Kamis, 18 September 2014

SEJARAH LAHIR DAN PERBANDINGAN MADZHAB


Munculnya Madzhab
Oleh:Muamar Anis





A.SEJARAH LAHIRNYA MADZHAB
Secara umum, proses lahirnya madzhab yang paling utama adalah faktor usaha para murid imam mazhab yang menyebarkan dan menanamkan pendapat para imam kepada masyarakat dan juga disebabkan adanya pembukuan pendapat para imam mazhab sehingga memudahkan tersebarnya pendapat tersebut dikalangan masyarakat. Karena pada dasarnya, para imam mazhab tidak mengakui atau mengklaim sebagai “mazhab”. Secara umum, mazhab berkaitan erat dengan “nama imam” atau “tempat”.
Demikian pula analisis Nurcholish Madjid, bahwa suatu hal yangamat penting diperhatikan ialah adanya kaitan suatu aliran pikiran dengan tempat dan “nama”. Telah disebutkan adanya dua aliran pokok. Irak dan Hijaz. Namun, diantaranya keduanya, dan dalam diri tiap-tiap aliran besar itu terdapat nuansa yang cukup berarti, dan cukup penting diperhatikan. Nuansa itu tercermin dalam ketokohan sarjana atau ‘ulama’ yang mendominasi suasana intelektual suatu tempat.
Berikut ini adalah proses lahirnya mazhab dari perjalanan masa sahabat, tabi’in hingga munculnya mazhab-mazhab fiqh, berdasarkan pendapat Syekh Khudari Bek,[1]
Di Madinah terdapat cukup banyak sarjana, antara lain :
Sa’id ibn Al-Musayyib al-Makhzumi. Lahir dua tahun kekhalifahan ‘Umar dan sempat belajar dari para pembesar sahabat Nabi. Banyak meriwayatkan hadits yang bersambung dengan Abu Hurairah. Al-Hasan al-Bashri banyak berkonsultasi dengannya.
Urwah ibn al-Zubair ibn Al-‘Awwam. Lahir pada masa kekhalifahan Utsman.
Abu Bakar ibn ‘Abd al-Rahman ibn Al-Harits ibn Hisyam al-Makhzumi. Lahir pada masa kekhalifahan Umar. Terkenal sangat saleh sehingga digelari “Pendeta Quraisy
Ali Ibn al-Husayn ibn Ali ibn Abi Thalib al-Hasyimi
Ubaydillah ibn Abdullah ibn Utsbah ibn Mas’ud.
Salim Ibn Abdullah ibn Umar
Sulaeman Ibn Yasar, Klien Maymunah
Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakr.
Nafi’, klien ‘Abdu Allah ibn Umar belajar dari patronya sendiri, dan dari ‘Aisyah, Abu Hurairah dan lainnya.
Muhammad ibn Muslim, yang terkenal dengan IBN Syihab az-Zuhri.
Abu Ja’far Ibn Muhammad Ibn Ali al-Husain, yang dikenal dengan sebutan al-Baqir.

Di Mekah terdapat beberapa sarjana terkenal diantaranya :
Abdullah Ibn Abbas ibn Abd Muthalib.
Mujahid ibn Jabr, klien Bani Makhzum.
Ikrimah, klien Ibn Abbas
Atha ibn Rabbah

Dari kalangan warga Kufah terdapat antara lain :
‘Alqamah ibn Qays an-Nakh’ai. Lahir pada masa Nabi masih hidup, dan belajar dari Umar, Utsman, Ibn Mas’ud, Ali dan lainnya.
Masruq ib Al-Ajda’ al-Hamdani.
Al-Aswab ibn Yazid an-Nakha’i, dan Ibrahim ibn Yazid an-Nakha’i.
‘Amri ibn Syarahil Asy-Sya’bi.

Kemudian, dari Basrah terdapat tokoh-tokoh, antara lain :
Anas ibn Malik al-Anshari. Seorang khadam, karena ia sahabat Nabi sejak Hijrah sampai wafat.
Abu al-Aliyah Rafi’ ibn Mahran Ar-Riyahi.
Al-Hasan ibn Abi Al-Hawsan Yassar, lien Zaid ibn Tsabit.
Abu Asy-Syaitsar’, Jabir ibn`  Zaid, kawan Ibn ‘Abbas.
Muhammad Ibn Sirin, klien Anas ibn Malik.
Qatadah Ibn Da’aman ad-Dusi.

Dari daerah Syam (Syiria), beberapa tokoh ahli hukum adalah Abdur-Rahman ibn Gharim Al-Asy’ari, Abu Idris al-Khulani, Qabishah ibn Dzu’ayb, Makhul Ibn Abi Muslim, Raja Ibn Hayah al-Kindi, dan lain-lain. Namun yang paling penting dari para sarjana Syam ialah Khalifah Umar ibn Abd al-‘Aziz, terkenal sebagai Umar II dan banyak dipandang sebagai khalifah kelima dari al-Khulafa’ al-Rasyidin. Dialah yang mengukuhkan tarbi dan mensponsori secara resmi usaha penulisan sunnah atau hadits. Dia wafat pada 101 H.
Di Jazirah Arabia sebelah selatan, yaitu Yaman, juga banyak muncul sarjana dengan pengaruh yang jauh keluar dari batasan daerahnya sendiri. Mereka antara lain, Thawus ibn Kaysan al-Jundi yang belajar dari Zaid Ibn Tsabit, ‘Aisyah, Abu Hurairah, dan lainnya.
Tokoh-tokoh ahli hukum tersebut, berikut kegiatan ilmiah serta pengajarannya telah mendorong tumbuhnya banyak spesialis hukum angkatan berikutnya, seperti al-Auza’i, Sufyan Ats-Tsauri, al-Laits ibn Sa’d, dan lainnya.
Dari mata rantai sejarah ini jelas terlihat korelasi pemikiran fiqh dari zaman sahabat, tabi’in hingga munculnya mazhab-mazhab fiqh pada periode selanjutnya, meskipun jumlah mazhab tidak terbatas kepada empat besar, Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali.
Thaha Jabir Fayadl al-Ulwani, menjelaskan bahwa mazhab fiqh Islam yang muncul setelah sahabat dan kibar al-Tabi’in berjumlah 13 aliran. Tiga belas aliran ini beraliran ahl al-sunnah. Akan tetapi, tidak semua aliran tersebut dapat diketahui dasar-dasar dan metode istinbath hukum yang digunakan kecuali sembilan atau sepuluh dari ketiga belas iman tersebut diantaranya aliran tersebut adalah :
Abu Sa’id al-Hasan Ibn Yasar al-Bashri
Abu Hanifah al-Nu’man
Al Auza’i Abu ‘Amr Abdur Rahman Ibn Amr Ibn Muhammad
Sufyan Ibn Sa’id Ibn Masruq Ats-Tauri
Al-Laits Ibn Sa’d
Malik Ibn Anas Al-Bahi
Sufyan Ibn Uyainah
Muhammad Ibn Idris Asy-Syafi’i
Ahmad ibn Muhammad Ibn Hanbal
Daud Ibn ‘Ali al-Ashbahani al-Baghdadi
Ishaq ibn Rahawaih
Abu Tsaur Ibrahim ibn Kahlid al-Kalabi
Secara umum tiap-tiap mazhab memiliki ciri khas tersendiri karena para pembinanya berbeda pendapat dalam menggunakan metode penggalian hukum. Namun, perbedaan itu hanya terbatas pada masalah-masalah furu’, bukan masalah-masalah prinsipil atau pokok syari’at. Mereka sependapat bahwa semua sumber atau dasar syari’at adalah al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Semua hukum yang berlawanan dengan kedua sumber tersebut wajib ditolak dan tidak diamalkan. Mereka juga saling menghormati satu sama lain, selama yang bersangkutan berpendapat sesuai dengan garis-garis yang ditentukan oleh syari’at Islam.
Perkembangan berbagai mazhab, selain didukung oleh fuqaha serta para pengikut mereka, juga mendapat pengaruh dan dukungan dari kekuasaan politik. Ada yang masih berkembang dan ada pula yang punah. Sebaran mazhab yang masih berkembang dapat dilihat dari beberapa negara berikut : Mazhab Hanafi di Kufah, Irak, Khurasan, Turki, Afganistan, Asia Tengah, Pakistan, India, Irak, Brazil, Amerika Latin, dan Mesir; Mazhab Maliki di Hijaz, Basrah Mesir, Afirka Utara, Andalusia, Maroko, Sudah, Kuwait, Qathar dan lainnya. Mazhab Hanbali di Arab Saudi, SIRI, Baghdad dan beberapa negara negeri di bagian Afrika; Mazhab Syi’ah di Iran, Irak, Turki, Syria, dan Afganistan.

B.SEJARAH ILMU PERBANDINGAN MAZHAB
Sejarah menunjukkan, sebagian kaum muslimin telah menyadari bahwa kemunduran yang melanda dirinya sendiri merupakan akibat dari perpecahan umat. Oleh karena itu, mereka mulai menyerukan persatuan dan penyingkiran sebab-sebab yang menimbulkan perpecahan diantara penganut satu din, satu kiblat, dan satu aqidah.
Semuai ni dapat terlihat, terutama setelah periode keemasan fiqh. Setelah terlena dan ternina-bobokan oleh perkembangan fiqh yang begitu pesat, yang akhirnya merasa tidak perlu lagi melakukan pelacakan hukum, fanatisme mazhab muncul sangat kuat di mana setiaop orang untuk mengamalkan ajarannya terpaku pada imam mazhab yang dipegangnya.
Dalam pandangan Muni’im A. Sirry, ironisnya, para pengikut mazhab tersebut “memerangi’ ulama-ulama yang mencoba mengembangkan ijtihad. Para ulama tersebut dituduk macam-macam seperti dituduh akan emmbuat ‘mazahb baru’ melanggar konsensus umum, dan bahkan sering divonis sebagai penyebar ‘bid’ah’. Perlakuan atau respons yang dilakukan para pengikut mazhab yang fanatik buta tersebut ditempuh dengan cara tidak adil dan semena-mena. Hal itu dialami oleh Izzudin Abdul Salam, Ibn Taimiyah, ibnu Qayim, Syaukani, Jamaluddin Al-Qasimi dan ulama Islam lainnya.
Oleh karena itu untuk mewujudkan kembali persatuan umat ini ialah melakukan pendekatan antarmazhab, untuk diluruskan dan diatur dalam satu barisan. Pendekatan inilah yang dijadikan pertimbangan oleh para ulama Al-Azhar dalam pengambilan keputusan perluasan pengkajian perbandingan fiqh pada Fakultas Syafi’ah al-Azhar. Pengkajian tidak hanya terbatas pada pengertian nama-nama firqah yang ada, namun lebih dari itu, kajian itu menelusur jauh ke dalam ‘lubuk’ perbedaan tiap firqah dalam hal yang berkaitan dengan akidah, pandangan dasar dan pemahaman dalam masalah fari’iyah. Hal ini merupakan langkah yang sangat tepat dalam rangka mewujudkan cita-cita yang luhur, yakni mewujudkan uamt yang satu yang bisa saja berbeda pandangan dan pendapat, namun tetap dalam satu ass dan tujuan yang sama.
Pola perbandingan ini sebenarnya sudah ada semenjak dahulu. Para fuqaha yang berjasa merintis ilmu dan diantaranya ; ibnu Rusd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid, Ibn Qudamah dalam kitabnya al-Mughni, Imam Nawawi dalam Kitbnya, Al-Majmu, dan Ibnu Hajm dalam kitabnya al-Muhalla. Begitu pula, para ulama yang mempergunakan pola perbandingan ini; Ibn Hajr dalam kitabnya Syarah Bukhari, Imam Nawawi dalam kitabnya Syarah Muslim, Asy-Syaukani dalam kitabnya Nailul Authar dan San’ani dalam kitabnya Subulus Salam.
Meskipun diatas telah mempergunakan metode perbandingan, kitab-kitab tersebut belum membentuk suatu ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri, hanya merupakan sampingan atau sebagai perbandingan sekilas saja dalam pembahasan-pembahasan fiqh atau hadits. Disamping secara akademik, syarat menjadi ilmu adalah terpenuhi unsur-unsur ; ontologis, epistemologi, dan aksiologi.
Al-Maragi adalah orang pertama yang mengusulkan adanya mata kuliah perbandingan mazhab di fakultas-fakultas di Universitas al-Azhar. Usul itu diterima dan ditetapkan menjadi mata kuliah pada tingkat empat di fakultas Syari’ah. Bahkan, suatu lembaga peninjau undang-undang telah dibentuk yang dipimpin langsung oleh al-Maraghi. Lembaga ini mengkaji hukum keluarga dengan memilih diantara pendapat-pendapat ulama yang sesuai dan tekuat, bahkan mencela taqlid.

KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa : proses lahirnya mazhab pada dasarnya adalah usaha para murid imam Mazhab yang menyebarkan dan menanamkan pendapat para imam kepada masyarakat dan juga disebabkan adanya pembukuan pendapat para imam mazhab sehingga memudahkan tersebarnya di kalangan masyarakat karena para imam mazhab tersebut tidak mengakui atau mengklaim sebagai ‘mazhab’.
Sejarah lahirnya mazhab fiqh dimulai dari dua aliran fiqh; ahlu ar-ra’yu dan ahlu al-hadits, atau dikenal pula dengan sebutan madrasah al-Hadits dan madrasah ar-Ra’yu. Madrasah al-hadits kemudian dikenal juga dengan sebutan madrasah al-Hijaz dikenal sangat kuat berpegang pada hadits karena mereka banyak mengetahui hadits-hadits Rasulullah, disamping kasus-kasus yang mereka hadapi bersifat sederhana dan pemecahannya tidak banyak memerlukan logika dalam berijtihad. Adapun madrasah al-Iraq dalam menjawab permasalahan hukum lebih banyak menggunakan logika dalam beijtihad. Disamping keberadaan mazhab ini jauh dari madinah sebagaipusat hadits dengan kata lain, hadits-hadits Rasulullah yang sampai pada mereka terbatas, sedangkan kasus-kasus yang mereka hadapi jauh lebih berat dan beragam, baik secara kualitas maupun kuantitas, dibandingkan dengan yang dihadapi madrasah al-Hijaz.
Perkembangan selanjutnya, mazhab terbagi tiga besar sampai sekarang; Sunnni, Syi’ah dan Khawarij. Sejarah perbandingan mazhab didasarkan kepada upaya menjernihkan akidah sebagai dasar utama kekuatan umat Islam. Penjernihan yang dimaksud adalah penafian ajaran Islam dari berbagai praktik penyelewengan dan pemahaman sesat yang disebabkan oleh fanatisme mazhab, suku atau ras. Karena Islam bukan hanya bisa dipahami oleh satu kelompok atau hanya diberikan kepada satu kelompok sja. Islam adalah agama universal. Hal itu dibuktikan dengan fakta sejarah bahwa pengikut mazhab tertentu berselisih bahkan bermusuhan dengan mazhab lain karena satu masalah yang sama.


DAFTAR PUSTAKA

Syekh Muhammad Al-Hudhari Bek, Tarikh At-Tasyri’ Al-Islami, Beirut : Dar Al-Fikr, 1387/1968.

[1] Syekh Muhammad Al-Hudhari Bek, Tarikh At-Tasyri’ Al-Islami, Beirut : Dar Al-Fikr, 1387/1968, hlm. 126 – 141.

Senin, 30 Juni 2014

AJARAN JALAN TENGAH DALAM FALSAFAH TIONGKOK

CHUNG YUNG:
AJARAN TENTANG JALAN TENGAH

Oleh:MUAMAR ANIS


             Ajaran Jalan Tengah dalam falsafah Tiongkok dikemukakan oleh Konfucius, nama Latin untuk Kong Hu Cu atau Kon Fu Tze, seorang filosof abad ke-6 SM yang hidup sezaman dengan Lao Tze. Dia menguraikan ajarannya itu dalam kitab yang diberi judul Lun Yu atau Analects. Menurutnya pencapaian tertinggi kehidupan orang yang bermoral ialah mencapai keseimbangan dan keselarasan. Keseimbangan dan keselarasan ini dibawa ke dalam kehidupan sosial bersamaan dengan matangnya pribadi seseorang dan tingkat kearifan serta kebajikan yang dimilikinya. Ajaran tentang keselarasan ini disebut chung yung atau ’jalan tengah’. Bagaimana arti chung yung  yang sebenarnya, dapat diketahui dengan mencari batasan-batasan atau takrifnya yang memuaskan.
             Dalam bahasa Inggris kata-kata ’chung yung’ sering diterjemahkan sebagai ’golden mean’ atau ’central harmony’.  Ini menunjuk pada kenyataan bahwa yang diajarkan Konfusius ialah ’bagaimana berbuat baik tanpa mempersoalkan mengapa kita harus berbuat baik’. Artinya bagaimana seseorang melakukan kebajikan atau berbuat disertai perasaan tulus atau ikhlas, tanpa mempertimbangkan untung ruginya.
            Namun yang mengembangkan ajaran ini ialah Meng Tze (Mencius) dan Hun Tze, dua tokoh Konfusianis yang mempunyai jalan pikiran berbeda tentang kodrat manusia. Kedua tokoh inilah yang memberi landasan psikologis terhadap ajaran Jalan Tengah-nya Konfusius.

Chung Yung dan Jen atau Kemanusiaan
            Dalam kitabnya Lun Yu atau dalam bahasa Inggris disebut Analects, Konfusius (551-479 M) mengemukakan konsep jen, yang segera menjadi gagasan utama dalam falsafah Cina. Secara umum kata jen diartikan sebagai kemanusiaan, humanitas atau rasa kemanusiaan. Secara falsafah jen  kerap diartikan sebagai kemampuan mengendalikan diri dan upaya kembali ke asas kehidupan yang kodrati (li). Sayangnya Konfusius tidak memberikan takrif yang luas dan juga jarang menelaah  jen secara panjang lebar dan rinci. Namun secara tersirat ia mengemukakan bahwa jen  mencakup pengertian tentang ikhtiar manusia dalam merealisasikan dirinya dan menciptakan tatanan sosial yang tertib.
            Di antara cakupan yang lebih luas dari gagasan jen ialah ’sikap hormat terhadap kehidupan pribadi, bersungguh-sungguh menangani persoalan dan setia menjalankan tugas serta kewajiban berkenaan dengan kehidupan sosial’. Menurut Konfusius, ”Orang yang melaksanakan jen bertujuan membangun sifat dan wataknya sendiri, dan juga berusaha membangun watak dan kepribadian orang lain. Berkeinginan dirinya berhasil, berarti berkeinginan pula menolong orang lain berhasil.  Dengan perkataan lain, orang yang melaksanakan jen, melaksanakan pula kemanusiaan dan mencintai semua orang sebagaimana mencintai dirinya sendiri. Indvidualisme dan altruisme menyatu dalam dirinya.
           Sebagaimana istilah-istilah konseptual lain seperti li (asas, prinsip hidup yang kodrati), ch’i (kekuatan material,energi) dan lain-lain, jen dikaitkan pula dengan berbagai aspek kehidupan termasuk seni pemerintahan, kedokteran, ilmu masak memasak, seni puisi dan musik. Kadang-kadang jen diartikan sebagai ’kebaikan’, tercermin dari  istilah-istilah seperti neng jen artinya kemampuan menjadi baik, dan jen-tzu yang artinya ialah kuil kebaikan. Kebaikan seseorang terlihat bukan hanya dalam kata-kata, tetapi dalam perbuatan dan akibat langsung dari sebuah perbuatan. Konfusius sendiri pernah mengatakan,”Kudengar kata-kata seseorang dan kuperhatikan perbuatannya”.
                 
Meng Tze: Jalan Tengah dan Kodrat Manusia
            Meng Tze atau Mencius (372-289 SM) adalah filosof yang menguraikan lebih rinci tentang ajaran Jalan Tengah. Dalam kaitannya dengan jen, dia mengatakan, ”Kita berbuat baik, bukan hanya oleh karena berbuat baik, tetapi karena memang patut berbuat baik. Sebab-sebabnya ialah karena kodrat manusia itu baik sebagaimana air yangs ecara alami mengalir dari tempat tinggi ke tempat yang rendah.
            Menurut Meng Tze, jika manusia berbuat jahat, hal itu tidak disebabkan karena pembawaannya yang salah. Semua orang memiliki (1) perasaan malu; (2) perasaan perasaan benar dan salah. Keempat perasaan merupakan awal dari tumbuhnya kemanusiaan, kebenaran, kesopanan dan kearifan dalam diri manusia.
            Kesadaran moral adalah sarana mencapai Chung Yung. Ia berakar dalam hati semua orang. Bahkan demikian halnya dapat dibuktikan dalam kenyataan bahwa anak-anak tahu benar bagaimana mencintai orang tuanya. Bilamana ia melihat anak-anak sebayanya hampir jatuh ke dalam sumur, sekonyong-konyong akan tumbuh rasa kasih sayang dan keinginannya untuk menolong. Keinginan untuk menolong itu muncul tanpa terelakkan dalam hati mereka, tanpa pertimbangan yang berbelit-belit. Perasaan-perasaan ini merupakan kemampuan bawaan yang tak perlu dipelajari dan juga merupakan pengetahuan yang dapat dimiliki seseorang tanpa memerlukan pertimbangan-pertimbangan.
            Menurut Meng Tze, ”Segala sesuatu sejak awal lengkap dalam dirinya. Tak ada kegembiraan yang lebih besar selain menguji diri sendiri dan menjadikan diri tulus sepenuhnya”. Ketulusan adalah jalan langit, sedangkan berpikir bagaimana menjadi tulus merupakan jalan manusia. Karena itu asas yang memberi petunjuk bagi perbuatan manusia ialah mewujudkan pikiran secara penuh. Mengasah pikiran berarti berusaha mengetahui sepenuhnya kodrat bawaankita dan mengetahui kodrat bawaan kita berarti mengetahui kodrat bawaan langit.
            Melihat ke dalam diri kita adalah upaya mengetahui alam. Untuk itu kita tak perlu pergi terlalu jauh dari diri kita, tak perlu menemui pendeta, karena ia sama saja dengan kita, yang juga tidak bisa pergi terlalu jauh dari dirinya. Menurut Meng Tze, Chung(keseimbangan, sentralitas) dan Yung (keselarasan) Alam Semesta ada dalam tatanan jiwa kita dan menjadi kodrat bawaan kita. Melalui pengetahuan kita menemukannnya kembali dan dapat mewujudkannya dalam kehidupan.
            Meng Tze berpendapat bahwa dalam mencapai Chung Yung ada dua tahap yang dapat ditempuh, yaitu: (1) Melalui jalan pikiran; (2) Melalui kelurusan budi. Yang pertama merupakan dasar etika suatu masyarakat dan yang kedua merupakan dasar kehidupan politik.
            Bagaimana kaitannya dengan jen? Menurut Meng Tze, jen harus dipaham sebagai
sebagai kemanusiaan karena rasa kemanusiaan merupakan watak sejati manusia. Bilamana kemanusiaan melekat dalam tindakan dan perbuatan, maka jen  disebut Tao (jalan, pembawan). Manusia yang memenui kemanusiaannya tidak berbuat menyimpang dari kemanusiaannya. Ia  mencintai semua orang. Bukti paling alami dari jen  ialah kesetiaan seorang anak pada orang tuanya. Ini merupakan kebajikan terbesar manusia.
            Demikian Meng Tze mengajarkan bahwa menghormati orang tua merupakan kebajikan utama dan sekaligus merupakan dasar utama rasa kemanusiaan.  Selanjutnya Meng Tze menyebut bahwa ada lima bentuk hubungan kemanusiaan yang terpenting dan semua
Bentuk itu harus dilandasi oleh jen:

1. Hubungan antara orang tua dan anak, harus ada kasih sayang; Jen  di sini diterjemahkan sebagai kasih sayang
2.Hubungan antara penguasa dan menteri-menterinya, harus dilandasi kebajikan dan atau kebenaran. Jen  di sini diartikan sebagai kebajikan.
3.Hubungan antara suami dan istri, harus ada perhatian terhadap peranan masing-masing yang berbeda.
4. Hubungan orang tua dan anak muda, harus ada tatanan yang benar.
5. Hubungan antar teman, harus ada rasa saling percaya.  

Hsun Tzu
Dalam menafsirkan Chung Yung, Hsun Tzu berbeda dari Meng Tze. Tekanannya pada humanisme lebih kuat. Walaupun demikian keduanya adalah pengikut dan penafsir ulung ajaran Konfusius. Perbedaannya dengan pemikiran Meng Tze tampak misalnya dalam menafsirkan Tao. Kalau Meng Tze mengatakan bahwa Tao adalah jalannya langit, Hun Tzu berpendapat bahwa Tao justru adalah jalannya manusia. Diterjemahkan dalam kehidupan sosial dan kemanusiaan, Hun Tzu mengartikannya sebagai ’cara memerintah sebuah negara’, yaitu mengorganisir orang-orang dalam suatu tatanan kekuasaan politik untuk kepentingan bersama.
            Berdasarkan pandangannya ini dia mengarahkan ajaran Jalan Tengah atau Chung Yung ke tujuan lain. Selain itu perbedaan pemikirannya dengan Meng Tze tampak dalam memandang kodrat manusia. Dia berpendapat bahwa secara kodrati manusia itu jahat, setidak-tidaknya memiliki kecenderungan kuat untuk berbuat jahat. Kebaikan hanya muncul disebabkan jenis aktivitas, lingkungan pergaulan dan latar belakang pendidikan yang diperoleh. Karena itu membangun lingkungan sosial yang memungkinkan kebajikan berkembang, serta lembaga pendidikan dan mengembangkan berbagai aktivitas yang terorganisir dengan baik, mutlak diperlukan. Hanya lembaga pendidikan dan lingkungan yang baik dapat mengajarkan bagaimana manusia itu sanggup berbuat baik.
            Hun Tzu menekankan bahwa setiap orang memerlukan guru yang dapat membimbingnya ke arah kebaikan, dan setiap orang memerlukan aturan (adab) dan hukum yang ditaati bersama, yang memberi rintangan bagi kecenderungannya untuk berbuat jahat. Kebajikan bukanlah kodrat bawaan manusia sejak lahir, tetapi dihimpun dan dikumpulkan dalam perjalanan hidupnya. Menjadi manusia baik, dengan demikian, memerlukan proses. Hsun Tze mengumpamakannya sebagai gunung yang dibentuk oleh tumpukan tanah.
            Asas yang memungkinkan kebajikan tumbuh ialah li, sopan santun atau adab. Alasannya ialah karena masyarakat merupakan dibentuk dari individu-individu dengan latar belakang sosial, pendidikan dan pengalaman berbeda-beda. Asas yang ditaati bersama diperlukan agar terbentuk tatanan sosial yang didambakan dan asas ini haruslah mengatasi perbedaan yang ada dalam masyarakat. Pemerintahan yang baik, menurut tokoh ini, ialah pemerintahan yang dikendalikan oleh seorang raja yang berjiwa pendeta.
            Apabila kebajikan religius mencapai peringkat yang memadao, seseorang akan mampu menjadikan dirinya sebagai bagian dari tiga serangkai kekuatan: Langit, Bumi dan Manusia. Ajaran Hun Tzu memberi jalan bagi munculnya faham legalisme (Fa), walaupun aliran tersebut bertentangan dengan ajaran Konfusius.

Perkembangan Pasca-Meng Tze dan Hun Tze
            Pada abad ke-4 S. M. Konfusianisme berkembang ke arah lain. Perkembangan itu tampak tanda-tandanya pada kecenderungan membangun landasan metafisika bagi ajaran humanismenya. Menurut pemikiran baru ini, chung yang semula berarti keseimbangan dalam arti moral, kini diberi arti sebagai dasar utama dunia; yung, yang biasa diartikan sebagai keselarasan perbuatan seseorang dengan tatanan moral yang berlaku, kini diartikan sebagai jalan universal.
Apabila chung yung dilaksanakan pada peringkat yang tinggi, maka langit dan bumi akan memiliki tatanan yang benar, dan seagala sesuatu di dalamnya akan berkembang menurut fitrahnya. Berdasarkan inilah manusia unggul disebut Chung Yung, dalam arti memiliki kehidupan moral yang baik dan penuh kebajikan dalam setiap perilaku sosialnya.
            Chung Yung versi baru ini, dengan landasan metafisikanya, dikemukakan dalam kitab li Chi (Kitab Adab) karangan Tzu Ssu (492-431 SM), salah seorang dari cucu Konfusius. Lebih jauh Tzu Ssu mengemukakan bahwa ketulusan (ch’eng) merupakan jalan langit’ dan berpikir bagaimana seseorang menjadi tulus merupakan jalannya manusia.  Ketulusan yang mutlak bersifat kekal, maujud dengan sendirinya, tidak terbatas, luas dan dalam, transendental dan cerdas. Ch’eng terdiri dari dan mencakup semua eksistensi; meliputi dan menyempurnakan segala keberadaan.
            Ciri ketulusan yang univeral ini ialah: ia menonjol tanpa pamer diri, menghasilkan perubahan tanpa bergerak jauh dan mencapai tujuan tanpa bertindak aktif. Hanya mereka yang benar-benar  ikhlas dapat mengembangkan kodrat dirinya secara penuh dan sekaligus mengembangkan kodrat lain secara penuh pula. Dengan begitu dia dapat pula mengembangkan kodrat hal-hal, serta dapat menolong mentransformasikan dan mengembangkan pergerakan langit dan bumi.