan orang, karena tidak jelasnya maksud judul buku, dan naskah-naskahnya yang masih ada memuat bagian logika.
e.       Al-Qanun, atau Canon of Medicine, menurut penyebutan orang-orang Barat. Buku ini pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan pernah menjadi buku standar untuk universitas-universitas Eropa sampai akhir abad ketujuhbelas Masehi.
Ibnu Sina memberikan perhatiannya yang khusus terhadap pembahasan kejiwaan, sebagaimana yang dapat kita lihat dari buku-buku yang khusus untuk soal-soal kejiwaan atau pun buku-buku yang berisi campuran berbagai persoalan filsafat.
      
Pengaruh Ibnu Sina dalam soal kejiwaan tidak dapat diremehkan, baik pada dunia piker Arab sejak abad kesepuluh Masehi sampai akhir abad ke-19 Masehi, terutama pada Gundissalinus, Albert the Great, Thomas Aquinas, Roger Bacon, dan Dun Scott. Bahkan juga ada pertaliannya dengan pikiran-pikiran Descartes tentang hakikat jiwa dan wujudnya.
      
Hidup Ibnu Sina penuh dengan kesibukan bekerja dan mengarang; penuh pula dengan kesenangan dan kepahitan hidup bersama-sama, dan boleh jadi keadaan ini telah mengakibatkan ia tertimpa penyakit yang tidak bisa diobati lagi. Pada tahun 428 H (1037 M), ia meninggal dunia di Hamadzan, pada usia 58 tahun.
4. AL-GHAZALI

Ia adalah Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali, bergelar Hujjatul Islam, lahir tahun 450 H di Tus, suatu kota kecil di Khurassan (Iran). Kata-kata al-Ghazali kadang-kadang diucapkan al-Ghazzali (dengan dua z). dengan menduakalikan z, kata-kata al-Ghazzali diambil dari kata-kata Ghazzal, artinya tukang pemintal benang, karena pekerjaan ayahnya ialah memintal benang wol, sedang al-Ghazali dengan satu z, diambil dari kata-kata Ghazalah, nama kampung kelahiran al-Ghazali. Sebutan terakhir ini yang banyak dipakai.
Al-Ghazali pertama-tama belajar agama di kota Tus, kemudian meneruskan di Jurjan, dan akhirnya di Naisabur pada Imam al-Juwaini, sampai yang terakhir ini wafat tahun 478 H/1085 M. kemudian ia berkunjung kepada Nidzam al-Mulk di kota Mu’askar, dan dari padanya ia mendapat kehormatan dan penghargaan yang besar, sehingga ia tinggal di kota itu  enam tahun lamanya. Pada tahun 483 H/1090 M, ia diangkat menjadi guru di sekolah Nidzamah Baghdad, dan pekerjaannya itu dilaksanakan dengan sangat berhasil. Selama di Baghdad, selain  mengajar, juga mengadakan bantahan-bantahan terhadap pikiran-pikiran golongan Bathiniyah, Isma’iliyyah, golongan filsafat dan lain-lain.
Pengaruh al-Ghazali di kalangan kaum Muslimin besar sekali, sehingga menurut pandangan orang-orang ahli ketimuran (Orientalis), agama Islam yang digambarkan oleh kebanyakan kaum Muslimin berpangkal pada konsepsi al-Ghazali.
Al-Ghazali adalah seorang ahli pikir Islam yang dalam ilmunya, dan mempunyai nafas panjang dalam karangan-karangannya. Puluhan buku telah ditulisnya yang meliputi berbagai lapangan ilmu, antara lain Teologi Islam (Ilmu Kalam), Hukum Islam (Fiqih), Tasawuf, Tafsir, Akhlak dan adab kesopanan, kemudian autobiografi. Sebagian besar dari buku-buku tersebut diatas dalam bahasa Arab dan yang lain ditulisnya dalam bahasa Persia.
Karyanya yang terbesar yaitu Ihya ‘Ulumuddin yang artinya “Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama”, dan dikarangnya selama beberapa tahun dalam keadaan berpindah-pindah antara Syam, Yerussalem, Hijjaz dan Tus, dan yang berisi tentang paduan yang indah antara fiqih, tasawuf dan filsafat, bukan saja terkenal di kalangan kaum Muslimin, tetapi juga di kalangan dunia Barat dan luar Islam.
Bukunya yang lain yaitu al-Munqidz min ad-Dlalal (Penyelamat dari Kesesatan), berisi sejarah perkembangan alam pikirannya dan mencerminkan sikapnya yang terakhir terhadap beberapa macam ilmu, serta jalan untuk mencapai Tuhan. Diantara penulis-penulis modern banyak yang mengikuti jejak al-Ghazali dalam menuliskan autobiografi.
Pikiran-pikiran al-Ghazali telah mengalami perkembangan sepanjang hidupnya dan penuh kegoncangan batin, sehingga sukar diketahui kesatuan dan kejelasan corak pemikirannya, seperti yang terlihat dari sikapnya terhadap filosof-filosof dan terhadap aliran-aliran akidah pada masanya.
            
Namun demikian, al-Ghazali telah mencapai hakikat agama yang belum pernah diketemukan oleh orang-orang  yang sebelumnya dan mengembalikan kepada agama nulai-nilai yang telah hilang tidak menentu. Jalan yang terdekat kepada Tuhan ialah jalan hati dan dengan demikian ia telah membuka pintu Islam seluas-luasnya untuk tasawuf.

Pengaruh al-Ghazali besar sekali di kalangan kaum  Muslimin sendiri sampai sekarang ini, sebagaimana juga di kalangan tokoh-tokoh pikir abad pertengahan bahkan juga sampai pada tokoh-tokoh pikir abad modern.
5. IBNU BAJAH

Ia adalah Abu Bakar Muhammad bin Yahya, yang terkenal dengan sebutan Ibnus-Shaigh atau Ibnu Bajah. Orang-orang Eropa pada abad-abad pertengahan menamai Ibnu Bajah dengan “Avempace”, sebagaimana mereka menyebut nama-nama Ibnu Sina, Ibnu Gaberol, Ibnu Thufail dan Ibnu Rusyd, masing-masing dengan nama Avicenna, Avicebron, Abubacer, dan Averroes.

Ibnu Bajah dilahirkan di Saragosta pada abad ke-11 Masehi. Tahun kelahirannya yang pasti tidak diketahui, demikian pula masa kecil dan masa mudanya. Sejauh yang dapat dicatat oleh sejarah ialah bahwa ia hidup di Serville, Granada, dan Fas; menulis beberapa risalah tentang logika di kota Serville pada tahun 1118 M, dan meninggal dunia di Fas pada tahun 1138 M ketika usianya belim lagi  tua. Menurut satu riwayat, ia meninggal dunia karena diracuni oleh seorang dokter yang iri terhadap kecerdasan, ilmu, dan ketenarannya.
Buku-buku yang ditinggalkannya ialah:  
a.       Beberapa risalah dalam ilmu logika, dan sampai sekarang masih tersimpan di perpustakaan Escurial (Spanyol).
b.      Risalah tentang jiwa.
c.       Risalah al-Ittisal, mengenai pertemuan manusia dan akal-faal.
d.      Risalah al-Wada’, berisi uraian tentang penggerak-pertama bagi manusia dan tujuan yang sebenarnya bagi wujud manusia dan alam.
e.       Beberapa risalah tentang ilmu falak dan ketabiban.
f.       Risalah Tadbir al-Mutawahhid.
g.      Beberapa ulasan terhadap buku-buku filsafat, antara lain dari Aristoteles, al-Farabi, Porphyrus, dan sebagainya.
Menurut Carra de Vaux, di perpustakaan Berlin ada 24 risalah manuskrip karangan Ibnu Bajah. Diantara karangan-karangannya itu yang paling penting ialah risalah Tadbir al-Mutawahhid yang membicarakan usaha-usaha orang yang menjauhi segala macam keburukan masyarakat, yang disebutnya Mutawahhid, yang berarti “penyendiri”. Isi risalah tersebut cukup jelas, sehingga memungkinkan kita dapat mempunyai gambaran tentang usaha si penyendiri tersebut untuk dapat bertemu dengan akal-faal dan menjadi salah satu unsur pokok bagi negeri idam-idamannya.
      
Ibnu Bajah telah memberi corak baru terhadap filsafat Islam di negeri Islam barat dalam teori ma’rifat (epistemology, pengetahuan), yang berbeda sama sekali dengan corak yang telah diberikan oleh al-Ghazali di dunia timur Islam, setelah ia dapat menguasai dunia pikir sepeninggal filosof-filosof Islam.

6. IBNU THUFAIL

Ia adalah Abubakar Muhammad bin Abdul Malik bin Thufail, dilahirkan di Wadi Asy dekat Granada, pada tahun 506 H/1110 M. kegiatan ilmiahnya meliputi kedokteran, kesusasteraan, matematika dan filsafat. Ia menjadi dokter di kota tersbut dan berulangkali menjadi penulis penguasa negerinya. Setelah terkenal, ia menjadi dokter pribadi Abu Ya’kub Yusuf al-Mansur, khalifah kedua daru daulah Muwahhidin. Dari al-Mansur ia memperoleh kedudukan yang tinggi dan dapat mengumpulkan orang-orang pada masanya di istana Khalifah itu, di antaranya ialah Ibnu Rusyd yang diundang untuk mengulas buku-buku karangan Aristoteles.

Buku-buku biografi menyebutkan beberapa karangan dari Ibnu Thufail yang menyangkut beberapa lapangan filsafat, seperti filsafat fisika, metafisika, kejiwaan dan sebagainya, disamping risalah-risalah (surat-surat) kiriman kepada Ibnu Rusyd. Akan tetapi karangan-karangan tersebut tidak sampai kepada kita, kecuali satu saja, yaitu risalah Hay bin Yaqadhan, yang merupakan intisari pikiran-pikiran filsafat Ibnu Thufail, dan yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Suatu manuskrip di perpustakaan Escurrial yang berjudul Asrar al-Hikmat ai-Masyriqiyyah (Rahasia-rahasia Filsafat Timur) tidak lain adalah bagian dari risalah Hay bin Yaqadhan.
          
Ibnu Thufail tergolong filosof dalam masa Skolastik Islam. Pemikiran kefilsafatannya cukup luas, termasuk metafisika. Dalam pencapaian Ma’rifatullah, Ibnu Thufail menempatkan sejajar antara akal dan syari’at. Pemikiran tersebut sebenarnya merupakan upaya yang tidak pada tempatnya, sebab syari’at sumbernya adalah wahyu (yakni : dari Tuhan), sedangkan akal merupakan aktifitas manusiawi. Akal manusia sebenarnya hanyalah dampak mencari alasan rasional bagi syari’at mengenai dalil-dalil adanya Tuhan.

7. IBNU RUSYD

Nama lengkapnya Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Rusyd, lahir di Cordova pada tahun 520 H. Ia berasal dari kalangan keluarga besar yang terkenal dengan keutamaan dan mempunyai kedudukan tinggi di Andalusia (Spanyol). Ayahnya adalah seorang hakim, dan kakeknya yang terkenal dengan sebutan “Ibnu Rusyd kakek” (al-Jadd) adalah kepala hakim di Cordova.
Ibnu Rusyd adalah seorang ulama besar dan pengulas yang dalam terhadap filsafat Aristoteles. Kegemarannya terhadap ilmu sukar dicari bandingannya, karena menurut riwayat, sejak kecil sampai tuanya ia tidak pernah terputus membaca dan menelaah kitab, kecuali pada malam ayahnya meninggal dan dalam perkawinan dirinya.

Karangannya meliputi berbagai ilmu, seperti: fiqih, ushul, bahasa, kedokteran, astronomi, politik, akhlak, dan filsafat. Tidak kurang dari sepuluh ribu lembar yang telah ditulisnya. Buku-bukunya adakalanya merupakan karangan sendiri, atau ulasan, atau ringkasan. Karena sangat tinggi penghargaannya terhadap Aristoteles, maka tidak mengherankan kalau ia memberikan perhatiannya yang besar untuk mengulaskan dan meringkaskan filsafat Aristoteles. Buku-buku lain yang telah diulasnya ialah buku-buku karangan Plato, Iskandar Aphrodisias, Plotinus, Galinus, al-Farabi, Ibnu Sina, al-Ghazali, dan Ibnu Bajah.
Buku-bukunya yang lebih penting dan yang sampai kepada kita ada empat, yaitu:
c.       Bidayatul Mujtahid, ilmu fiqih. Buku ini bernilai tinggi, karena berisi perbandingan mazhabi (aliran-aliran) dalam fiqih dengan menyebutkan alasannya masing-masing.
d.      Faslul-Maqal fi ma baina al-Hikmati was-Syari’at min al-Ittisal (ilmu kalam). Buku ini dimaksudkan untuk menunjukkan adanya persesuaian antara filsafat dan syari’at, dan sudah pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman pada tahun 1895 M oleh Muler, orientalis asal Jerman.
e.       Manahijul Adillah fi Aqaidi Ahl al-Millah (ilmu kalam). Buku ini menguraikan tentang pendirian aliran-aliran ilmu kalam dan kelemahan-kelemahannya, dan sudah pernah  diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman, juga oleh Muler, pada tahun 1895 M.
f.       Tahafut at-Tahafut, suatu buku yang terkenal dalam lapangan filsafat dan ilmu kalam, dan dimasukkan untuk membela filsafat dari serangan al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falasifah. Buku Tahafut at-Tahafut berkali-kali diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman, dan terjemahannya ke dalam bahasa Inggris oleh van den Berg yang terbit pada tahun 1952 M.
Ibnu Rusyd adalah tokoh pikir Islam yang paling kuat, paling dalam pandangannya, paling hebat pembelaannya terhadap akal dan filsafat, sehingga ia benar-benar menjadi filosof-pikiran dikalangan kaum Muslimin.

Pada garis besar filsafatnya, ia mengikuti Aristoteles dan berusaha mengeluarkan pikiran-pikirannya yang sebenarnya dari celah-celah kata-kata Aristoteles dan ulasan-ulasannya. Ia juga berusaha menjelaskan pikiran tersebut dan melengkapkannya, terutama dalam lapangan ketuhanan, di mana kemampuannya yang tinggi dalam mengkaji berbagai persoalan dan dalam mempertemukan antara agama dengan filsafat nampak jelas kepada kita.

Ketika hendak meninggal, beliau (Ibnu Rusyd) mengeluarkan kata-katanya yang terkenal:
“Akan mati rohku karena matinya filosof”.
BAB III
KESIMPULAN

Dunia Islam telah berhasil membentuk suatu filsafat yang sesuai dengan prinsip-prinsip agama dan keadaan masyarakat Islam sendiri. Nama Al-Kindi adalah merupakan nama yang diambil dari nama sebuah suku, yaitu : Banu Kindah. Banu Kindah adalah suku keturunan Kindah, yang berlokasi di daerah selatan Jazirah Arab dan mereka ini mempunyai kebudayaan yang tinggi.

Mengenai filsafat dan agama, Al-Kindi berusaha mempertemukan amtara kedua hal ini; Filsafat dan agama. Al-Kindi berpendapat bahwa filsafat adalah ilmu tentang kebenaran atau ilmu yang paling mulia dan paling tinggi martabatnya. Dan agama juga merupakan ilmu mengenai kebenaran, akan tetapi keduanya memiliki perbedaan.

Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin Tharkhan. Sebutan Al-Farabi diambil dari nama kota Farab, dimana ia dilahirkan pada tahun 257 H (870 M). Sebagian besar karangan-karangan Al-Farabi terdiri dari ulasan dan penjelasan terhadap filsafat Aristoteles, Plato, dan Galenius, dalam bidang-bidang logika, fisika, etika, dan metafisika. Meskipun banyak tokoh filsafat yang diulas pikirannya, namun ia lebih terkenal sebagai pengulas Aristoteles.

Di tahun 340 H (980 M), di suatu tempat yang bernama Afsyana, daerah Bukhara, Ibnu Sina dilahirkan dan dibesarkan. Di Bukhara ia menghafal Qur’an dan belajar ilmu-ilmu agama serta ilmu astronomi, sedangkan usianya baru sepuluh tahun. Kemudian ia mempelajari matematika, fisika, logika dan ilmu metafisika. Sesudah itu ia mempelajari ilmu kedokteran pada Isa bin Yahya, seorang Masehi.

Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali, bergelar Hujjatul Islam, lahir tahun 450 H di Tus, suatu kota kecil di Khurassan (Iran). Al-Ghazali adalah seorang ahli pikir Islam yang dalam ilmunya, dan mempunyai nafas panjang dalam karangan-karangannya. Puluhan buku telah ditulisnya yang meliputi berbagai lapangan ilmu, antara lain Teologi Islam (Ilmu Kalam), Hukum Islam (Fiqih), Tasawuf, Tafsir, Akhlak dan adab kesopanan, kemudian autobiografi. Sebagian besar dari buku-buku tersebut diatas dalam bahasa Arab dan yang lain ditulisnya dalam bahasa Persia. Abubakar Muhammad bin Yahya, yang terkenal dengan sebutan Ibnus-Shaigh atau Ibnu Bajah.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Bulan Bintang, Jakarta : 1996
Sudarsono, Ilmu Filsafat – Suatu Pengantar, Rineka Cipta, Jakarta : 2001
Mulyadhi Kartanegara, Masa Depan Filsafat Islam “antara cita dan fakta”..Sebuah Paper